Teh herbal digadang-gadang penuh khasiat. Bisa meningkatkan kekebalan tubuh, mengeluarkan racun, membakar lemak dan mencegah kanker. Kira-kira begitu bunyi iklannya.
Teh herbal memang bermanfaat, tapi semua khasiat itu terlalu dilebih-lebihkan. Buktinya sangat sedikit, kalau bukan tidak ada sama sekali.
Videos by VICE
Minuman alami ini sudah diteguk sejak ribuan tahun silam. Teh gingko dipercaya bisa melancarkan peredaran darah. Orang Mesir kuno meminum teh ketumbar untuk meringankan iritasi perut atau radang saluran kemih. Sementara itu, ibu-ibu dari zaman kekaisaran Romawi hingga modern hobi menyeduh teh kamomil agar lebih lelap tidur.
Namun, manfaat-manfaat itu belum teruji klinis. Sebagian besar klaim yang terpampang pada kotak teh—seperti ”menjaga berat badan” atau “menjaga kesehatan jantung”—diuji pada hewan atau dalam kultur sel yang diisolasi di cawan petri. Diane McKay, assistant professor Jurusan Ilmu dan Kebijakan Gizi Friedman di Universitas Tufts, mengungkapkan khasiatnya tidak diuji langsung pada manusia.
Regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mewajibkan produsen teh herbal untuk menyebutkan efek keseluruhannya bagi tubuh dan melarang penggunaan kata-kata yang merujuk pada hasil kesehatan pada kemasannya. Menurut Diane, produsen hanya diperbolehkan menyebut produk mereka dapat menjaga berat badan, bukannya bisa melangsingkan tubuh atau menyembuhkan obesitas.
Teh mint, misalnya, diyakini bisa mengobati gangguan pencernaan. Perusahaan teh mengklaim produk mereka adalah ‘pencahar lembut’. “Belum ada yang bisa memastikan khasiat teh mint pada manusia, tapi percobaan hewan dan kultur sel menunjukkan minyak tanaman mint dapat menenangkan otot usus,” ujarnya. Itu berarti kalian bisa saja merasakan manfaat tersebut saat minum teh mint.
Minyak tanaman mint larut dalam air, sehingga efeknya mungkin lebih ringan. Ditambah lagi, tidak ada jaminan rempah-rempah dalam teh mint seperti yang dikatakan produsen, atau bisa saja rempah-rempahnya ditanam tanpa pestisida atau kontaminan yang dapat membunuhmu.
Hasil studi gizi terkadang tidak memiliki kesimpulan pasti seperti uji coba obat baru. Standar emas pengevaluasian zat apapun—uji klinis double-blind, terkontrol plasebo—biasanya sulit diterapkan pada makanan dan minuman karena produknya mengandung lebih banyak zat kimia. Selain itu, peneliti terkadang kesulitan membedakan mana saja yang merupakan bahan aktif. Oleh karena itu, tidak bisa dipastikan manfaatnya berasal dari mana.
Namun, teh herbal sudah beberapa kali diuji. Tim Diane pernah menguji coba teh bunga kembang sepatu untuk membuktikan benar tidaknya teh ini dapat menurunkan tekanan darah. Mereka meminta 65 orang dewasa yang menderita hipertensi untuk meminum teh herbal ini tiga kali sehari selama enam minggu. Di akhir percobaan, banyak peserta yang tekanan darahnya turun. Akan tetapi, mereka tidak dapat menentukan zat apa yang berperan di sini. Mereka cuma bisa menyimpulkan tehnya beneran ada khasiat. Hasil serupa ditemukan dalam teh lain. Teh hijau dikaitkan dengan penurunan risiko kanker kolorektal atau lambung. Teh hitam kemungkinan dapat mengurangi risiko penyakit jantung. (Seperti studi Diane, desain studi-studi ini hanya menunjukkan korelasi antara konsumsi teh dengan hasil kesehatan. Penyebabnya belum ditentukan.)
Meski bukti ilmiahnya terbatas, bukan berarti klaim yang sudah ada turun-temurun itu salah besar. Para ilmuwan di bidang etnobiologi dan ethnomedicine terbuka pada setiap manfaat kuno yang mungkin belum dipahami dunia kesehatan Barat.
Itu berarti teh herbal pasti ada manfaatnya bagi kesehatan tubuh. Hanya saja, produsen teh terlalu melebih-lebihkan klaimnya. Regulator tak segan-segan memblokir iklan pop-up yang menyebut produk herbal mereka adalah obat mujarab.
Diane menyarankan agar kita semua lebih objektif dalam menilai teh herbal. Boleh banget kalau kalian ingin minum teh herbal, tapi menurutnya, “jangan minum sesuatu yang rasanya tidak enak sama sekali karena katanya berkhasiat, padahal tidak.” Oh satu lagi, kalau ada produk apapun yang mengklaim bisa membersihkan racun dalam tubuh, itu semua bohong.
“Kalau kedengarannya terlalu hebat, sudah pasti itu bohong,” simpulnya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.