Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.
“Masa lalu adalah negara yang asing” merupakan frasa yang digunakan LP Hartley untuk mengawali salah satu bukunya. Mengingat kembali Juli 2016, mudah untuk lupa bahwa selama 31 hari, banyak orang nekat meloncat ke depan mobil berjalan hanya untuk menangkap Pokémon.
Videos by VICE
Mereka yang tidak merasakan sebuah era mengandalkan buku sejarah untuk memberi mereka informasi tentang nama, wajah dan tren yang meramaikan Juli 2016. Buku-buku ini pastinya akan menceritakan kisruhnya proses voting Brexit dan perjalanan Presiden Trump menjadi pemimpin Gedung Putih AS. Dalam budaya pop, anda akan membaca nama seperti Justin Bieber, Drake, dan bagaimana Portugal menjadi negara yang memenangkan Piala Eropa 2016.
Hal yang sama terjadi dalam dunia game. Tidak banyak lagi pembahasan tentang Pokémon Go, game augmented reality berbasis permainan Nintendo yang populer dekade 90’an lantas diremake menjadi sebuah app yang memperbolehkan penggunanya menangkap makhluk digital dalam lokasi dunia nyata. Juli 2016, game ini dimainkan oleh puluhan juta orang hanya saja beberapa hari setelah dirilis. Tapi setelah cukup waktu berlalu, kini kita bisa mengevaluasi signifikansi sesungguhnya dari game tersebut dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang terjadi di Juli 2016 mempengaruhi kehidupan kita sekarang.
“Kita selalu mencari sesuatu yang bisa kita percayai,” kata Dr Aaron Rosen, penulis Art and Religion in the 21st Century sekaligus Profesor Ilmu Agama di Rocky Mountain College yang menganggap Pokémon Go sebagai sebuah fenomena. “Ada banyak sekali periode obsesi kegilaan sepanjang sejarah manusia—dari tulip mania di 1637, hingga South Sea Bubble di awal 1700an, atau bahkan Perang Salib—tapi yang menarik semua ini kembali terulang di Juli 2016.
Seseorang yang mengalami titik tinggi dan rendah kegilaan Juli 2016 adalah Sam Clark, yang menjadi buah bibir ketika dia berhasil menangkap semua Pokémon di Inggris—dan kehilangan berat badan sebanyak 14 kg. Kami ngobrol dengannya.
“Saya mengunggah sebuah video ke YouTube ketika saya berhasil menangkap semua Pokémon,” ingatnya, “kemudian BBC mengontak saya. Ponsel saya terus berdering selama tiga hari. Hype banget. Saya sempat masuk CNN; Newsnight ingin wawancara via Skype. Cerita saya di BBC dikunjungi empat juta kali. Sampe-sampe ada reporter kejahatan meminta saran untuk memainkan Pokémon Go di malam hari. Saya sudah jadi gamer seumur hidup, dan tidak pernah menyaksikan game apapun mendapat perhatian sebanyak itu. Selama tiga minggu, semua berita berhubungan dengan Pokémon. ‘Seseorang terjebak di pantai – gara-gara Pokémon Go.’ ‘Seseorang jatuh dari bukit – Pokémon Go.’
Tapi akibat ketenarannya, Sam harus menghadapi “sisi gelap”: serangan trolling dan ejekan yang sangat parah hingga akhirnya dia menyerahkan akun Pokémon Gonya ke keponakannya yang baru berumur sembilan tahun. Dia akhirnya menyesali keputusan ini, dan di September 2016, dia memulai akun baru dan menangkap semua Pokémon untuk kedua kalinya.
Tom Currie dari Selandia Baru juga menjadi headline internasional di Juli 2016 ketika dia mengundurkan diri dari pekerjaannya untuk menjadi pelatih Pokémon full-time. Saat itu, dia hanyalah seorang barista berumur 24 tahun; kini, masih berumur 24 tahun, dia ingat betul momen ketika Pokémon Go memasuki hidupnya. Saat itu tanggal 6 Juli dan dia tengah tinggal bersama Ayahnya di Charleston, sebuah desa kecil di pulau selatan Selandia Baru.
