Artikel ini pertama kali terbit di Project Multatuli dan merupakan bagian dari serial #PendidikanHarusGratis. VICE menayangkannya ulang di bawah lisensi Creative Commons BY-NC-ND.
“Saya berangkat kuliah ke Yogyakarta seperti terjun bebas. Enggak tahu parasutnya bisa kebuka atau enggak.”
Videos by VICE
Kenang Giri Sulistyo merujuk perkara biaya hidup dan kuliah yang belum menentu didapatkannya. Duduk di bangku taman di bawah pepohonan, persis depan Gedung Rektorat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di satu siang Juni 2023, Kenang tengah menunggu jadwal ujian akhir semester.
Wajahnya tenang, lalu berkata lagi, “Menurut saya, sesuatu yang tidak diperjuangkan ya tidak bisa dimenangkan. Jadi, coba dulu, deh. Enggak tahu endingnya bagaimana.”
Semester enam sudah hampir usai, sebulan lagi tagihan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) untuk semester berikutnya bakal keluar. Kenang pontang-panting. Ia melakoni tiga pekerjaan sekaligus untuk cari uang. Namun, ia belum tahu apakah cukup untuk membayar biaya kuliah atau harus kembali pulang, kembali rehat jadi mahasiswa.
Kenang adalah mahasiswa manajemen Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2020. Pada 2022, saat memasuki semester empat, ia terpaksa menangguhkan kuliahnya. Tak ada uang untuk bayar UKT Rp3,6 juta. Ia terpaksa cuti, lalu jadi buruh pabrik sepatu.
Awal masuk kuliah, harapan Kenang sempat mengembang. Dalam rencananya, setelah lulus sarjana, ia mau buka bisnis jualan bakso yang lebih besar dari bapaknya. Waktu itu ia belum pusing perkara uang. Bapaknya mendirikan warung bakso kaki lima di Medan. Hasil jualan itu cukup sekadar bayar UKT Kenang, cicilan motor, dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk dengan dua adik Kenang dan ibunya di Jepara.
Bapaknya asli Wonogiri, daerah di Jawa Tengah yang dikenal penghasil perantau pedagang bakso ke penjuru negeri. Bapaknya merantau ke Medan belasan tahun untuk jualan bakso mengikuti jejak saudaranya. Dulu Kenang dan ibunya ikut tinggal di Medan. Ibunya sakit, lalu memilih pulang ke kampung halaman. Bapaknya tetap di Medan mengelola warung bakso sendirian dan pulang ke Jepara tiga bulan sekali.
Pada November 2020, bapaknya berencana pulang ke Jepara. Kenang rutin berkirim kabar melalui telepon atau panggilan video. Di satu hari Rabu, Oktober 2020, mereka saling berkabar via panggilan video. Esok harinya, kabar buruk datang. Bapaknya mengalami kecelakaan saat mengendarai motor untuk belanja ke pasar. Bapaknya meninggal.
Kenang kehilangan tulang punggung yang seketika membuat ekonomi keluarga limbung. Bapaknya tak meninggalkan cukup harta untuk menjamin biaya kuliah dan hidupnya. Motor Honda CB150R seharga Rp29 juta, yang dibeli dengan cicilan selama dua tahun, belum lunas. Santunan asuransi kecelakaan hanya mencukupi kebutuhan hidup beberapa bulan dan melunasi cicilan motor. Ibunya, yang jualan makanan olahan beku, tak punya penghasilan cukup untuk membiayai kuliah.
Maka, Kenang putar otak cari uang sendiri.
Dua semester awal, selagi pandemi Covid-19, Kenang menjalani kuliah daring. Ia bekerja paruh waktu jadi admin di toko online yang jualan alat-alat pancing di Jepara. Pekerjaannya mencatat pesanan, balas pesan dari pembeli, dan bantu mengepak barang. Sebulan, jika penjualan ramai, ia bisa dapat upah Rp1,5 juta. Upah itu ia cukupkan untuk hidup dan bayar UKT.
