Mantan Teroris Jelaskan Motivasi & Taktik Kelompok Radikal Indonesia Rekrut Anak Muda

Mantan anggota jamaah islamiyah urai Taktik Teroris Indonesia Rekrut Anak Muda

Aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar usai ibadah Minggu Palma (28/3), membuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyorot risiko anak-anak muda menghadapi propaganda ekstremis. Ini lantaran dua pelaku terorisme di Sulawesi Selatan itu merupakan pasangan suami-istri, sama-sama masih berusia 26 tahun. 

“Propaganda jaringan terorisme dapat saya katakan seperti jebakan Batman untuk anak-anak muda karena pengaruh virus radikalismenya tidak terasa, kemudian mengubah watak, mengubah perilaku, yang itu sejatinya bukan jati diri bangsa Indonesia,” tutur Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar.

Videos by VICE

“Ini adalah alam pikiran jahat yang dipengaruhi oleh virus radikal intoleran yang dipropagandakan oleh jaringan teroris global. Korbannya anak-anak kita,” imbuhnya.

L, bomber gereja Makassar yang berjenis kelamin laki-laki, disebut mendadak berhenti kuliah dan sering menegur ibunya karena masih menjalankan adat khas Bugis. Menurut L, perilaku macam itu adalah bid’ah yang dilarang ajaran Islam. Dia pun mulai tidak pernah bergaul dengan tetangga sekitar. Setelah L meninggalkan rumah, dia dinikahkan dengan YSF tujuh bulan lalu oleh seorang anggota senior Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Berdasarkan keterangan Kapolri Jenderal Sigit Listyo Prabowo, L dan YSF telah menjadi anggota JAD yang mempunyai afiliasi dengan aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Jolo, Filipina, pada 2019 lalu. Sebelumnya, ia mengungkap bahwa kepolisian telah menangkap 23 terduga teroris di berbagai kota Jawa dan Sulawesi. Dari 23 orang yang ditangkap, 13 di antaranya berkaitan dengan bom bunuh diri di gereja Makassar.

Bom bunuh diri yang dilakukan L dan YSF sendiri tidak menimbulkan korban jemaat, tetapi ada 20 orang yang mengalami luka-luka dan sebagian masih harus mendapatkan perawatan medis.

Berselang tiga hari dari insiden di Sulawesi Selatan, serangan teror kembali menerpa Indonesia. Seorang perempuan muda, masih 25 tahun, sendirian menerobos Markas Besar Kepolisian RI, mencoba menembak petugas di pos jaga, dan akhirnya terpaksa ditembak mati oleh polisi.

Pelaku berinisial ZA, adalah mahasiswa drop out yang ditelusuri memiliki simpati pada pandangan ekstrem Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Di dalam [postingan Instagram pelaku penyerangan mabes] ada bendera ISIS dan ada tulisan terkait masalah bagaimana perjuangan jihad,” kata Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dalam jumpa pers Rabu (31/3).

Meski demikian, kepolisian belum mengumumkan apakah ZA memiliki keterkaitan dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang melakukan aksi teror di Gereja Katedral Makassar.

Profil pelaku dari dua insiden berbeda itu meningkatkan sorotan pada usia eksekutor terorisme. Apakah benar indikasi dari BNPT, bahwa ada tren anak muda kini semakin didorong menjadi eksekutor aksi teror oleh jaringan ekstremis di Indonesia? Apakah ini fenomena baru?

Untuk memahami bagaimana anak-anak muda menjadi target perekrutan kelompok teroris, VICE berbincang dengan mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI) Nasir Abbas. Kelompok teroris tersebut pernah mempercayakan Abbas menjadi Ketua Mantiqi III untuk kawasan Filipina, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.

Kini Abbas bertobat, dan menjadi pengamat terorisme yang sering membantu kepolisian mengurai peta jaringan organisasi radikal di Indonesia dan Asia Tenggara. Berikut cuplikan obrolan antara Abbas dengan Rosa Folia, staff writer VICE Indonesia.

