Manusia Berpeluang Perang Menggunakan Robot di Masa Depan

Artikel ini pertama kali tayang di Waypoint.

Teknologi robot militer berkembang semakin pesat, kini tidak jauh berbeda dengan apa yang ditampilkan oleh video game seperti ‘Titanfall 2’ dan ‘Call of Duty: Infinite Warware.’

P.W. Singer merupakan seorang figur ternama di dalam komunitas militer dan wadah pemikir (think tank). Dia menulis Wired for War, sebuah buku mengenai penggunaan robot dalam situasi perang dan Ghost Fleet, sebuah novel yang berspekulasi tentang Perang Dunia III. Gara-gara novel ini, dia dipanggil Komite Bidang Pertahanan di Senat AS. Singer bekerja sebagai konsultan teknis untuk video game seperti Call of Duty, seri Metal Gear Solid dan beberapa film Hollywood. Kantor Singer di gedung New America Foundation—hanya terpisah satu blok dari Gedung Putih— kerap mendapat telepon atau kunjungan dari orang-orang yang ingin berbincang serius dengannya membahas peran mesin dalam perang masa depan.

Videos by VICE

Ketika sebuah proyek simulasi perang militer menghubungi Singer untuk berkonsultasi tentang kemungkinan perang menggunakan robot di masa depan, Singer mengiyakan tawaran tersebut. Sesudah rombongan itu tiba di kantor mereka, Singer terkejut melihat imej-imej robot perang yang disodorkan padanya ternyata hanya tiruan dari film sains fiksi macam The Terminator.

“Kenapa tidak menggunakan robot-robot perang betulan yang sudah beroperasi?” tanyanya. Jangan kaget, orang-orang militer sekalipun menganggap robot-robot perang di masa depan akan terlihat seperti robot dari film sains fiksi. “Peran saya hanyalah mengingatkan mereka untuk tidak semata-mata mengambil ide dari literatur/film mecha seperti Gundam atau Pacific Rim.”

Biarpun banyak robot militer yang sungguh digunakan di dunia nyata, para pembuat video game perang juga biasanya lari ke film sci-fi sebagai inspirasi. Bulan lalu, dua video game tentang perang di masa mendatang—Call of Duty: Infinite Warfare dan Titanfall 2—menceritakan sebuah dunia yang ditinggali oleh robot-robot perang otomatis lengkap dengan anatomi tubuh layaknya manusia, mulai dari robot infantri antropomorphis hingga robot mecha yang dikontrol oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Foto Titanfall 2, dimuat atas seizin EA Games.

Sebetulnya ide menggunakan robot untuk perang realistis atau tidak? Apakah robot benar-benar digerakkan seperti Gundam di medan perang? Siapa juga yang mau punya robot berbentuk seperti manusia biasa lengkap dengan lengan, kaki dan kepala? Pertanyaan ini lumayan rumit dijawab. Ada area abu-abu antara bentuk robot masa depan yang dibayangkan oleh manusia dengan perangkat keras robot yang kini sedang benar-benar dibangun para ilmuwan.

Biarpun mungkin sangat berbau spekulatif, pertanyaan tentang bentuk robot di masa depan itu sebetulnya sangat relevan sekarang. Sebab, pada 2017 pemerintahan Presiden Terpilih Donald Trump akan memutuskan apakah AS harus memproduksi robot yang mampu membunuh sasaran tanpa campur tangan manusia.

SELANGKAH DEMI SELANGKAH

Kontras antara bentuk robot sesungguhnya dan robot film sains fiksi sudah muncuk semenjak genre sci-fi itu ada. “Robbie”, cerita pembuka film I, Robot karya Isaac Asimov yang terbit 1950 berspekulasi bahwa pada 1998, manusia sudah cukup terampil membuat robot yang bisa berjalan; Dia juga menulis bila “Robot yang bisa hanya bisa berbicara” hanya akan jadi hiasan di museum. Realitanya? Justru kebalikannya yang terjadi. Jika anda memiliki iPhone, berarti anda sudah punya sebuah “mesin yang bisa berbicara” sementara para ilmuwan kita justru belum menguasai intrik biomekanik pergerakan manusia untuk diaplikasikan ke robot.