Di semester dua, awal tahun 2021, Kenang ajukan keringanan pembayaran UKT. Pengajuannya dikabulkan, dari UKT Rp4,2 juta turun jadi Rp3,6 juta. Buatnya biaya segitu masih terlalu berat. Ia kembali ajukan keringanan di semester tiga dan pengajuan dikabulkan menjadi Rp3,1 juta.
Kenang kerja jadi admin toko online sekitar satu tahun persis sejak bapaknya meninggal. Namun, menjelang semester empat, toko online berhenti beroperasi karena sang bos sakit. Kenang mandek kerja paruh waktu.
“Saya enggak kerja, enggak ada pemasukan. Semester empat itu benar-benar enggak ada uang. Mau minta ibu juga enggak ada uang. Mau pinjam uang sana-sini juga enggak ada yang kasih,” tuturnya.
Di semester empat, sebagian perkuliahan sudah memulai kelas tatap muka. Kenang harus ke Yogyakarta bila tetap melanjutkan kuliah. Artinya, selain biaya UKT, ia harus menyiapkan biaya hidup.
Pikirannya ke mana-mana. Pilihan paling buruk, ia harus berhenti kuliah dari UNY, lalu mencari universitas lain yang biayanya lebih murah jika ingin tetap kuliah sambil kerja. Atau, tetap di UNY tapi harus cuti untuk bekerja mengumpulkan uang.
Kenang memilih ambil cuti di semester empat dan lima. Tapi, ternyata, pilihan ini memiliki konsekuensi biaya.
Saat pengajuan cuti, kampus meninjau ulang soal penurunan UKT. Kenang disebut melanggar ketentuan pengajuan UKT yang seharusnya hanya dibolehkan satu kali pengajuan. Keringanan UKT semester tiga akhirnya dibatalkan, yang sebelumnya telah diturunkan jadi Rp3,1 kembali dinaikkan jadi Rp3,6 juta.
Sebelum cuti dikabulkan, Kenang diharuskan bayar kekurangan UKT semester tiga sebesar Rp500 ribu. Ia tak punya pilihan selain harus segera bayar atau akan keluar tagihan pembayaran UKT untuk semester empat, yakni Rp3,6 juta, yang jelas tak mampu ia bayar.
Cuti Kuliah, Jadi Buruh Pabrik Sepatu
Kenang melamar pekerjaan di Jepara dengan modal ijazah SMA. Beberapa pabrik ia datangi. Ia mendapatkan dua panggilan kerja, salah satunya ia tolak karena mengharuskan ijazahnya ditahan.
Ia memilih panggilan kerja di salah satu pabrik sepatu. Syaratnya tak neko-neko, cuma harus kerja shift dan dapat upah Rp2,1 juta sesuai UMR Jepara, di luar waktu lembur. Tak harus pakai seragam, cukup pakai kaus, celana panjang, dan bersepatu.
Jarak pabrik dan rumahnya sekitar 4 km. Setiap hari, Kenang pergi-pulang mengendarai sepeda motor. Ia bekerja enam hari sepekan; waktu kerja bergiliran setiap dua pekan, shift pagi dan sore. Saat shift pagi, ia berangkat sejak jam 6.00 dan sampai pabrik jam 6.30, pulang kerja jam 14.30. Shift sore, dari jam 14.30 sampai 22.30.
Pabrik tempatnya bekerja khusus bagian pembuatan insole sepatu untuk merek-merek ternama macam Adidas atau Nike. Kenang bekerja di bagian pemotongan bahan.
Saat pesanan ramai, merek-merek sepatu ternama merilis model baru, maka permintaan insole pun meningkat. Itu artinya, para buruh seperti Kenang diwajibkan lembur. Jika shift pagi, ia harus lembur sampai jam 16.30, atau menambah waktu dua jam dengan upah Rp12 ribu/jam. Sementara shift lain, jika lembur, jam kerjanya diubah; bukan lagi sore tapi malam hingga subuh, dari jam 19.30 sampai 5.30.