VICE: Apakah anak muda sedang menjadi sasaran perekrutan oleh kelompok teroris?
Nasir:
Sebenarnya anak muda itu kan enerjik. Anak muda itu kan yang bisa diharapkan, dibandingkan orang yang dewasa apalagi yang sudah berkeluarga, sudah punya anak. Walaupun ada yang aktif, tapi kebanyakan ya sudah mulai pikir urusan rumah. Jadi, kalau anak muda ini dia mudah gerak dan mudah ke mana-mana, dan apalagi anak muda ini kita tahu masih labil mencari jati dirinya.

Berarti bisa dibilang tren perekrutan calon teroris memang akan lebih sering menarget anak-anak muda?
Soal merekrut anak muda itu sudah lama. Saya sendiri direkrut waktu umur saya 18 tahun. Hanya saja, sekarang lebih gencar lagi. Kalau dulu kan sempat pada zaman Noordin-Azhari, pelaku-pelakunya anak muda. Pelaku bom Marriot anak muda, kemudian pelaku bom Kuningan anak muda. Pelaku Marriot-Ritz Carlton tahun 2009 itu anak umur 18 tahun baru selesai ujian UN. 

Hanya saja bedanya, sekarang itu lebih gencar, lebih banyak. Kenapa? Karena kelompok ini menggunakan fasilitas atau alat media sosial dalam menyebarkan paham. Kita tidak bisa menyalahkan media sosial karena memang itu adanya. Itu juga memudahkan berbagai macam urusan kehidupan kita. Jadi mereka juga menggunakan itu untuk memperbanyak [anggota].

Dulu juga merekrut, tapi sekarang lebih gencar. Zaman sekarang ini, lewat media sosial itu lebih cepat lebih mudah lebih efektif. Mengapa? Tidak perlu tatap muka. Video bisa dikirim dengan mudah. Artikel bisa dikirim dengan mudah. Kalau mau tatap muka ya lewat online saja lah. Sekarang sudah berbagai macam WhatsApp call, video call, Zoom, Skype. Semua sudah ada fasilitas itu. Lancar lagi.

Memangnya semudah itu untuk mendapatkan konten atau ceramah berisi dorongan untuk melakukan tindak kekerasan atas nama jihad?
Mudah sekali. Nah itulah bermula seseorang itu diajak untuk membenci, memusuhi, membenci pemerintah yang ada, memusuhi pemerintah yang ada, menganggap pemerintah zalim, pemerintah ini menzalimi Islam. Misal orang yang mendengarkan atau menonton ucapan itu, kemudian dia tidak mengklarifikasi, lalu pindahlah rasa kebencian itu terhadap dirinya dan dia mulai benci pada pemerintah, mulai benci, merasa tidak suka. Ini awal masuk masuk proses perekrutan. Ketika dia ketemu sama orang yang lain, dia yang kemudian menawarkan atau mengajak bagaimana mengaplikasikan rasa kemarahan atau kebencian itu, ya sudah lanjut pada tahap berikutnya. 



Tahap berikutnya? Artinya lebih proaktif mencari informasi soal penceramah tersebut dan mengikuti kegiatannya?
Bisa saja datang ke acara dia atau bisa saja dia cari lagi yang lain yang hampir sama, serupa. Misalnya, ada artikel, ada penulis yang serupa yang bahas itu. Kan dia rasa senang itu. Kemudian nanti masuk grup chat, mulailah diskusi, nah begitu. Jadi, di kala dalam pencarian itu kan dia cari yang sepaham, sepaham, sepaham. Dapat yang sepaham, tapi dia tidak mau saring, hanya sekadar membaca atau mendengar. Dia ingin berinteraksi begitu. Nah, dapat alamat email, dapat nomor WhatsApp. Ada WhatsApp group pasti akan masuk karena dia ingin berinteraksi.