Menurut Doctor Singer, merangkai kaki robot adalah tantangan berat karena harus memikirkan pergerakan dan keseimbangan. Satu langkah kaki sebuah robot membutuhkan puluhan otot, sendi dan ligamen beroperasi secara harmonis, dari ujung jempol kaki hingga pinggang. Otak dan bagian tubuh yang lain pun harus bisa menyesuaikan. Teknologi pembuatan robot kita belum sampai di situ. Lantaran sangat rumit, robot yang bisa berjalan—bahkan yang paling terkenal sekalipun seperti robot Atlas yang bisa membawa kardus karya Boston Dynamics—dianggap masih dalam fase “proyek sains”.

Memang ada percobaan-percobaan ke arah pembuatan robot perang. “Tapi belum ada satu pun yang berhasil,” ungkap Singer. “Belum ada satupun yang berhasil menciptakan semacam robot prototipe. Kita sampai situ saja belum.”

Biarpun perkembangan robot antromorphis terlihat menjanjikan, sekarang mereka baru bisa digunakan untuk membuat video YouTube yang keren aja. Robot-robot ini belum bisa beroperasi dalam waktu lama tanpa harus buru-buru dilarikan ke colokan. Di sisi lainnya, robot-robot militer—yang bergerak menggunakan roda, track, sayap dan baling-baling—malah sudah mulai digunakan di medan perang. “Biarpun kaki robot masih dalam tahap penelitian, namun bentuk robot lainnya sudah bisa beroperasi secara nyata.”

Video: Robot ‘Spot’ karya Boston Dynamics

Setiap kali berbincang dengan pembuat video game atau penulis skenario militer, Singer berusaha realistis tentang perkembangan teknologi robot. Itulah sebabnya video game Call of Duty: Black Ops II yang akan dirilis sebentar lagi—hasil konsultasi para pembuatnya dengan Singer—menampilkan drone berbentuk serangga, pesawat terbang otomatis, tank penjaga miniatur, dan bukannya robot militer berbentuk manusia.

“Sepuluh tahun ke depan sepertinya kita masih belum akan bisa menyempurnakan sistem kaki robot,” jelasnya. “Nah kalau 50 tahun, kemungkinan masalah ini sudah beres.”

Singer mengatakan bahwa sistem kaki robot yang sempurna hanyalah masalah waktu saja—karena penemuan ini sangat dibutuhkan untuk perang-perang menggunakan robot di lokasi perkotaan.

Manusia terobsesi membayangkan munculnya robot berbentuk manusia, karena kita terus-terusan merujuk ke film-film sci-fi dan tidak menciptakan imajinasi baru. Di masa depan, kalaupun muncul robot antropomorphis, mereka akan digunakan dalam medan perang. Mengingat pesatnya urbanisasi dan peningkatan penduduk di kota-kota besar, Akademi Militer AS memperkirakan di masa depan semakin banyak perang yang terjadi di daerah-daerah perkotaan. Dengan kata lain, area-area yang memang dibangun untuk hunian manusia.

“Kalau anda berusaha menciptakan robot yang bisa bergerak masuk keluar ke sebuah gedung,” jelas Singer, “Mau tak mau anda harus mengikuti bentuk tubuh manusia karena gedung-gedung kita didesain sedemikian rupa untuk kehidupan manusia. Ini persoalan desain yang nyata.”

Para peneliti di beberapa negara sekarang berusaha membuat robot yang bisa menyisir gedung-gedung dengan arsitektur sederhana. Pada 2008, TechX Challenge di Singapore menawarkan hadiah uang sebesar $700.000 (setara Rp9,3 miliar) untuk siapapun yang mampu membuat robot yang secara otomatis bisa masuk ke sebuah gedung, naik tangga, lalu memencet tombol elevator ke lantai yang telah ditentukan. Yang menang? Tidak ada. Kebanyakan robot yang diuji bahkan gagal masuk ke gedung yang sudah terbuka lebar karena tidak ada pintu masuknya.

