Travel

Cara Cina Benteng Mempertahankan Tradisi Sekaligus Membuka Diri Pada Budaya Setempat

Engkong Lim Tjoan Lie yang tinggal di rumah dengan desain Kebaya di bilangan Legok, Tangerang, punya satu permintaan di masa senjanya yang dia sampaikan kepada fotografer harian The Jakarta Post, Pujianto Johan Leo—lebih akrab disapa P.J Leo: Si engkong ingin abadi. Setidaknya lewat potret. “Saya boleh difoto dong,” kata Tjoan Lie. “Jadi nanti waktu misalnya meninggal kan udah ada foto.”

Leo segera mengiyakan. Jadilah wajah Tjoan Lie serta wajah anak sampai cicitnya terpampang di buku fotografi Leo berjudul Guardians of Tradition.

Videos by VICE

Komunitas Cina Benteng bermukim di beberapa titik seperti Pasar Lama, Pasar Baru, kali Cisadane sampai Teluk Naga, semuanya di kawasan Tangerang. Komunitas ini terkenal karena kehidupan sehari-harinya kontras dengan prasangka serta stereotipe khas etnis Tionghoa yang biasanya membedakan mereka dari “pribumi.”

Kulit anggota komunitas Cina Benteng lebih hitam, aksen bicaranya Sunda-Betawi. Sebagian masyarakat Cina Benteng secara ekonomi hidup pas-pasan, walau tentu tidak semuanya seperti itu. Selain itu, Komunitas Cina Benteng rutin menjadi subyek penelitian antropolog maupun sosiolog karena masih tekun merawat tradisi nenek moyang. Mulai dari mempertahankan tradisi perkawinan Chiou Thau, atau menggelar ritual meriah Gotong Toapekong, yang diadakan 12 tahun sekali (setiap tahun Naga) setelah Imlek.

“Mereka memang keturunan Tionghoa, kulitnya hitam, nama Cina masih melekat, enggak bisa bicara Cina, membaca aksara Cina, mereka enggak paham. Tapi mereka tetap menjaga tradisi-tradisi dari leluhur mereka,” kata Leo yang juga seorang ‘tenglang’—sebutan untuk mereka yang berdarah Tionghoa.

Buku ini berisi narasi dan foto komunitas Cina Benteng yang ia kumpulkan sepanjang kurun 2009 sampai 2018, dengan bantuan rekan sesama jurnalis foto Arbain Rambey sebagai kurator. Ragam wajah komunitas Tionghoa di Tangerang hadir di buku tersebut, mulai dari pengaduk dodol, sang penarik becak, sang penyanyi gambang kromong Endah Masna, sang pembuat alat musik gesek tehyan pak Goyong , sampai sang petani seperti halnya Tjoan Lie.

Atas kegigihan warga Cina Benteng merawat tradisi itulah, judul Guardians of Tradition akhirnya dipilih Leo. Apalagi saat dia menyaksikan anak muda Cina Benteng masih melakukan sembahyang pay dengan hio di hadapan meja abu yang biasanya terletak di belakang pintu masuk rumah. Guardians of Tradition diluncurkan April lalu.

Kepada VICE Indonesia, Leo menceritakan seluk-beluk dari pembuatan buku ini, kekhasan budaya Cina Benteng, serta alasan warga Cina Benteng terus menjaga tradisinya.

VICE: Halo. Bisakah anda menceritakan proses awal pengerjaan buku ini?
P.J. Leo: Dari awal tahun, teman-teman desk foto [ The Jakarta Post] bilang gini, kita mau [merayakan] ulang tahun The Jakarta Post ke-35 April lalu, kita mau melakukan apa nih? [Mereka bilang] “Pameran foto aja.” Ya sudah. Tapi apakah pameran foto cuma diisi pameran foto aja? Enggak dong. Dari situ kayaknya saya punya bahan udah cukup buat bikin buku tentang Cina Benteng. Foto-foto udah terkumpul; teks-teks juga terkumpul. Terus kita comot kurator foto, bang Arbain Rambey. Kita ambil pihak luar aja biar aman. Menurut bang Arbain, ini mungkin hanya 1/20 dari ribuan foto yang ada. Foto di buku itu ada 85 yang paling representatif, daripada ada pengulangan.


Tonton dokumenter VICE mengelilingi kawasan Pecinan di Glodok, mendalami warisan akulturasi budaya Tionghoa di Tanah Air:


Bagaimana caramu memilih subyek foto dari sekian banyak orang di Komunitas Cina Benteng?
Semua yang pernah aku fotoin itu, pasti aku datang ke rumah. Aku enggak mau [asal ambil foto] terus masa bodo ah. Narasumberku didekati secara perlahan. Aku datang pun enggak langsung foto-foto. Begitu aku foto, dia udah jadi saudaraku semua, sampai penarik perahu eretan penyeberangan di kali Cisadane yang di daerah Serapajang, Kedaung, sudah jadi kayak saudara juga. Kokoh satu itu kalau saya datang lagi ke sana, akan selalu menyapa “waduh udah lama nih.” Begitu juga Engkong Tjoan Lie, kalau [aku] Imlek enggak datang, anaknya pasti udah menelepon.