Pekerjaan jadi buruh pabrik dilakoni Kenang selama 10 bulan. Dari upah Rp2,1 juta dan beberapa kali lembur, ia mati-matian menekan kebutuhan sehari-hari supaya terkumpul uang untuk dibawa ke Yogyakarta. Alhasil, terkumpul Rp10 juta untuk bayar UKT, kos, dan hidup selama satu semester.
Uang Rp10 juta, bagaimanapun, bukan jumlah banyak untuk dibawa ke Yogyakarta selama kurang lebih 6 bulan. Kalkulasinya:
Bayar UKT semester empat Rp3,6 juta
Bayar kos Rp300 ribu/bulan; totalnya Rp1,8 juta selama 6 bulan.
Sisanya, Rp4,6 juta untuk biaya hidup selama 6 bulan; atau rata-rata Rp760 ribu/bulan.
Dengan uang segitu, Kenang terengah-engah. Awal hidup di Yogya, laptopnya rusak, harus mengeluarkan Rp500 ribu untuk servis. Tiga bulan awal, ia masih bisa hidup dan makan layak meski berhemat.
Berikutnya, ia kembali mengambil kerja paruh waktu jadi admin toko online untuk cari cadangan hidup. Kerjaannya pegang 2-3 akun toko online pada pagi atau malam hari selama 2-3 jam setiap hari untuk balas pesan dan komentar yang masuk. Target pekerjaannya adalah meningkatkan performa akun toko online tersebut. Makin responsif akun, ratingnya pun akan semakin baik. Imbasnya bisa jadi meningkatkan kepercayaan calon pembeli.
Dari kerja itu, upahnya tak menentu dan lebih kecil dari pekerjaan sama sebelumnya. Kenang mendapatkan upah berdasarkan persentase penjualan barang per bulan. Paling banter Kenang dapat Rp400 ribu/bulan.
Sadar tak bisa mengandalkan upah dari admin toko online untuk hidup dan bayar UKT semester berikutnya, Kenang cari tambahan penghasilan lain. Ia tahu motor peninggalan bapaknya adalah salah satu alat produksi yang bisa bantu cari penghasilan.
Kenang pinjam uang temannya untuk daftar jadi pengemudi ojek online Maxim dan kurir ShopeeFood. Untuk mendaftar dan mendapatkan atribut macam jaket, helm, dan tas, total butuh sekitar Rp600 ribu.
Saat awal pekan pertama ngojek online, Kenang berkata “susahnya minta ampun.” Akun baru lebih susah cari pesanan penumpang. Ia harus keliling di jalan sambil mengaktifkan dua akun sedari jam 6 pagi sampai jam 19.00. Saat awal-awal ngebid itu, ia menghabiskan 12 jam cuma dapat Rp85 ribu.
“Paling sepi sehari dapat cuma buat beli bensin Rp20 ribu,” katanya.
Dalam sistem kerja gamifikasi yang diatur aplikator itu, Kenang perlu berdarah-darah di awal untuk membangun riwayat akunnya demi kelak bisa mendapatkan banyak pesanan dan penghasilan.
Sepulang menghabiskan 12 jam di jalan, tiba di kos, Kenang setidaknya harus menyelesaikan pekerjaan selama 2-3 jam jadi admin toko online. Setelahnya, ia baru tidur jam 12 malam.
Dari semua pekerjaan serabutan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya kuliah, di umurnya sekarang mendekati 21 tahun, pekerjaan terakhir sebagai ojol dan kurir adalah pekerjaan yang berat, kata Kenang.
Ia jatuh sakit. Vertigonya kumat. Asam lambungnya naik. Beberapa hari tak bisa kerja lantaran susah bangun dari tempat tidur. Tak ada yang merawat kecuali teman kos yang membantu membelikan obat pusing di warung.