Namun jangan salah, teknologi manusia terus berkembang. Baru-baru ini, sebuah tim di Stanford berhasil membuat sebuah robot yang sanggup memencet tombol elevator sesuai lantai yang diinginkan secara konsisten, sekaligus mengenali panel tombol elevator asing. Ini kemajuan yang luar biasa. Robot ini memiliki dua mata dan sepotong “jari”—dua organ manusia yang sangat penting dalam menavigasi sebuah gedung. Namun ketika robot harus naik tangga, dua organ ini saja tidaklah cukup. Secara kontras, robot-robot Explosive Ordinance Disposal (EOD) yang menggunakan roda atau track ala-ala tank justru bisa menghadapi tangga, biarpun agak ceroboh.



Call of Duty: Infinite Warfare seijin Activision

Biarpun begitu, menurut Singer sistem kaki robot masih layak diwujudkan. Sistem pergerakan tertentu lebih cocok untuk medan tertentu—roda itu cepat tapi hanya berfungsi di permukaan rata, sedangkan desain kaki track lebih lambat namun efektif melewati puing-puing. Apapun itu, kaki manusia tetap yang paling fleksibel. “Anda bisa berjalan dalam medan apapun,” katanya. “Mau permukaan rata, tangga, atau sisi pegunungan, aspal ataupun pasir, semua bisa.”

Menciptakan sistem navigasi agar robot bisa melewati ruangan dan bangunan menjadi prioritas saat ini. Militer AS ingin mengembangkan robot yang bisa mengamankan bangunan—prosedur yang dianggap berbahaya untuk manusia. Sebuah bot yang tengah menjalankan tugas ini adalah 110 FirstLook karya Endeavor Robotics, sebuah drone portable yang bisa dijalankan menggunakan remote control. Drone ini dapat membantu tentara menyisir sebuah gedung lewat kamera yang terpasang di bot tersebut.

Pentagon berharap di masa depan akan tercipta sistem teknologi bot yang dapat memuat manusia ataupun tanpa manusia. Mulai dari jubah exoskeleton ala Iron Man hingga bot yang bisa menjebol pintu agar tentara bisa masuk dan menyisir ruangan secara aman. Sistem ini akan semakin melindungi nyawa para tentara, tapi pastinya makin menyusahkan lawan-lawan mereka.

Video game Titanfall dan Infinite Warfare menampilkan teknologi semacam ini. Di Infinite Warfare, ada sosok robot pelindung yang tugasnya menjebol pintu dan kerap mengejar pemain di posisi mereka. Sementara di Titanfall 2, pemain dapat “meretas” robot untuk menjadi sekutu, memaksa mereka menjadi tameng dari tembakan-tembakan musuh. Kedua skenario ini merupakan bukti bahwa suatu hari robot diharapkan dapat mengambil peran tentara manusia yang penuh risiko kematian.

ADA ROBOT UNTUK SETIAP PEKERJAAN

Para robot di Titanfall 2 dan Infinite Warfare bukan sekadar perangkat perang—mereka juga melakoni pekerjaan industri. Mereka bisa saja mengepung pesawat luar angkasa, atau menggali pertambangan di Merkurius. Yang jelas, banyak pekerjaan yang tidak bisa dilakukan oleh manusia yang bisa dengan mudah dikerjakan oleh robot.

Ya, kira-kira begitulah bagaimana kita mempergunakan robot-robot militer dan industri hari ini—tak seperti sepupu mereka yang bisa terbang, drone, ruang gerak robot sekarang masih terbatas untuk membantu kehidupan manusia, alih-alih mengakhirnya.

Robot militer saat ini melayani kebutuhan Explosive Ordinance Disposal (EOD), atau beroperasi untuk menangani materi kimiawi atau radioaktif. Setelah krisis Fukushima Daiichi pada tahun 2011, misalnya, Tokyo Electric Power Company mempekerjakan seorang kontraktor untuk mensurvei lokasi menggunakan drone berjenis T-Haw. Drone masih digunakan di Fukushima hingga kini, dan tahun lalu, sebuah drone yang dirakit secara khusus berhasil menyiarkan video dan prediksi radiasi dari dalam reaktornya sendiri. Drone itu mampu bertahan selama tiga jam dalam kondisi yang berpotensi membunuh manusia dalam sekejap. Inilah skenario terbaik dari sistem robotik—mengambil alih tugas-tugas yang, pada masa lalu, seperti di Chernobyl, membunuh banyak sumber daya manusia.

