Sejak virus Corona Covid-19 mewabah secara global, “pesawat hantu” terbang mengelilingi Eropa tanpa penumpang.
Kebanyakan orang mengubur rencananya jalan-jalan ke luar negeri karena takut ketularan virus. Kalaupun tetap bepergian, mereka mengenakan masker dan mendesinfeksi bangku untuk mencegah penularan. Namun, maskapai yang sepi penumpang harus terus mengudara jika ingin mempertahankan posisi mereka. Pesawat tetap terbang bahkan saat seluruh kursinya kosong.
Videos by VICE
Pada Senin, Sekretaris Transportasi Uni Eropa mendesak komisi UE untuk menghapus kebijakan kuno itu. Mereka mengkhawatirkan dampak yang dapat ditimbulkan dari penerbangan kosong. Di bawah peraturan tersebut, maskapai merasa perlu membuktikan penerbangan mereka masih laku.
“Pesawat hantu” membuang bahan bakar dan melepaskan gas rumah kaca pemicu pemanasan global tanpa alasan. Perjalanan udara menyumbang 2,5 persen emisi CO2 global. Emisinya diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada 2050.
Lebih dari 100.000 kasus coronavirus telah dilaporkan. 19 WNI dinyatakan positif tertular virus, dan 22 orang Amerika tewas karenanya.
Banyak penerbangan dibatalkan karena negara-negara telah memperingatkan warganya untuk tidak bepergian. Pekan lalu, tak ada satupun orang yang mengantre check-in di Bandara Heathrow London. Bandar Udara Internasional Munich juga sepi tak seperti biasanya.
“Kami melihat penurunan sangat tajam akhir pekan lalu,” kata Gary Kelly, CEO Southwest Airlines, kepada CNBC pekan lalu. “Rasanya seperti tragedi 9/11 dulu.”
Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional, kerugian industri penerbangan bisa mencapai 113 miliar Dolar AS (Rp1,6 kuadriliun) apabila penyebaran coronavirus tak kunjung berhenti. Sektor ekonomi lainnya pun ikut terpengaruh, seperti Bursa Efek New York yang menghentikan perdagangan selama 15 menit untuk mencegah kepanikan pasar. Pasar saham global jatuh pada Senin, dengan Indeks Dow Jones anjlok 7 persen.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.