Kenang adalah bagian dari mahasiswa paling rentan yang tinggal di Kota Pelajar. Ia bagian dari mahasiswa yang kuliah dan bekerja untuk hidup, tapi tak punya jaminan untuk hidup layak dan sehat. Di sisi lain, keluarganya di Jepara belum mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS Kesehatan. (Kenang pernah terdaftar BPJS Kesehatan saat bekerja buruh pabrik sepatu.)
Kerja Ojol dan Kurir untuk Hidup dan Bayar Kuliah
Kenang tinggal di sebuah kos 12 kamar di perkampungan padat Blimbingsari, dekat Rumah Sakit Sardjito, sekitar 1,5 km dari kampusnya. Ada 6 kamar, masing-masing seukuran 2×2,5 m², di lantai 1 dan lantai 2; juga 3 kamar mandi ukuran 1×1 m² di bawah tangga.
Di lantai bawah, ada ruang tamu 2×2 m². Ada televisi tabung yang sudah mati dan berdebu, dan motor tua berdebu yang lama tak dipakai. Ada sofa cokelat tua dan meja.
Kamar Kenang berada di lantai 2. Tangga penghubung lantai kamar beratap asbes transparan, jadi satu-satunya jalan cahaya menerpa sudut kos di antara ruang tamu dan kamar lantai 1 yang remang-remang. Di bawah atap itu digunakan sebagai jemuran.
Kompor gas, panci, alat-alat masak, dispenser air galon, dan rak sepatu selang-seling berada di lantai lorong kamar. Ada penanak nasi dekat pintu masuk kamar Kenang. Semua fasilitas itu dibeli patungan untuk dipakai bersama dan bergantian.
Pagi sebelum kerja, Kenang menyempatkan makan. Menanak nasi dan menggoreng telur, meski seringnya ia beli lauk di warung.
Piring di lantai kamarnya sudah bersih. Kenang duduk di kasur busa tipis. Di sebelah kasur, ada sofa cokelat tua. Di pojokan, ada lemari kecil tanpa pintu yang lebih mirip rak sepatu. Ada beberapa kaus, sisanya beberapa potong baju dan celana; tas tersampir di gantungan. Kamar Kenang terlihat penuh tapi tak begitu sumpek. Sebuah jendela kamar memperlihatkan suasana permukiman.
Pada Rabu, 5 Juli 2023, saya mengikuti perjalanan Kenang mengantar makanan. Jam 9.30, saya tiba di mulut gang dekat kosnya. Lorong gang itu cuma selebar 1,5 meter. Enam motor diparkir berjejer merapat tembok.
“Sebentar lagi berangkat,” katanya. “Tunggu baterai HP saya penuh, terus jalan.” Jam 10.30, Kenang mengajak saya berangkat.
Sejatinya, Kenang diberi waktu kerja jam 10.00-20.00 dengan skema hub dari ShopeeFood. Skema ini, dalam gamifikasi yang diatur aplikator, untuk menjamin kurir mendapatkan minimal 15 pesanan di satu area yang ramai. Namun, konsekuensinya, upah yang didapatkan setiap satu pesanan hanya berlaku flat Rp6.400, beda dari skema reguler yang minimal Rp7.000-Rp8.000 setiap pesanan, tergantung jarak.
Kenang memakai jaket dan menggendong tas khusus makanan serba oranye yang tampak kebesaran di punggungnya. Selepas menutup pintu kamar dengan gembok, ia melangkah yakin, lalu buru-buru meraih helm fullface di meja ruang tamu. Melewati lorong gang, menaiki motornya di seberang jalan.
Motor Honda CB150R kelihatan kebesaran untuk tubuhnya yang kecil, sambil menggendong tas. Tinggi Kenang tak lebih dari 165 cm. Ia harus sedikit jinjit saat menaiki motor.
“Sebenarnya lebih enak pakai motor matic,” katanya. Ia sebetulnya ingin menjual motornya dan mengganti dengan matic bekas yang lebih murah. Tapi, ia sendiri tak yakin bisa menjual motornya. Selain susah cari pembeli, motor peninggalan bapaknya sudah dua tahun menunggak pajak; total tagihan sekitar Rp1,5 juta. Ia tak mampu bayar.