Sebagai kemajuan teknologi, perencana pertahanan akan mencari pekerjaan berbahaya lainnya yang mungkin bisa digantikan oleh robot. Misalnya, konvoi pengemudi-otomatis, dapat mengurangi jumlah personel militer atau kepolisian yang tewas akibat bom IED. Robot yang dapat berhalan atau memiliki roda dapat membantu meningkatkan jumlah pasokan daripada yang mampu digotong oleh tim manusia di lapangan. Robot juga tak perlu repor-tepot kembali ke markas, dan dapat membantu mengurangi jumlah pasukan yang terlihat oleh musuh dalam baku tembak.

Call of Duty: Infinite Warfare

Awal tahun ini, perusahaan Israel Tactical Robotics mengadakan ujian terbang pertama yang berhasil untuk AirMule, sebuah drone ambulans swatantra, yang berfungsi untuk lepas landas dan mendarat dalam kondisi perang yang tidak memungkinkan bagi helikopter evakuasi. John Hopkins baru-baru ini membuktikan mampu mengirim darah melalui drone, dan pemerintah Jepang mulai menguji drone-drone tersebut untuk mengirimkan alat defibrilator.

Anda mungkin menyadari drone terlihat mirip dengan perkakas yang mereka gantikan, alih-alih dengan manusia yang pekerjaannya mereka ambil alih—dan itu memang tujuannya. Sebuah robot bertugas untuk memenuhi fungsinya, bukan untuk mengimitasi manusia. Sebuah robot medis tidak akan terlihat seperti staf medis, dan lebih mungkin mewakili Robotic Extraction Vehicle/Robotic Evacuation Vehicle (REX/REV): sebuah ambulans otomatis yang menyebarkan bot tandu yang dioptimalkan, untuk membawa dan mengobati korban. Hal itu dilandasi alasan praktis saja, kata Dr Singer, dan didorong oleh kekuatan pasar.

“Jika sebuah pabrik dirancang untuk memproduksi mobil-mobil, konversi untuk membuat mobil robotik akan menghemat biaya, jika tugasnya selalu sama,” ujarna. “Kita, intinya, sedang mengganti perangkat lunaknya dan bukan perangkat kerasnya.” Dia juga berkata bahwa pelanggan—termasuk militer—lebih nyaman membeli perangkat yang terlihat familier.

Ini teramat penting bagi militer, di mana para jenderal yang membuat keputusan-keputusan penting cenderung lebih tua dan tidak akrab dengan teknologi. Sebagai contoh, tahun lalu seorang kapten di U.S. Army Cyber Institute merakit mesin drone gabungan dengan Raspberry Pi—robotnya bisa saja dibentuk serupa radio, tetapi dia justru membuatnya terlihat serupa senjata api agar para pejabat dapat lebih familier. “Jika bentuknya seperti senjata api, akan lebih mudah dikonsumsi oleh pemimpin senior,” ujarnya pada told Popular Mechanics. “Bidik. Tembak. Hancurkan.”

Kemampuan mendeskripsikan teknologi pada pejabat tinggi adalah kunci dari pemerintahan selanjutnya. Pada sebuah memo yang terbit 2007, presiden-terpilih Trump mengakui bahwa dia tidak memiliki komputer. Dia sepertinya membaca surel dan artikel daring dalam bentuk cetak. Pejabat seperti Trump cenderung lebih mungkin membeli teknologi yang akrab baginya.

