Beredarnya berita data pribadi Presiden Joko Widodo tersebar luas di internet adalah hari di mana saya berhenti percaya pemerintah Indonesia peduli terkait perlindungan data pribadi. Kalau orang nomor satu negara ini aja jadi korban, apalagi sekrup kecil kapitalisme kayak saya?
Kenyataan ini bikin saya pasrah. Setiap kegiatan administrasi pengumpulan data pribadi yang saya lakukan di berbagai tempat, situs e-commerce atau aplikasi resmi pemerintah, sudah saya maknai sebagai menjual jiwa pada setan. Kebocoran data yang menimpa Tokopedia dan BPJS Kesehatan saya anggap bagian takdir akibat terlahir sebagai WNI. Saya pun menyiapkan diri jikalau suatu saat identitas saya dipergunakan orang jahat buat minjem duit sampai nipu orang. Saya tak bisa berharap apa pun pada negara yang gagal menjaga data diri presidennya sendiri.
Videos by VICE
Meski sudah menyerah sama keadaan, SMS spam yang konsisten masuk ke hape saya masih bikin frustrasi. Saban hari minimal satu sms dari nomor tak dikenal akan menawarkan pinjaman online, memberi tahu bahwa saya menang hadiah ratusan juta, atau memberi petuah cara beli togel. Registrasi NIK dan KK yang digadang-gadang Kemkominfo bakal mengakhiri praktik ini terbukti omong kosong.
Saking muaknya, saya memutuskan beli nomor baru. Cita-cita saya sih, nomor ini tidak akan saya daftarkan ke mana pun, bakal digunakan cuma untuk mengontak kerabat dekat. Suci dari SMS spam adalah satu dan satu-satunya tujuan nomor itu dibeli.
Benar saja, tidak ada gangguan SMS spam sama sekali di nomor baru itu… selama dua minggu pertama.
Dibeli pada 5 Maret 2021, sebuah pesan singkat penipuan mengatasnamakan hadiah dari BPJS mulai silaturahmi ke nomor tersebut pada 20 Maret. Hanya butuh dua minggu bagi nomor saya untuk berselancar di spam cinematic universe. Bajingan.
Saya lantas menghubungi konsultan keamanan digital Teguh Aprianto untuk curhat masalah hidup 4.0 ini. Kata Teguh, nomor seluler baru saya itu bisa jadi enggak baru-baru banget. “Selama ini nomor-nomor Indonesia itu apabila tidak digunakan akan di-recycle, dijual lagi ke orang-orang yang ingin membeli. Jadi, ada kemungkinan nomor-nomor tersebut sudah digunakan orang lain untuk daftar sana-sini,” kata Teguh.
“Kemungkinan kedua, [masalah] sistem saat membeli. Ketika kita belinya di konter pinggir jalan, setiap nomor terjual selalu mereka catat. Database nomor ini mereka jual lagi, banyak pengepul ambil data dari konter-konter itu.”
Kurang ajar. Saya baru ingat nomor ini emang saya beli di konter pinggir jalan. Dipikir-pikir lagi, membeli nomor perdana di konter adalah satu-satunya cara yang saya tahu untuk punya nomor baru. Kebodohan ini sukses bikin saya gagal lolos dari jeratan SMS spam.
Kabar buruknya, Teguh pesimistis negara ini serius menangani masalah keamanan digital. “Masyarakat bingung menerima SMS yang aneh-aneh. Ketika kita komplain [ke pemerintah], disuruh bikin aduan. Selama ini enggak ada upaya negara melakukan sesuatu [selain] menunggu laporan. Kasus pinjol atau penyalahgunaan spam itu sangat mungkin [ditangani] negara [lewat] koordinasi antar-kementerian dan lembaga. Kominfo, Bareskrim, sama OJK kalau [kasus terkait] pinjol. Diburu dan ditindak. Bikin kapok dong. Kalau enggak [melakukan apa-apa] ya enggak ada efek kapoknya.”
Saat saya tanya apa yang bisa saya lakukan untuk melindungi nomor ponsel saya dari berondongan SMS spam, Teguh bilang enggak ada nomor dari provider seluler dalam negeri yang terjamin keamanannya. Ia menyarankan saya membeli nomor keluaran provider seluler luar negeri yang bisa dipakai di Indonesia. “Kalau untuk provider lokal kita udah enggak ada opsi karena dari regulatornya begitu,” tandas Teguh.
Saya tak punya pilihan. Saya bukan hanya harus hidup berdampingan dengan Covid-19, tapi juga tradisi SMS spam di Republik Indonesia ini.
