Setibanya di tempat konser, Brandon Dalaly dan teman-temannya diminta menunjukkan bukti sudah vaksin. Namun, dia tidak menyimpan kartu vaksin di dompet. Sertifikat digital juga tidak ada.
Dia tak terlihat panik sama sekali. Dengan santai, dia mengarahkan tangan ke mesin pemindai dan seketika cahaya hijau berpendar dari dalam kulit. Informasi vaksin miliknya muncul tak lama kemudian. Penjaga gerbang mengizinkannya masuk dengan tampang terpana.
Videos by VICE
Dalaly menyebut dirinya “manusia setengah cyborg”, julukan populer di kalangan orang yang menanam perangkat seukuran beras bernama microchip di tubuhnya.
Dia pertama kali mengetahui ada orang pasang microchip pada 2014, dari artikel tentang perusahaan yang menawarkan pilihan mengganti kartu pegawai dengan alat yang dapat dipindai. Setelah mempertimbangkannya selama enam tahun, Dalaly memutuskan tanam microchip pada Juni 2020. Teknologi ini jauh lebih canggih sekarang.
“Saya menyimpan rekam medis dan portofolio di dalam microchip. Saya juga menggunakannya sebagai dompet kripto dan membuka kunci pintu,” ungkapnya kepada VICE.
Identifikasi Frekuensi Radio (RFID) sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Teknologi ini menggunakan antena untuk mengirim dan menerima gelombang radio yang membawa informasi. Cara pemindaiannya kurang lebih mirip seperti barcode.
Pada 1998, ilmuwan Inggris Kevin Warwick (dikenal sebagai “Kapten Cyborg”) menjadi orang pertama yang menanam RFID di tubuh. Dia ingin bereksperimen membuka pintu dan menyalakan lampu atau komputer tanpa mengangkat satu pun jari.
Bertahun-tahun kemudian, teknologinya tersedia secara komersial. Ribuan orang di Swedia, misalnya, menanam microchip yang mempermudah keseharian mereka. Dengan demikian, tak mengherankan apabila ada forum online yang khusus membahas soal ini.
Grup Facebook RFID Implantees diikuti lebih dari 4.000 anggota yang aktif mendiskusikan tentang pemasangan microchip serta fungsi-fungsi yang dimilikinya. Banyak di antara mereka telah mengandalkan teknologi untuk menunjang keseharian, dari membuka pintu mobil hingga melakukan transaksi nontunai. Alat ini biasanya disuntikkan di antara ibu jari dan telunjuk hingga masuk ke dalam kulit. Namun, ada juga yang melakukan jalur operasi.
“Tak ada kenalan saya yang menanam [microchip],” kata Dalaly. “Maka dari itu, saya bergabung di grup Facebook untuk ngobrol bareng mereka yang juga menanam chip.”
Selain berbagai kemudahan yang ditawarkan, keamanan tambahan menjadi alasan utama mereka “menyimpan” kode yang dapat dipindai di dalam kulit.
Hacker etis Jake Bachus dari Michigan, AS telah menanam microchip untuk penggunaan sehari-hari, seperti membuka pintu dan menyimpan informasi. Namun, dia melihat implan yang tak kentara berpotensi menjadi solusi keamanan terbaik.
“Saya membuat dan memprogram implan biasa sebagai kunci brankas senjata,” ujarnya, lalu menambahkan tanam microchip tak berbahaya seperti orang mengakses senjata. Bachus menderita ADHD dan gampang lupa kata sandi. Dia juga sering kehilangan kunci. Karena itulah dia memanfaatkan microchip demi keamanan. “Lebih cepat daripada keypad digital, lebih andal daripada biometrik, dan lebih aman juga. Orang bisa mengintip saat kalian memasukkan kata sandi.”
Pakar privasi data telah menyatakan kekhawatiran apakah microchip bisa melacak, meretas atau mencuri data sensitif dengan dimasukkan ke kulit.
Faktanya, Council on Ethical and Judicial Affairs (CEJA) dari American Medical Association menjelaskan dalam laporan tahun 2007, tanam RFID dapat menimbulkan masalah privasi karena, meskipun informasi tidak dapat disimpan dalam transponder RFID, tidak ada jaminan informasi dalam chip benar-benar dilindungi.
Namun, para pencinta teknologi berpendapat sebaliknya.
“Melacak orang pakai ponsel cerdas jauh lebih mudah daripada melalui microchip, yang merupakan perangkat pasif dan tidak ditenagai baterai. Implannya perlu didekatkan ke mesin pemindai RFID dalam jarak 2-3 milimeter [untuk berfungsi],” terang Patrick Paumen. Ada 31 buah microchip yang tertanam di tubuh biohacker yang berbasis di Selandia Baru. Kebanyakan untuk menyimpan kata sandi email dan bahkan situs WordPress miliknya.
Orang-orang seperti Dalaly sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis pertanyaan dari mereka yang penasaran dengan keputusan unik ini. Namun, ada kalanya orang berkomentar untuk memojokkan mereka.
“Pacarku dulu mengajak saya berkenalan dengan orang tuanya. Saat saya pergi ke rumahnya, ayahnya mengatakan microchip saya menandakan ‘akhir zaman’ sudah semakin dekat. Dia bahkan mengutip penggalan Kitab Wahyu yang merujuk pada tanda-tanda kedatangan Setan,” kenang Dalaly.
Mengingat praktiknya belum lazim, dia berujar ketidakpastian dan kecemasan seputar memasukkan objek teknologi ke dalam kulit cenderung menghasilkan reaksi yang beragam.
Akan tetapi, kekhawatiran terbesar bagi pemilik microchip adalah alatnya tidak berfungsi dengan baik. Terlebih lagi, kemajuan teknologi dapat membuat chip RFID mereka cepat usang.
Contohnya seperti yang dialami Jackson Kingman. Dia menanam 31 buah microchip, tapi rasanya tak ada satu pun yang berguna. “Antena salah satu chip saya kurang bagus, yang melebihi kegunaan biasa,” Kingman mengakui. “Implan lainnya berupa emulator kartu kedekatan yang bisa digunakan untuk memasuki gedung atau lift, tapi sayangnya sudah tidak berfungsi karena kesalahan pemrograman yang terjadi tak lama setelah terpasang. Saya merasa chip-chip ini tidak berguna, tapi saya tidak pernah mengeluarkannya karena cocok buat tubuh untuk jangka panjang.”
Lainnya juga mengakui redundansi implan magnetik, prototipe eksperimental yang mendahului penggunaan RFID, telah menimbulkan kekhawatiran microchip akan bernasib serupa di masa depan.
Namun, terlepas dari potensi bahaya dan kekurangannya, komunitas RFID Implantee tetap bangga dengan keputusan ini. Mereka lebih memprioritaskan kenyamanan dan kemudahan hidup daripada masa depan yang tak pasti.
“Tak seperti tindik dan tato, implan ini tidak didesain untuk mengubah penampilan, melainkan menambah kegunaan praktis pada tubuh,” tutur Bachus. “Teknologi terus berkembang. Kita manusia juga terus berkembang. Tapi bagi sebagian orang, perkembangannya kurang cepat. Jadi kami menanganinya sendiri dengan menanam teknologi ke tangan.”