Selamat datang di proyek digitalisasi atas digitalisasi. Di tahun yang masih sibuk dengan penanganan pandemi ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru saja memunculkan ide agar e-KTP warga negara Indonesia berwujud digital dan bisa disimpan dalam ponsel. Dinamai program Identitas Digital (Digital ID), wacana tersebut masih digodok Kemendagri salah satunya dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Jelas bukan kabar baik untuk penyedia jasa fotokopi, akhir tulisan ini menegaskan ini juga bukan berita baik buat warga negara.
Inti definisi Digital ID mirip social security number di Amerika Serikat: data penduduk yang sudah terekam dalam e-KTP dibuat versi digitalnya. Imbasnya, kita bisa menyimpan data penduduk di ponsel masing-masing. Harapannya nanti kalau mau mengakses pelayanan publik, cukup bawa ponsel saja tanpa perlu menunjukkan e-KTP.
Videos by VICE
Menurut Kemendagri, inovasi tersebut bermaksud mewujudkan impian pemerintah untuk punya data penduduk yang terintegrasi, sesuai amanat Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia—aturan yang tak menyebut satu pun kata “penduduk” di dalamnya. (Peneliti yang sering dibikin pusing karena data antar-instansi di Indonesia kerap berbeda-beda bisa diduga bakal langsung ngeluh, “Bukan gini maksudnya.”)
“Jadi, baik data ijazah, data paspor, data KTP elektronik, data NPWP, data rekening bank, dan lainnya semua sama karena sudah menggunakan satu data kependudukan. Ini yang sedang kami kerjakan,” kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudah Arif Fakrulloh saat dikonfirmasi Kompas. Implementasi digitalisasi e-KTP ini ditarget terlaksana memasuki paruh kedua 2021.
Yang patut jadi sorotan, Zudah mengatakan penggunaan Digital ID akan membuat pemerintah punya akses melacak penduduk melalui pergerakan ponsel yang dibawa. Alasannya sih, fitur ini digunakan untuk mencatat penduduk yang kerap berpindah lokasi sehingga memudahkan Disdukcapil dan BPS dalam pendataan.
Zudan menyebut hambatan integrasi Satu Data Kependudukan adalah angka data penduduk non-permanen yang berbeda antara kedua lembaga tersebut. Dengan pelacakan penduduk, diharap datanya sesuai dengan kenyataan di lapangan.
“Misalnya handphone [dengan Digital ID] itu dalam satu tahun bertempat tinggal di wilayah Sumedang, namun KTP el-nya beralamat di Sukabumi. Ini bisa disimpulkan bahwa penduduk tersebut menjadi penduduk non-permanen di Sumedang. Secara agregat dan makro hal ini bisa dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah penduduk Sumedang secara de facto dan de jure,” kata Zudan.
Mengingat kebocoran data penduduk adalah masalah besar yang masih dimiliki pemerintah, apakah kemudian kita patut khawatir apabila negara punya akses penuh dalam melacak lokasi penduduknya?
Dosen Administrasi Negara dari UGM Hendry Julian Noor mengatakan pada dasarnya ia tak keberatan apabila fitur pelacakan benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Namun, bila malah disalahgunakan, warga negara diharapkan meminta perlindungan hukum. RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) sebenarnya menyediakan jawaban atas kekhawatiran tersebut. Untungnya selama belum disahkan, masyarakat masih punya pegangan hukum yang lain.
“Prinsipnya selain diatur oleh Peraturan Perundang-undangan, setiap perbuatan pemerintah itu juga ‘diawasi’ oleh Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Jadi, apabila ada perbuatan pemerintah yang tidak sesuai asas tersebut, dapat menjadi gugatan di PTUN,” ujar Hendry kepada VICE. “Pemerintah terikat dengan asas bestuurzorg, artinya perbuatan negara harus ditujukan untuk kesejahteraan umum.”
Memiliki pihak eksternal untuk mengawasi penggunaan data pribadi oleh pemerintah juga bisa jadi solusi. Perwakilan Task Force Perlindungan Data Pribadi di Asosiasi Fintech Indonesia Marshall Pribadi menyebut karena identitas digital rentan terhadap serangan keamanan, maka diperlukan satu lagi sumber di luar pemerintah yang bertugas mengelola identitas.
“Bisa BUMN atau swasta, yang mengelola identitas digital. Ini agar ketika satu sumber diserang, ada cadangan atau back-up,” kata Marshall kepada Katadata.
Berbeda dengan Hendry yang mengajukan solusi kuratif, peneliti keamanan siber Teguh Aprianto justru mengkritik keras ide Kemendagri soal KTP Digital.
“[Ide ini] konyol. Soalnya kita bisa bilang e-KTP aja udah produk gagal. Dulu e-KTP katanya juga kayak gitu [untuk mewujudkan satu data]. Apalagi kita tahu mereka [pemerintah] payah dalam hal keamanan data,” ujar Teguh kepada VICE.
Teguh menambahkan, selama pemerintah belum bisa membuktikan diri mampu menjaga keamanan data mereka, pembuatan data terintegrasi justru memicu bahaya lebih besar manakala data itu bocor. “Kita semua tahu Dukcapil selama ini sudah memberi data ke pihak ketiga. [Tindakan seperti itu bagi] kita sebagai warga negara keuntungannya apa?”
Ia mensyaratkan, e-KTP digital cuma bisa berlaku bila pemerintah sudah bisa menjamin keamanan data penduduk. Lalu, bila data diberikan ke pihak ketiga, ia menilai warga negara sebagai pemilik data wajib dimintai persetujuan.