Jadi itulah yang saya lakukan, berdamai dengan para pengirim SMS spam demi kesehatan mental. Enggak sekadar menerima kenyataan, saya bakal berinisiatif lebih dulu menyapa mereka. Siapa tahu, kalau emang mereka enggak bisa pergi dari hidup saya, seenggaknya kami jadi teman baik dan, mengutip lirik lagu The Adams, “bisa berbicara tentang apa saja.”
Pertanyaan besarnya, apakah perasaan ingin saling mengenal ini berbalas? Untuk menjawabnya, saya habiskan waktu seminggu untuk jadi SATPAM, alias SAhabat Tukang sPAM. Mantap. Berikut perjalanan saya ngajak ngobrol orang-orang di balik SMS spam yang masuk ke hape:
Hari pertama: Mendaftar Para Kawan
Ya sudah lah, karena nomor baru yang saya kira suci itu ternyata tak memenuhi misi awal pembelian, saya putuskan pakai nomor itu saja untuk menyapa para calon sahabat ini. Alhasil, hari pertama saya habiskan untuk bikin daftar nomor yang akan saya hubungi.
Dari pembelian nomor di bulan Maret hingga saya tulis artikel ini di bulan September, total ada 22 SMS spam masuk. Rinciannya: 10 penawaran pinjol, 11 penipuan berkedok pemberian hadiah, dan satu permintaan kerja sama usaha dari seseorang yang mengaku berasal dari Malaysia.
Meski datang lewat SMS, semuanya tidak bisa diajak ngobrol lewat nomor spam itu. Hampir semuanya mencantumkan nomor lain untuk melakukan follow-up.
Selepas kerja, ke-22 nomor yang sudah saya kumpulkan itu saya hubungi. Saya buka percakapan dengan kalimat pembuka yang bersinggungan dengan alasan mereka menghubungi, misal, “Halo, apakah benar ini pinjol?” dan “Halo, saya pemenang hadiah yang Anda umumkan dan ingin mengklaim hadiah tersebut”. Tentu sebelum menjadi sahabat, ada perlunya saya mengajak berbincang seputar hal yang ia sukai.
Menunggu respons, saya berangkat tidur.
Hari Kedua: Fokus ke Pinjol
Begitu bangun tidur, saya langsung mengecek ponsel. Mayoritas mereka sudah membalas. Karena merasa cukup ribet untuk meladeni semuanya, hari ini saya putuskan fokus membangun chemistry dengan sepuluh narahubung pinjol. Balasan mereka semua sama: mengirimkan pesan template berisi syarat-syarat peminjaman uang, seperti foto KTP, foto KK, foto buku rekening, dan meminta saya mengisi formulir. Mereka siap meminjamkan uang mulai dari Rp5 juta-500 juta. Saya terenyuh. Memang ini gunanya sahabat, siap membantu kala kesulitan finansial melanda.
Nomor-nomor yang sudah saya simpan itu lalu saya cek di WhatsApp. Saya lihat satu per satu foto profil mereka, mencoba mengenali mereka lebih dalam. Dari sepuluh kontak, ada satu nomor tanpa foto profil, satu nomor memasang tulisan “terdaftar dan diawasi oleh OJK”, satu nomor memasang foto dua lelaki tersenyum, dua nomor memasang gambar tulisan berisi syarat peminjaman uang, satu nomor memasang logo Koperasi Simpan Pinjam “Tunas Mulia Unggul”, satu nomor memasang foto ruangan dengan plang “Koperasi Sumber Graha Inti”, satu nomor lain juga dari “Koperasi Sumber Graha Inti” namun ada foto bersama pegawai, satu nomor memasang dua pria sedang memegang sertifikat yang tak terbaca karena kualitas foto buruk. Satu nomor sisa tak memiliki WhatsApp dan tak bisa dikirimi SMS.
Semua permintaaan pengisian formulir peminjaman tak saya gubris. Saya meminta mereka untuk menemani saya ngobrol dengan alasan sedang ada masalah percintaan dan butuh teman membagi perasaan. Semua nomor itu hanya membaca pesan saya tanpa menggubris keresahan yang saya ungkapkan. Ternyata ini langkah buruk dalam menjalin persahabatan dengan narahubung pinjol.