“Sinyal ponsel aja hampir gak ada, saya harus naik ke atas bukit untuk mendapatkan sinyal,” ingat Tom. “Saya sedang keluar berjalan-jalan, mengumpulkan batu untuk membuat taman batu.” Seorang teman merekomendasikan Pokémon Go lewat Facebook—situs berjejaring sosial yang di saat itu masih digunakan lebih dari 1.7 milliar orang. “Wah kayaknya seru nih,” ingat Tom. “Jadi saya berdiri di puncak bukit selama 30 menit sambil menunggu ponsel mengunduh app. Saya berada di kota antah-berantah; tidak ada PokeStop atau gym. Tidak lama kemudian saya berhasil menangkap beberapa Pokémon.”
Keesokan harinya, dia mengundurkan diri dari pekerjaan. “Saya menelpon bos saya dan mengundurkan diri lewat telepon,” kata Tom. “Kasih penjelasan gak? “Sudah pasti enggak.”
“Ada banyak sekali periode obsesi kegilaan massal sepanjang sejarah manusia—mulai dari tulip mania sepanjang 1637, atau bahkan Perang Salib di abad pertengahan—yang menarik semua ini kembali terulang Juli 2016.”
Dia menghabiskan hampir dua bulan mengelilingi Selandia Baru, dan hanya perlu satu Pokémon lagi sebelum koleksinya lengkap. Di September 2016, dia mendapatkan pekerjaan dengan perusahaan AS, Gamer Sensei. Dia bertugas memberikan pelatihan gaming via Skype dan menjadi duta besar untuk sebuah perusahaan ransel solar Finlandia. Nantinya dia mendapatkan pekerjaan lamanya kembali, tapi dia bersikukuh bahwa Pokémon Go telah meningkatkan hidupnya. “Saya kehabisan uang setelah sekitar satu bulan,” ingatnya, “dan ke manapun saya pergi, saya dijamu komunitas pencinta Pokémon. Saya diberi makan, diberi tempat tinggal, dan diajak pergi melihat tempat-tempat yang luar biasa. Saya mendapat perlakuan yang luar biasa. Saya menjadi orang yang lebih baik karenanya, dan mendorong saya untuk juga menjadi sosok yang lebih baik agar bisa membayar kebaikan semua orang-orang ini.”
Dia juga menjadi saksi banyak keajaiban dalam petualangannya. “Saya bertemu seorang perempuan yang tinggal di ujung Selandia Baru,” tambahnya. “Anak lelakinya mengidap autisme dan dia mengatakan anaknya berjalan kaki lebih banyak di hari pertama Pokémon Go dibanding sepanjang tahun.”
Banyak peristiwa ajaib yang terjadi—Dr Aaron Rosen bisa melihat kembali ke dalam tren Pokémon Go dan menyadari signifikansinya secara spiritual. “Ada semacam elemen religius,” ungkapnya. “Pokémon Go menunjukkan gairah kita sebagai manusia untuk menemukan makhluk virtual atau spiritual di dunia. Ini sangat mencerahkan. Kalau kita bisa membangkitkan Emile Durkheim, yang hobi menulis tentang totemisme di akhir abad 19 dan awal abad 20, dia pasti akan suka sekali dengan Pokémon Go.”
Bukan cuma Pokemon Go yang mengalami popularitas sesaat. Baca juga laporan VICE lainnya dari topik sejenis:
Rosen mencontohkan serial TV populer, Stranger Things, yang musim pertamanya diluncurkan juga di Juli 2016. Sama seperti Pokémon Go, seri tersebut memanfaatkan elemen nostalgia, dan memiliki narasi tentang sebuah komunitas yang mencari sesuatu—dalam kasus ini, seorang anak yang hilang. Tapi seingat Rose, di bulan itu ada kasus orang hilang lainnya. Di Juli 2016, dia menerima peringatan AMBER di ponselnya. Di AS, peringatan ini dikirim secara massal ke ponsel dan disiarkan radio ketika ada situasi gawat darurat, dalam kasus ini, penculikan anak.
