MA Menangkan Warga Soal Privatisasi Air Jakarta, Kapan Perubahan Datang?

Selama 10 tahun tinggal di kawasan Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Dewi Puspitasari kerap mengeluhkan soal kualitas air. Maklum, daerah yang di mana ia tinggal dulunya adalah rawa. Air yang keluar dari keran rumahnya kerap berwarna kuning kecoklatan. Tak jarang air tersebut keluar bersama endapan kotoran.

Dewi tidak berlangganan air dari pipa perusahaan air minum. Dia hanya mengandalkan sumur yang terletak di samping rumahnya. Sumur itu awalnya dibor dengan kedalaman 10 meter. Selang beberapa tahun kemudian Dewi mengebor sumurnya lagi hingga kedalaman 25 meter. Namun kualitas air tak banyak berubah.

Videos by VICE

Demi memperbaiki kualitas air, Dewi harus rela merogoh kocek lebih dalam lagi untuk memasang filter air yang terpasang di bak penampungan. Setiap tiga bulan sekali, filter tersebut harus diganti. Setiap pemasangan Dewi kudu menggelontorkan biaya hingga Rp 800 ribu.

“Pipa air bersih enggak sampai ke daerah sini,” ujar Dewi. “Mau enggak mau ya harus pakai air dari sumur.”

Dua puluh tahun sejak presiden Suharto membuka keran investasi asing untuk menggarap pendistribusian air bersih di Jakarta, permasalahan yang dihadapi Dewi masih dialami jutaan warga Jakarta. Privatisasi air yang dicanangkan Suharto pada Juni 1997 membuka jalan bagi dua perusahaan asing PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Thames PAM Jaya (kini Aetra Air Jakarta) beroperasi di wilayah Barat dan Timur Jakarta. Kedua perusahaan tersebut mengantongi izin konsesi air selama 25 tahun yang akan berakhir 2022 mendatang.

Celakanya, privatisasi air tidak serta merta menyelesaikan permasalahan penyediaan air bersih Ibu Kota. Saat ini Jakarta memiliki 12.000 km pipa air bersih yang mengalirkan air dari sungai Ciliwung dan Pesanggrahan, serta dua sumber tambahan: waduk Jatiluhur di Jawa Barat dan Cisadane di Tangerang.

Namun Jakarta masih kekurangan 7.800 km pipa air bersih untuk dapat melayani semua warga. Angka itu sama dengan hampir delapan kali panjang Pulau Jawa yang cuma sekira 1.000 km.

Secercah harapan untuk memperbaiki masalah penyediaan dan pendistribusian air muncul saat Mahkamah Agung mengabulkan gugatan yang diajukan warga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) untuk menghentikan privatisasi air dan membatalkan kontrak konsesi. Putusan itu dipublikasikan pada Selasa 10 Oktober lalu.

“Itu kemenangan monumental,” ujar peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, yang sempat menulis laporan panjang soal privatisasi air. “Bukan cuma di Indonesia, tapi itu adalah kemenangan warga dunia.”

Penjual air galon di Jakarta. Foto oleh Darren Whiteside/Reuters.

Andreas menghabiskan tiga tahun penuh menginvestigasi swastanisasi air di Jakarta, mengatakan persoalan utamanya bukan terletak pada privatisasi, namun lebih pada kualitas pelayanan terhadap warga. Menurut Andreas, tak bisa dipungkiri kinerja dua perusahaan asing sebagai penyalur air bersih di Jakarta jauh dari kata memuaskan. Belum lagi kualitas air pipa yang tidak layak minum karena kandungan zat kimia dan bakteri yang cukup tinggi. Hal ini memaksa pelanggan untuk mengeluarkan biaya lagi untuk membeli air minum dalam kemasan. Konsumsi warga DKI Jakarta mencapai 15 miliar liter air dalam kemasan, atau 60 persen dari total produksi nasional.

“Apakah seluruh warga Jakarta bisa mendapat air bersih?” tanya Andreas kepada saya. “Saya rasa enggak. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, itu berarti pemerintah gagal memenuhi hajat hidup warga.”

Dari data BPS pada 2012, total penduduk DKI Jakarta mencapai 9.991.788. Namun hanya sekira 9 persen atau 800.093 penduduk yang tercatat berlangganan air. Itu berarti lebih dari sembilan juta penduduk mengandalkan air sumur atau air kemasan.

Di Kelurahan Penjaringan, warga terpaksa membeli air dalam jeriken untuk memenuhi semua kebutuhan hidup. Seperti yang diakui salah seorang warga Penjaringan, Kartini, yang meski rumahnya sudah dipasangi pipa air bersih, masih tetap mengandalkan air jeriken. Air jeriken seharga Rp 20.000 bisa dibeli lima kali dalam sehari. Demi penghematan keluarganya terpaksa mandi sekali sehari.

“Dari PAM memang kadang suka mengalir airnya,” ujar Kartini seraya menunjukkan meteran air di belakang rumahnya. “Tapi lebih sering sih beli.”

Tidak memadainya jaringan pipa air minum juga memicu ekstraksi air tanah besar-besaran sejak 1970-an. Ekstraksi air tanah lewat sumur buatan, membuat tanah semakin padat dan menyusut. Pada 2011, penggunaan air tanah untuk rumah dan bisnis telah mencapai 64 persen dari ambang batas yang diizinkan pemerintah yaitu 30 persen. Akibatnya kecepatan penyusutan tanah yang mencapai 20 cm per tahun membuat Jakarta di ambang bencana ekologis.

Perempuan membeli air di tengah banjir Jakarta. Foto oleh Beawiharta/Reuters.

Sebelum putusan MA tersebut diketahui publik, pihak PAM Jaya dan dua operator air swasta telah menandatangani nota kesepahaman untuk restrukturisasi yang memungkinkan PAM Jaya memiliki lebih banyak kewenangan untuk mengolah dan mendistribusikan air. Namun belum jelas nasib restrukturisasi tersebut setelah putusan MA berlaku.

Baik pihak Palyja maupun Aetra Air Jakarta belum menentukan langkah pasca putusan MA. Direktur Utama Aetra Air Jakarta Mohamad Selim enggan berkomentar lebih jauh. Dia mengatakan bahwa pihaknya mempelajari keputusan tersebut lebih dulu untuk mencari jalan keluar terbaik.

Jika PAM Jaya diberi kewenangan penuh untuk mengolah dan mendistribusikan air, harus ada restrukturisasi total agar kinerjanya tak terpuruk. Pada 2010, total utang PAM Jaya kepada dua perusahaan air swasta tersebut mencapai Rp 580 miliar rupiah. Belum lagi soal kebocoran pipa air yang mencapai 40 persen setiap tahun.

Meski putusan Mahkamah Agung telah menjadi kemenangan warga, Andreas Harsono mengingatkan bahwa masalah tidak bakal selesai hanya dengan hengkangnya dua operator air swasta. Ke depan, pekerjaan untuk membenahi performa perusahaan milik pemerintah provinsi PAM Jaya masih menghadang.

“Pemerintah harus segera membuat tim untuk menjalankan putusan MA,” ujar Andreas. “Air bersih itu adalah hak mendasar warga.”