Hari ketiga: Satu Pinjol Merespons
Hari ini saya kembali menyapa kesepuluh pinjol yang kemarin tak menganggap saya ada. Saya mencoba mengadaptasi semangat para tukang spam yang tak kenal lelah mengirim pesan. Saya ucapkan selamat pagi dan mengajak mereka diskusi tentang kehidupan. Lima nomor hanya membaca, empat nomor mengirimkan kembali template sehari sebelumnya tentang tata cara meminjam uang, dan satu nomor meminta foto saya.
Melihat celah ngobrol lebih panjang, saya ambil foto seorang perempuan dari internet. Saya cari yang berjilbab dan memakai masker semata-mata agar muka pemilik foto tak kelihatan. Saya mengaku sebagai Widi dari Klaten. Kepada semua orang yang bernama Widi asal Klaten, saya meminta maaf sebesar-besarnya. Ini hanya perjuangan saya mencari sahabat.
“Coba videoin, coba divideoin dulu mukamu,” balas si pinjol yang dikasih hati minta jantung ini. Niatnya curhat masalah percintaan malah diminta verifikasi identitas. Emangnya dia pikir saya mau menipu apa? Saya putuskan tak melanjutkan percakapan karena tersinggung.
Hari keempat: Tak Lelah Berjuang Mencari Teman
Lelah dengan pinjol yang cuma mementingkan bisnis dibanding calon sahabat, saya beralih ke nomor spam jenis pemberi kabar gembira bahwa saya menang uang ratusan juta. Di pesan singkat saya, mereka mengaku setidaknya dari lima institusi: BPJS yang sedang membagikan subsidi pemerintah sebesar Rp175 juta, BUMN Pertamina, brand kosmetik bernama Kedas Beauty, e-commerce Shopee, dan giveaway dari pesohor Baim Wong dan Paula Verhoeven.
Hati saya sedih mendapati nomor milik BPJS, Kedas Beauty, dan Baim-Paula tidak bisa dihubungi. Namun, harapan mendapat teman dari tukang spam masih terjaga karena Shopee dan Pertamina mencantumkan nomor WhatsApp yang bisa dihubungi.
Tapi, mendapatkan nomor mereka pun butuh proses agak panjang. Enggak apa-apa kok. Kalau kata Nidji, saya siap menunjukkan pada dunia, arti (calon) sahabat.
Di pesan singkat yang masuk ke kotak pesan saya, spam dari Pertamina dan Shopee gadungan tidak mencantumkan nomor, melainkan sebuah tautan. Saya ketuk tautannya, lalu saya terbawa ke sebuah situs Blogspot berdesain sangat buruk. Konten Blogspot milik “Pertamina” dan “Shopee” ini mirip banget, sama-sama menuliskan betapa validnya lomba disertai ucapan selamat bahwa saya adalah orang terpilih.
Satu yang menarik perhatian saya, pengumuman di situs ini meminta saya tidak menceritakan hadiah ratusan juta yang saya dapatkan ini kepada siapa pun. Alasannya, akan mendatangkan kecemburuan sosial pada masyarakat. Kedua situs mencantumkan bahwa memancing kecemburuan sosial dilarang UUD (iya, Undang-Undang Dasar) No. 32 Pasal 331 ayat 23 tentang Kecemburuan Sosial. Sangat melek hukum, mengagumkan.
Di bagian paling bawah situs, barulah ada nomor WhatsApp yang bisa dihubungi. Saya langsung sapa dengan harapan tinggi. Nomor tersebut membalas dengan pesan template, meminta nama, lokasi, dan kode PIN yang sudah mereka kirimkan sebelumnya di SMS. Saya ajak berbincang masalah kehidupan, eh cuma di-read doang.
Hari kelima, keenam, dan ketujuh: kesimpulan
Tiga hari terakhir cukup monoton. Saya habiskan dengan menyapa ulang para nomor yang sudah saya hubungi di hari-hari sebelumnya. Ditambah, saya juga menghubungi kontak spam yang mampir ke nomor yang saya gunakan untuk pekerjaan. Total, ada 52 nomor, selain 22 yang masuk ke nomor “suci” saya, yang saya coba jadikan sahabat. Semuanya tak meladeni. Mereka sadar banget kepentingan mereka tak sejalan dengan maksud saya menghubungi. Tujuh hari habis tanpa kawan baru, saya gagal menjadi SATPAM.
Kalau diminta mengambil hikmah dari eksperimen sosial ini, saya bisa bilang pengalaman ini berhasil mengubah hidup saya. Tadinya, saya pikir tukang tukang spam masih manusia biasa. Sekarang, saya yakin semua tukang spam tidak memiliki perasaan. Huft….