kemiskinan

Ngobrol Dengan Lelaki yang Nekat Pasang Iklan Jual Ginjal di Media

Sabzar Ahmed Khan memasang iklan yang sebetulnya ilegal di negaranya. Mengapa banyak orang yakin menjual ginjal adalah jalan terbaik lepas dari keterpurukan? Ini alasannya.
Pallavi Pundir
Jakarta, ID
Lelaki di Kashmir Nekat Ingin Jual Ginjal untuk Lunasi Utang
Foto oleh Tauseef Mustafa/AFP 

Sabzar Ahmed Khan tidak berpikir dua kali ketika hendak mengiklankan sesuatu yang tidak biasa di surat kabar. Lelaki ini berasal dari desa Nussu Qazigund di Jammu dan Kashmir, negara bagian di utara India. Cobaan demi cobaan datang bertubi-tubi menimpa warga Kashmir, dari pengawasan militer, kerusuhan, kekacauan politik, pemutusan akses internet hingga pandemi.

Tim redaksi kaget menerima permintaan yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Lelaki 28 tahun itu ingin jual ginjal.

Iklan

“Saya Sabzar Ahmed Khan [...] warga Nussu Qazigund yang mengalami kerugian besar dan telah kehilangan segalanya. Saat ini, total utang saya sudah mencapai 9 juta Rupee (Rp1,7 miliar). Saya siap menjual ginjal kepada siapa saja yang membutuhkan,” bunyi iklannya. Tak lupa dia mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Khan dulu bekerja di dealer mobil, tapi bisnisnya sudah bangkrut. Tim redaksi menghujani jutaan pertanyaan kepada Khan. Ingin memastikan dia tidak sedang main-main. “Mereka tanya apa tujuanku, dan bahkan memberi tahu tindakan ini ilegal di India,” tuturnya kepada VICE World News. “Saya memohon iklannya tetap dipasang karena sudah kehabisan akal.”

(Kiri) Foto Sabzar Ahmed Khan. (Kanan) foto iklan jual ginjal.

(Kiri) Sabzar Ahmed Khan memasang iklan (Kanan) jual ginjal. Dia mengaku istrinya juga ingin menjual ginjal untuk melunasi utang. Foto oleh Sabzar Ahmed Khan.

“Saya bilang kepada mereka, saya sudah kepikiran bunuh diri jika mereka tidak memasang iklannya,” Khan melanjutkan.

Khan terlilit utang sebesar 6,1 juta Rupee (Rp1,1 miliar) ke bank dan 3 juta Rupee (Rp577 juta) ke sejumlah orang. Dia mengalami banyak kesialan sejak 2019, ketika pemerintah India mencabut status otonomi khusus Jammu dan Kashmir pada 5 Agustus. Sebelum dicabut, negara bagian mayoritas Islam itu bebas memiliki bendera dan konstitusinya sendiri. Sebagian wilayah Kashmir jatuh ke tangan India.

Bentrokan pecah di mana-mana. Ekonomi lumpuh. Ratusan ribu karyawan mengalami PHK massal. Akses internet pun diblokir pemerintah. “Setiap saat ada kekerasan yang terjadi di tempat kami,” ujar Khan. “Ada jam malam. Sopir angkot mogok karena harga BBM sangat mahal. Situasinya buruk di sini.”

Iklan

Pada Oktober 2020, perusahaan riset Centre for Monitoring Indian Economy (CMIE) merilis data angka pengangguran di Jammu dan Kashmir yang mencapai 16,2 persen, tertinggi kedua di India.

“Keluargaku sudah tahu,” dia mengungkapkan. “Istri juga kepengin jual ginjal untuk melunasi utang.”

Pengantin baru ini meminjam uang ke mana-mana untuk membiayai keluarga. Putus asa tidak bisa melunasinya, Khan akhirnya memasang iklan tersebut. “Orang-orang mengira saya iseng,” keluhnya. “Mereka mengolok-olok saya.”

Khan hanya punya dua pilihan, antara jual ginjal atau mengakhiri hidup.

Kisah Khan menjadi contoh nyata krisis ekonomi akibat pandemi tidak pandang bulu dalam memilih korban. Anak muda, terutama yang baru terjun ke dunia kerja, sangat merasakan efeknya. Pengorbanan Khan juga menunjukkan betapa orang nekat melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Agustus lalu, ibu muda di India terpaksa menjual bayinya yang baru dua bulan, sama seperti pasangan suami istri yang menjual buah hati setelah dipecat gara-gara Covid-19.

Angka bunuh diri di India melonjak akibat kesulitan ekonomi. Di tengah kurangnya data resmi, sekelompok peneliti independen melakukan survei informal kematian yang tidak terkait Covid-19 di negara itu hanya bermodalkan artikel berita dan bukti anekdot. Kelaparan dan kesulitan finansial menempati posisi teratas.

Iklan

Bulan lalu, Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman mengumumkan skema ketenagakerjaan ketiga untuk mendorong lapangan kerja serta menawarkan jaminan kredit bagi sektor yang paling mengalami kerugian.

“Perekonomian yang sudah lesu semakin memburuk sejak pandemi,” ekonom Santosh Mehrotra memberi tahu DW.

Lockdown dan pembatasan aktivitas yang ditetapkan pemerintah semakin menyudutkan Khan. “Iklanku mencerminkan apa yang sedang terjadi di negara ini,” terang Khan. “Hari ini mungkin saya yang pasang iklan. Mana tahu keesokan hari ada orang lain yang melakukannya juga. Pemerintah seharusnya mendengar suara rakyat seperti saya.”

Pengusaha Shahid Ahmed mengutarakan kepada harian Precious Kashmir, banyak warga Kashmir telah bangkrut dari sebelum COVID-19. Akan tetapi, pandemi “menjadi faktor pendorong utama kebangkrutan di Kashmir.”

“Seorang lelaki nekat ingin jual ginjalnya untuk melunasi utang,” lanjut Ahmed. “Banyak yang senasib sepenanggungan dengannya, tapi kami tak berani bersuara seperti Sabzar.”

Khan mengaku telah menerima transferan sekitar 10.000-20.000 Rupee (setara Rp1,9-3,8 juta) dari donor anonim. Sejauh ini, dia belum terseret ke ranah hukum karena ingin menjual ginjal yang dianggap ilegal di India.

“Respons yang saya terima cukup positif. Banyak yang menanyakan alasanku, dan saya cuma bisa bilang terlilit utang,” imbuhnya. “Saya melihat masih ada harapan, tapi entah bertahan berapa lama.”

Follow Pallavi Pundir di Twitter.