Kenang melaju menuju pom bensin. Mengisi Rp20 ribu untuk sehari kerja. Dari situ, ia langsung mendapatkan pesanan dua gelas es kopi ke lokasi Universitas Gadjah Mada. Setelahnya, ia menuju warung nasi Padang yang biasanya ramai pesanan. Tak lama menunggu di pinggir jalan sekitar warung, ia kembali dapat pesanan. Kali ini menuju warung ayam goreng sebelah nasi Padang. Ia bergegas mengantar pesanan di daerah Karangmalang, kawasan kos mahasiswa dekat UNY.
“Lumayan dapat tip seribu,” katanya, sesudah menyerahkan pesanan kepada perempuan muda yang merelakan uang kembalian Rp1.000.
Saya terus mengikutinya. Saat ia menerima pesanan keempat, turun gerimis. Kenang ambil pesanan di warung, saya menunggunya di luar sambil mengenakan jas hujan. Kenang tak peduli. Ia terus melaju mengantarkan makanan tanpa jas hujan. Gerimis memang tak merata dan cuma sebentar, tapi jika diterjang cukup bikin baju basah.
Mengikutinya bolak-balik mengantar pesanan membuat saya kepayahan. Baru dua jam di jalan, saya sudah lapar dan haus. Jam 13.00, saat Kenang mengambil pesanan di sebuah resto mi yang terkenal lama pelayanannya, saya berhenti di warung angkringan depan resto, makan dua bungkus nasi dan es teh membasahi tenggorokan yang sudah kering sedari tadi.
Setelah 20 menit, Kenang keluar resto mengendarai motor dan langsung melaju, saya pun bergegas mengikutinya.
Kenang masih bolak-balik ambil-antar pesanan. Targetnya sebelum istirahat jam 15.00, minimal sudah dapat 10 pesanan. Tapi, hari itu tak begitu ramai. Jam 15.00 sudah lewat, tapi baru dapat 9 pesanan. Kenang memutuskan istirahat. Jam 15.30, ia tiba di kos dan langsung merebahkan badannya, matanya terpejam. Belum juga ada air putih atau makanan yang masuk ke mulutnya hingga sore.
“Saya biasa makan pagi sama malam aja, jarang makan siang,” katanya.
Kebiasan Kenang adalah kebiasaan berhemat. Ia cuma makan dua kali sehari, itu pun masak nasi sendiri untuk menekan pengeluaran.
Setelah berbaring dan memejamkan mata selama 1 jam, Kenang bergegas. Sore hari, katanya, pesanan lebih susah didapat, harus putar-putar tempat ramai supaya pesanan “nyantol.”
Sampai azan magrib, Kenang baru mendapatkan 11 pesanan. “Biasanya sampai jam 8 atau 9 malam bisa dapat 20,” ujarnya. Tapi, hari itu memang sepi. Sampai jam 21.00, cuma nyantol 16 pesanan; total upah yang dikumpulkan Rp100 ribu. Kenang kembali ke kos.
Dalam sepekan, Kenang mengambil libur kerja sekali di hari Selasa. Rata-rata ia mengumpulkan Rp700 ribu dalam sepekan.
Akhir Juli, tagihan UKT untuk semester tujuh sudah keluar. Ia mengajukan cicilan tiga kali dalam empat bulan. Cicilan pertama Rp1,5 juta sudah dibayar. Sekarang Kenang masih berupaya mengumpulkan uang untuk melunasi Rp2,1 juta.
Selain masih mati-matian cari uang melunasi cicilan UKT, ia juga gelisah. Jika perkuliahan mulai, ia masih bingung bagaimana harus berbagi waktu antara jam kerja kurir cari uang untuk hidup dan jam belajar kuliah dengan jadwal padat demi mengejar ketertinggalan setelah cuti dua semester.
“Ya lihat nanti sajalah bagaimana,” Kenang pasrah.