“Saya ingat banyak orang melihat ponsel mereka dan mengatakan, ‘oh, cuman peringatan AMBER lagi, paling ada anak lagi yang ilang,” ingatnya. “Lah di saat yang bersamaan, semua orang-orang ini sibuk mencari Pokémon! Orang-orang mau susah payah mencari sesuatu yang random dan tanpa nilai, dan di saat yang sama ponselmu meminta kamu mencari manusia yang nyata, dengan petunjuk nyata seperti nomer plat mobil. Tapi kalau orang diminta mencari orang yang hilang, reaksinya malah, ‘wah, kayaknya repot ya’. Pokémon Go diciptakan secara sempurna untuk menarik perhatian insting manusia abad 21: biarpun benar manusia selalu mencari sesuatu yang dibisa dipercayai, faktanya kita juga mencari sesuatu tanpa makna untuk dipercayai.”
Apapun itu, fenomena kesuksesan Pokémon Go tidak akan bisa bertahan selamanya. Di 29 Juli, situs teknologi Techcrunch menulis artikel berjudul, “Angka pengguna Pokémon Go sudah mentok.”
“Tidak ada satu alasan khusus kenapa tren memudar,” kata Eric Shapiro, konsultan senior di tim spesialis analisa kultur Crowd DNA. “Tapi ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan eksposur mainstream adalah tema yang umum.” Sebagai contoh, dia menyebutkan kancah Ghetto Gothic 2013. “Momen besarnya” ketika Rihanna yang saat itu masih dikenal ‘hanya’ sebagai penyanyi menggunakannya untuk sebuah video musik. “Karena internet mempercepat eksposure di 2016, proses adaptasi menjadi semakin sulit. Banyak sekali tren yang datang dan pergi, tapi di 2016, prosesnya menjadi semakin cepat, dalam hitungan minggu ataupun hari, tidak lagi tahunan.”
Khususnya dalam kasus Pokémon Go, dia menambahkan: “Kegilaan Pokémon Go didorong oleh spekulasi online dan sifat eksklusivitas karena beberapa negara mendapatkan akses terlebih dahulu. Game tersebut juga agak samar awalnya dan tidak transparan, jadi mereka-mereka yang ‘ngerti’ memiliki keunggulan. Tapi seiring popularitasnya bertambah, faktor komunitas undergroundnya menjadi tidak jelas dan kabur. Para pencipta game tidak bisa mengadaptasi platform cukup cepat untuk memenuhi kebutuhan pemain yang sudah jago, sementara pemain baru kesulitan untuk bisa ikut bersaing, dan tidak mau menghabiskan banyak waktu mengejar fitur pertarungan game tersebut.”
Sam Clark, yang sempat menjadi semacam selebriti lokal di Southampton di Juli 2016 masih ingat bagaimana perhatian media tiba-tiba menghilang, “rasanya seperti memanjat Everest, terus tiba-tiba loncat ke jurang.”
“Tetap saja tapi,” tambahnya,”Saya turun 19 kilo memainkan sebuah game di ponsel. Lumayan kan?”
Dari kacamata hari ini, histeria Pokémon Go di Juli 2016 mungkin terdengar konyol dan sulit dibayangkan, kuno dan ketinggalan zaman. Sekarang hidup kita sudah berbeda. Tapi kalau memang masa lalu itu bagaikan negara yang asing—dan kalau mau sok pakai analogi sastra—ada beberapa sudut di negara asing yang selamanya dipenuhi individu yang sibuk mencari monster digital.