Permasalahan dari memodifikasi kendaraan terkini adalah itu memperlambat inovasi dan efesiensi. Robot untuk membenahi pertambangan, yang terlihat seperti traktor, mungkin terjual lebih baik, tapi nanti taksi tanpa pengemudi akan dianggap materi mubazir dan dihilangkan. Nyatanya, bagian dari perjanjian tentang sistem swatantra adalah sistem ini dapat menghilangkan sistem yang tidak diperlukan, menyimpan bahan bakar dan menciptakan lebih banyak ruang untuk kargo, muatan, atau perkakas.

Begitu pula, teknologi reobotik mungkin tidak berkembang cukup pesat karena berupaya untuk mereplikasi sistem penggerak manusia, alih-alih melampauinya. Meski gerakan kaki adalah sistem traversal yang unggul, kaki bipedal bukanlah versi yang paling efesien. Robot dengan banyak kaki mampu berfungsi sebagai landasan yang lebih stabil untuk menembak, dan menyelesaikan permasalahan keseimbangan dalam jangka pendek—artinya, robot dengan kaki yang paling fungsional mungkin lebih mirip anjing, atau laba-laba, daripada manusia. Menariknya, robot-robot perang di masa mendatang mungkin memiliki rancangan yang terinspirasi oleh alam, seperti pada game Horizon: Zero Dawn yang akan datang.

Di atas: trailer Horizon Zero Dawn dari PSX 2016.

Telah banyak proyek yang berusaha mereplika sistem biologis dalam bentuk robot. Peneliti Eropa sedang mengerjakan mata artifisial yang mampu meniru mata majemuk melengkung milik serangga. MIT telah memproduksi robot yang terinspirasi dari Citah didanai oleh DARPA—yang mampu berlari dengan kecepatan tinggi dan meloncati hambatan-hambatan. Ilmuwan lain sedang mengusahakan sistem drone yang dapat menyesap daya dari saluran listrik layaknya burung yang sedang bertanggar, atau “memakan” komponen organik dan membakarnya untuk menjadi bahan bakar (sayangnya robot ini kurang digemari ketika para jurnais mengetahui bahwarobot ini, secara teori, dapat hidup mengonsumsi mayat manusia). Salah satu tim riset ingin membuatkan sensor yang dapat mereplika penglihatan unik elang, yang mirip dengan pengaturan gambar-di-dalam-gambar pada TV.

“Elang memiliki kemampuan untuk memindai area luas dan memperbesar target secara bersamaan,” kata Singer. “Itulah yang kami ingin buatkan pada drone dengan kemampuan terbang tinggi.”

Namun, yang menariknya adalah robot yang meminjam sifat-sifat dari alam, memiliki intelegensi yang terpisah. Kita cenderung menganggap robot sebagai sistem intelegensi yang besar, seperti manusia. Faktanya ada peningkatan ketertarikan di kawanan robot kecil yang memiliki tugas spesifik, seperti semut, yang mampu mengkordinasi serangan atau misi pengawasan.

“Sebagai individu, semut tidak terlalu pandai,” ujar Singer. “Ketika bekerja sama mereka bisa melaksanakan tugas berintelegensi tinggi. Kita juga mengamati hal yang sama pada robotik—apakah sebuah robot berfungsi mengerjakan tugasnya dengan sebuah sistem besar yang cerdas, ataukah dengan serangkaian pekerjaan kecil?”

Kawanan drone kecil bukanlah teknologi yang masih di angan-angan, melainkan sudah menjadi bagian dari masyarakat. Disney baru saja meluncurkan pertunjukan lampu aerial di Orlando, dimana 100 drone yang disertai lampu LED berbentuk pepohonan natal dan burung-burung berterbangan. Tak hanya itu, drone ini juga dilengkapi sistem koreografi yang bergerak mengikuti musik. Tak sulit untuk membayangkan masa depan yang kelam di mana, alih-alih LED, drone tersebut membawa bom-bom kecil mirip dengan yang dijatuhkan oleh drone Hezbollah pada pemberontak Syria.

Karena beberapa peneliti sedang mempelajari semut-semut, dan peneliti lain sedang mereplika elang, mungkin saja bahwa robot di masa mendatang—meski mereka tampak seperti manusia—adalah percampuran teknologi dari banyak makhluk hidup. Robot perang di masa mendatang mungkin berjalan seperti citah, memandang seperti lalat, dan memiliki lengan manusia.