Anak Petani, Kerja Pramusaji demi Melunasi UKT
Pontang-panting Kenang mencari uang untuk biaya hidup dan kuliah mungkin beratnya dua kali lipat, sebab ia perantau yang tinggal sendirian dan jauh dari keluarga. Namun, bagi mahasiswa yang punya keluarga tinggal di Yogyakarta, nasibnya pun tidak bagus-bagus amat.
Retno Dwi Astuti, 19 tahun, menangis semalaman saat mengetahui harus membayar UKT Rp3,8 juta untuk bisa memulai kuliah di jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Retno masuk jalur mandiri pada 2022. Ia sudah cantumkan keterangan pendapatan orang tuanya hanya Rp1,5 juta/bulan. Ia kaget ketika harus bayar UKT Rp3,8 juta.
Banding atas keputusan penetapan UKT sudah dilakukan Retno. Semua syarat telah dilampirkan termasuk keterangan sebagai penerima program keluarga harapan. Namun, nilai UKT Retno tak berubah. Upaya itu sia-sia.
“Semalaman nangis karena takut mau ngomong ke orang tua. Aku dapat UKT tinggi, enggak tahu bagaimana nanti bayarnya,” kata Retno.
Sambil menangis, Retno memberanikan diri bilang ke orang tua. Bapak dan ibunya membesarkan hati Retno. Ia diminta tak khawatir memikirkan biaya kuliah meski sebenarnya mereka benar-benar tak ada uang untuk bayar kuliah.
Triyono, bapak Retno, adalah petani; sedangkan ibunya penjual pakaian anak-anak di pasar. Pendapatan mereka tak menentu. Triyono, kini berusia 64 tahun, sejak muda adalah petani. Ia menggarap tiga petak lahan masing-masing 0,1 ha di lereng Gunung Merapi, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman.
Retno adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak laki-lakinya sudah lulus kuliah setelah membiayai sendiri kuliahnya dengan bekerja penuh waktu sebagai kasir di sebuah toko modern. Kini telah menikah, kakaknya memiliki satu anak dan masih tinggal satu atap dengan keluarga Triyono.
Kakak dan kakak ipar Retno bekerja, tapi penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari dengan anak yang masih balita. Retno sepenuhnya adalah tanggungan orang tuanya. Hasil pertanian, kata Triyono, tak sepenuhnya bisa diandalkan karena jumlah dan harga tak menentu. Dari tiga petak lahan, masih-masing ia tanami padi, cabai, dan terong.
Di lahan padi, sebagian hasilnya untuk kebutuhan rumah tangga, sebagian dijual. Sedangkan satu petak lahan cabai memerlukan tiga bulan untuk bisa dipanen. Mulai dari membeli bibit dan pupuk, Triyono perlu modal Rp1,5 juta; ini belum menghitung tenaga. Masa panen cabai bisa sekitar 5 bulan atau sekitar 15 kali panen, yang rata-rata 20 kg setiap panen.
Jika harga cabai dari petani kurang dari Rp10 ribu/kg, lebih banyak merugi. Saat ini harganya di tingkat petani antara Rp10 ribu-Rp15 ribu/kg, untungnya pun tak banyak, tak bisa ditabung, kata Triyono. Begitu juga harga terong Rp5 ribu/kg; masa panen 8-9 kali dalam rentang 5 bulan.
“Kalau pas pembayaran UKT langsung segitu [Rp3,8 juta], jadinya berat,” ujar Triyono. “Kemarin ya nabrak-nabrak cari utang. Harapannya (UKT) bisa turun, tidak segitu.”
Retno memahami kondisi ekonomi keluarganya. Biaya kuliahnya dibiayai dari utang. Sembari kuliah, ia mencari uang untuk membantu melunasi utang. Ia punya latar belakang pendidikan tata boga saat sekolah kejuruan. Berawal dari magang di dapur hotel, ia kerap dipanggil untuk jadi asisten koki atau pramusaji saat ada acara-acara besar di hotel.