Seberapa besar faktor keluarga atau lingkungan terdekat dalam menumbuhkan bibit-bibit kebencian, sampai akhirnya menjadi seorang teroris?
Memang seseorang itu terpengaruh bisa saja dari silsilah keluarga. Ada faktor sejarah keluarganya dulu pernah ikut NII (Negara Islam Indonesia) misalnya. Keluarganya dulu pernah ikut dalam kelompok teroris. Keluarganya dulu pernah ditangkap pihak kepolisian, dipenjara, sehingga kemudian anaknya cucunya mengikuti jejak langkah tersebut. Tapi, ada juga orang yang keluarganya moderat. Keluarganya menolak aksi kekerasan, tapi anak ini mendapatkan dari luar sehingga kita mendengar keluhan dari keluarga ‘kok anak saya pulang-pulang jadi diam’, ‘anak saya suka menyendiri’, ‘anak saya tidak mau salat bersama dengan keluarga’. Jadi, dia mendapatkan dari temannya.

Ada juga yang memang karena salah ikut [pergaulan]. Dia mau berubah nih, dia merasa banyak dosa, dia merasa pernah berbuat jahat, kemudian dia ingin bertaubat. Tanpa sepengetahuan ternyata dia salah ketemu orang. Ketemu sama orang yang dalam kelompok ini [radikal] sehingga disarankan ‘kamu kan banyak dosa, mau enggak ada cara yang mudah, yang cepat supaya dosamu itu langsung dihapus?’ Ya itu [katanya] mati syahid. 

Andaikata anak memperlihatkan tanda-tanda seperti itu, jadi pendiam atau menolak ibadah bersama, apa yang harus dilakukan orang tua?
Seharusnya orang tua bertanya. Kadang-kadang juga kalau orang tua terlalu keras sama anaknya, [takut] lari kabur, menghilang. Kalau bisa diajak bicara, ajak bicara. Kalau perlu ajak tokoh agama atau ustaz untuk ketemu anak ini. Jadi, ada pembandingnya.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan MUI mengatakan tindak terorisme tidak berhubungan dengan agama. Apa tanggapan Pak Nasir?
Apa yang disebut oleh Pak Wapres itu benar. Maksudnya begini, bahwa terorisme itu tidak ada kaitan dengan agama. Maksud beliau adalah agama tidak memerintahkan hal yang demikian [terorisme]. Agama yang benar tidak begitu. Namun, si pelaku ini memang beragama. Tapi agamanya itu keliru, sesat. Itu dia beragama memang, tapi agama yang sesat. 

Sesat dalam menginterpretasikan ajaran agama?
Sesat itu artinya salah, keliru, menyimpang. Jadi, yang disebut oleh Wapres itu bahwa tidak ada kaitan dengan agama itu benar. Memang tidak ada kaitannya dengan agama yang benar, yang lurus. Tetapi mereka beragama yang keliru, yang sesat.

Bila demikian, perlukah seseorang mempunyai sertifikat seperti diusulkan pemerintah jika ingin menyebut diri ustaz? Apalagi jika tujuannya mengurangi ceramah-ceramah berisi ujaran kebencian
Kamu punya sertifikat enggak kalau melamar kerja? Pasti punya, kan? Kalau enggak, apa bisa diterima kerja? Sekarang kalau misalnya para ustaz itu tidak punya sertifikat, bagaimana kita tahu bahwa dia memang benar sekolah? Bahwa memang mereka benar tahu [agama]?

Bahwa mereka memang bisa bicara [agama]? Jadi, itu bukan bermaksud untuk menyudutkan Islam atau menyudutkan ustaz. Tidak. Tapi, itulah dia administrasi. Kalau mau melamar kerja, engga punya sertifikat [ijazah], apa diterima? Begitu juga kalau dia mau bicara [agama], kita harus tahu kemampuannya.