Karena robot bukan makhluk alamiah, mereka tidak perlu mengikuti aturan biologis atau hukum evolusi. Tidak ada hewan di bumi yang memiliki mata di tangannya—tetapi bot EOD modern memiliki fitur ini, sehingga dia mendampingi proses sensitif pembongkaran IEDs. Daripada tampak seperti humanoid atau animalistis, robot perang mungkin akan tampak seperti karakter di kisah H.P. Lovecraft, memiliki lengan dan mata meremang.

Hal tersebut sekilas menarik dipikirkan. Tapi kemudian, ketika membayangkan diri kita sebagai warga negara atau tentara dengan darah dan daging, yang harus menghadapi medan perang yang ricuh, rasanya jadi menakutkan.

FIKSI MENCONTEK REALITAS ATAU SEBALIKNYA

Meski dihadapkan pada beberapa kemungkinan ini, Industri game tetap setia menggunakan konsep robot militer tradisional—embrionya sudah terbentuk dalam Tin Man serta film Metropolis alih-alih melirik perkembangan termutakhir dalam dunia robotik di dunia nanya. Sebagai seorang penasehat bag sebuah studio hame, Singer kerap mengusulkan konsep robot yang lebih membumi. Sayangnya, para seniman pengguggah game sudah kadung terpaku pada konsep robot yang sudah melekat dalam dunia game.

“Anda bisa saja menilai, ‘itu kan tidak realistik,’ lalu orang-orang bakal membalas dengan bilang ‘Bukannya robot emang begitu yang bentuknya,’” jelas Singer. “Fiksi sains memang sudah kadung membentuk cara pandang kita tentang masa depan.”

Jika kita terus menerus dicekoki konsep robot futuristik seperti dalam game, ujung-ujungnya muncul dampak mengejutkan. Saat ini beberapa pemimpin militer sudah menganggap bahwa robot-robot dalam film Hollywood adalah cetak biru robot di masa mendatang. “Masalah yang sama terjadi di kalangan militer: mereka bepikir robot harus didesain dengan gaya futuristik karena robot-robot dalam film terlihat seperti itu. Ini sebuah lingkaran setan.”

Titanfall 2 dan Infinite Warfare banyak menggambarkan pasukan robot dalam gameplay keduanya, setidaknya, robot digambarkan lumayan tetap di dalamnya. Menurut teori pertahanan termutakhir, robot akan memperkuat dan melengkapi unit militer tradisional. Robot tak akan sepenuhnya mengganti tentara tradisional. Marine Corps Warfighting Laboratory envisions sejak jauh-jauh hari membayangkan sistem MAARS—sebuah tank dikendalikan dengan remote dan dilengkapi beberapa kamera, senapan mesin M240 dan pelontar granat—atau sebuah RV-M besar sebagai tambahan pasukan yang mampu membawa peralatan berat dan melakukan operasi militer kecil-kecilan.


Call of Duty

Sementara itu, Uran-9, tank tanpa awak buatan Rusia, berusaha didesain menampung senjata anti-infantri dan pelaratan anti senjata dalam bentuk yang ringkas. Tank ini juga dikendalikan oleh beberapa kru dari jarak jauh. Meski dua prototip tank ini tak ada apa-apanya dibanding skuad robot dalam Titanfall 2 dan Infinite Warfare, fungsi mereka setidaknya lumayan mirip—tambahan skuad guna memastikan keselamatan pasukan tentara dalam sebuah perang.

Ketika Reyes mengendalikan mecha bersenjata dalam game Infinite Warfare, dia sejatinya hanya menggerakan robot itu dari jauh. Mekanisme ini mirip dengan yang digunakan dalam sistem MAARS atau Uran-9. Dalam kasus lainnya, Seeker grenade dalam di Infinite Warfare—peledak dengan dilengkapi kaki-kaki seperti kepiting yang bergerak mencari targetnya—sejatinya hanyalah versi otonom dari apa yang dilakukan kepolisian Dallas musim panas lalu. Kala itu, mereka menempelkan C4 pada robot EOD dan melepaskannya untuk mencari seorang sniper. Insiden mencengangkan itu—pertama kalinya dalam sejarah sebuah kendaraan darat tanpa awak (UGV) berhasil membunuh manusia—memicu munculnya desakan terhadap kepolisian AS untuk meninjau ulang kebijakan penggunaan senjata mereka. Pihak kepolisian membeberkan panduan yang gamblang tentang penggunaan drone bersenjata.