Kerjanya dari bantu menyiapkan bahan makanan untuk dimasak hingga menyajikan makanan. Secara intensif, setiap satu panggilan pekerjaan, kerjanya 8 jam, tapi seringnya jam kerjanya melebihi 8 jam karena harus beres-beres setelah acara.
Upah dari kerja pramusaji ini tak menentu. “Rata-rata kalau di hotel bintang 4, dapat Rp85 ribu. Kalau hotel bintang 5, Rp90 ribu ke atas,” katanya.
Itu pun tidak setiap bulan. Bulan-bulan tertentu seperti akhir dan awal tahun, biasanya ia baru bisa mendapatkan pekerjaan paruh waktu tersebut.
Paling banter, dalam sebulan, ia bisa mengumpulkan Rp1 juta, dengan situasi banyak acara di hotel pada Desember. Paling sepi pada bulan Mei dan Juni karena jarang acara besar di hotel membutuhkan tenaga panggilan.
Sebagian pendapatannya itu disisihkan untuk bantu bayar utang orang tuanya; sebagian ditabung untuk bisa membeli laptop. Selama ini, untuk keperluan kuliah, ia masih pinjam laptop kakaknya, yang hanya bisa dipakai saat malam.
Pendapatannya tak banyak karena hanya kerja di saat-saat tertentu, tergantung ada panggilan. Biaya sehari-harinya bergantung orang tuanya, termasuk uang saku Rp25 ribu untuk ongkos makan dan beli bensin. Jarak rumah dan kampusnya 25 km.
Untuk meringankan beban itu, Retno sudah mencoba mendaftar beasiswa dari unit pengumpul zakat universitas yang membuka khusus bantuan UKT. Semua syarat dokumen sudah dipenuhi, termasuk IPK Retno 3,6 yang memenuhi syarat beasiswa minimal IPK 3,25.
Namun, jalan memperoleh beasiswa tak semudah anggapan bahwa semua yang kesulitan bayar uang kuliah bisa diselesaikan dengan beasiswa. Masalah pemenuhan biaya kuliah Retno belum selesai. Ia tidak lolos mendapatkan beasiswa.
Saat tenggat pembayaran UKT untuk semester tiga kurang dari dua pekan, Retno masih berupaya mencari tambahan menggenapi tagihan.
“Sudah ada cadangan uang, tinggal cari lagi biar pas. Masih kurang Rp700 ribu. Kalau belum ada, ya kepepetnya cari pinjaman. Kalau enggak, jual terong sama cabai. Insyaallah bisa,” kata Retno.
Saat saya bertanya lagi pada 11 Agustus, bertepatan tenggat pembayaran UKT, Retno bercerita saat orang tuanya sudah memiliki Rp3 juta, tinggal cari uangan tambahan, mereka harus bayar cicilan utang ke bank. Sehingga, sisa uang yang dipegang keluarganya Rp2,8 juta. Mereka butuh tambahan Rp1 juta untuk mencukupi biaya UKT Rp3,8 juta.
“Kekurangannya ngutang dulu ke tetangga,” kata Retno.
Ia sempat mengajukan perpanjangan bayar UKT ke pihak kampus. Tapi, tak ada respons dari UIN Sunan Kalijaga. Pada 11 Agustus itu, menjelang jam tutup bank pukul 15.00, Retno baru selesai bayar UKT. Terlambat sedikit saja, mungkin Retno terancam gagal kuliah semester ini.
Retno mengabarkan sekarang bekerja penuh waktu menjaga gerai es teh di sekolah. Jam kerjanya 8.30-14.30, Senin-Jumat. Upahnya Rp50 ribu/hari. Ia sudah seminggu bekerja. Rencananya, ia kerja sebulan saja demi bisa melunasi utang. Kuliahnya akan dimulai pada 4 September mendatang.
Editor: Fahri Salam
Artikel ini bagian dari serial #PendidikanHarusGratis. Usulan tema liputan mengenai pendidikan berasal dari rapat redaksi dengan Kawan M, program membership Project Multatuli dengan para pembaca.