Beruntung, Departemen Pertahanan AS mungkin belajar dari pengalaman penggunaan UAV dalam perang melawan terorisme, termasuk lamban dalam memperkenalkan penggunaan UGV. Pendahulu sistem MAARS, SWORDS (yang juga dioperasikan dengan remote control) pernah digunakan dalam peperarang di Irak meski tak pernah menggunakan satu butir peluru pun karena masalah dalam sistem targettingnya. Menurut Army Program Manager yang, Pentagon memang berhati-hati dalam mengoperasikan UGV. Dia percaya bahwa jika UGV bekerja di bawah standar atau salah menarget, akan terjadi kemunduran dalam program UGV pantagon. responsible suggested that the Pentagon was merely being careful, believing that if a UGV either

Sikap hati-hati ini bisa menguap begitu saja dalam beberapa bulan ke depan ketika Presiden Trump mulai berkantor di Gedung Putih. Pemerintahan baru AS punya kuasa untuk menulis ulang peraturan penggunaan robot dalam perang.

PEMERINTAHAN TRUMP MEMEGANG KUNCI MASA DEPAN ROBOT DI AS

Menurut Singer, makin populernya penggunaan robot swatantra bakal memiliki konsekuensi legal dan ekonomis. Adalah pemerintahan Presiden baru AS Donald Trump yang memegang kendali atas masa depan dunia robot dalam perang atau dalam kehidupan sehari-hari. Mobil Swantantra berarti kecelakaan tanpa seorangpun yang bisa ditimpakan kesalahan (bisa sensornya yang salah atau rem-nya blong?). Namun di sisi lain, kemunculan mobil tanpa supir ini bakal menyingkirkan banyak pekerja di bidang transportasi dan manufaktur.

“Bukan hanya pertanyaan aspek hukum membahas cara kita mengendalikan teknologi robot dalam perang atau di jalan tol. Penggunaan robot juga memicu kekhawatiran munculnya pengangguran besar-besaran di kepala banyak orang,” ujar Singer. “Dampaknya sudah mulai dirasakan juga di Cina. Pabrik Foxconn di sana sudah makin otomatis. CNN menayangkan sebuah berita robot yang bisa membuat t-shirt sendirian. Apa artinya ini bagi buruk tekstil di Bangladesh?”

Terlepas dari dampak ekonomi dari proses otomatisasi, pemerintah Trump harus menerbitkan aturan teknis kebijakan militer AS tentang penggunaan senjata otomatis atau LAW. Kebijakan pentagon yang berlaku saat ini, disahkan pada 2012, menyatakan harus selalu ada personel untuk mengontrol sistem senjata otomatis—senjata tak bisa membunuh orang lain karena kehendaknya sendiri.

Meski sumir, panduan ini menegaskan manusialah yang memegang kendali bukan mesin. Aturan ini masih bisa diubah oleh pejabat tinggi AS jika dirasa perlu

“Ada klausul yang mengatakan, aturan ini bisa diperbaharui atau tidak setiap lima tahun.” ujar Singer. “Tahun depan sudah masuk tahun kelima.”

Dengan kata lain, di tangan pemerintahan Trump, AS harus bersikap: akankah mereka memproduksi robot pembunuh—atau keputusan hidup matinya seseorang masih dipegang manusia.


Robert Rath adala seorang penulis paruh waktu, novelis dan periset yang bermukim di Hong Kong. Tulisannya telah dimuat di Zam, Vice, The Escapist, Playboy and Slate. Kamu bisa mengikuti berbagai tuliannya di RobWritesPulp.com atau @RobWritesPulp.