Benarkah stereotipe komunitas Cina Benteng secara ekonomi masuk kategori bawah?
Kalau dibilang Cina Benteng miskin, di lapangan memang [begitu]. Mereka kan mayoritas petani, pedagang kelontong. Di buku saya bukan hanya menyoroti orang orang miskin, tapi kenyataannya juga ada yang jadi penarik becak. Saya main ke Kedaung, ada satu keluarga jadi pemulung. Dia bapak ibu, terus anak-anaknya yang udah gadis-gadis dan udah berkeluarga juga—berhubung suaminya ekonominya lemah, dia jadi pemulung juga. Tapi mereka enggak terpuruk. Mereka hanya mayoritas ekonominya di bawah rata-rata.

Bagaimana dengan stereotipe lain, kalau secara penampilan mereka tak terlihat seperti etnis Tionghoa?
Orang Cina Benteng memang ada julukannya hitachi—hitam tapi Cina. Gen mereka ada putihnya kayak kita. Sama seperti yang di Singkawang, mereka itu sipit dan mereka ngomong Indonesia gak lancar, ngomong Hokkiannya yang lancar. Tapi kulitnya hitam legam. Karena mereka petani kalo yang di Singkawang. Kalo yang di Tangerang, mereka kan blasteran dari Tiongkok, menurut Catatan sejarah sunda [Tina Layang Parahyang], rombongan datang dengan perahu. Mendaratlah sampai Muara Cisadane yang sekarang Teluk Naga, terjadilah akulturasi. Akhirnya pada menikah sama orang-orang Banten, jadilah generasi suku baru antara Tiongkok dan lokal. Cina Benteng kalau lagi ngomong di kota Tangerang, udah kayak Betawi. Kalau kita menuju ke Teluk Naga atau kita ke Legok, udah mulai terdengar Sunda.

Bagaimana relasi antara komunitas ini dengan etnis lain di Tangerang?
Misalnya engkong Tjoan Lie, mantunya kayaknya sih bukan tenglang, tapi ikut nimbrung situ. Kemarin terakhir aku cheng beng [upacara ziarah kubur kepercayaan Khong Hu Cu], di Tangerang aku foto-foto satu keluarga itu datang, yang anak ceweknya udah pakai jilbab. Aku tanya, “eh cici ke sini nimbrung?” Terus dia, “oh iya dong, kan ini papah. Aku memang sekarang berbeda, tapi ini menghormati orang tua, aku sembayangnya juga sembayang aku yang sekarang. Enggak bisa ikut sembayang kayak dulu.” Perbedaan kayak gitu itu banyak.

Kalau aku amati, komunitas Cina di Tangerang itu berbaur. Mereka enggak buat sekat. Walaupun Tionghoa peranakan, tapi mereka punya nilai tersendiri berbeda dengan Tionghoa peranakan lainnya, bukan hanya Jakarta, tapi Medan, Pontianak. Cina Benteng itu benar-benar membaur.

Dari foto-fotomu, tampaknya komunitas Cina Benteng masih sangat menjaga tradisi. Kira-kira apa alasannya?
Mereka memang keturunan Tionghoa, kulitnya hitam, nama Cina masih melekat, enggak bisa bicara Cina, membaca aksara [Cina] mereka enggak paham. Tapi mereka tetap menjaga tradisi-tradisi dari leluhur mereka. Terus, setiap rumah mereka pasti ada rumah abunya. Jadi di situ terpasang wajah, mungkin kakek, nenek, orang tua yang udah meninggal. Kalau ada anggota keluarga yang datang dan masih belum pindah agama, pasti bakar hio, pai [sembahyang] dulu. Aku suka nanya-nanya, misalnya ke anak-anak muda, “Kok kalian masih gini?” Jawabannya, “Tetap dong, ini kan engkong. Masa ya kita enggak hormatin? Kalau enggak dihormatin nanti engkong ngamuk loh, nanti tidur enggak tenang.” Mereka masih memegang ajaran leluhur mereka. Masih ada mistisnya dalam artian positif.

Berbeda sama peranakan Tionghoa di kota-kota besar, yang banyak orang bilang sudah kebarat-baratan?
Anak-anak remaja Cina Benteng di pinggiran dan kota Tangerang gaya-gayanya tetap [kebarat-baratan] dalam pergaulannya. Maksudnya mereka udah [suka] hip-hop, K-pop lah, tapi sampai rumah tetap menjaga tradisi. Tetap mereka bakar hio. Di klenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama atau Boen San Bio di Pasar Baru, anak pulang sekolah datang ke situ sembahyang.

Cerita utama apa yang ingin kamu angkat dari buku seri foto ini?
Aku tidak menempatkan diriku sebagai ahli sejarah, cuma menempatkan diriku sebagai seorang saksi Cina Benteng yang sekarang. Dengan foto-foto dokumenter aku ingin menunjukkan, ‘ini loh, masih ada rumah peninggalan dulu. Di sudut semacam ada lukisan lukisan, perkawinan Chiao Thau’, dan lain sebagainya.

Menurutmu, apakah karena berbaur dan punya stereotipe yang tak menyerupai keturunan Tionghoa kebanyakan, sebagian komunitas Cina Benteng terlindung dari kerusuhan rasial?
Di mata masyarakat kita itu, yang tahu Cina Benteng hanya sebagian kecil. Orang Banten kalau ditanya Cina Benteng mana, mereka juga enggak paham. Mereka tahunya cuma Cina. Kalau elo putih, sipit, atau kayak orang Korea, Jepang, dan Vietnam. Di masyarakat kita itu pandangannya masih seperti itu. Makanya waktu liputan [kerusuhan 1998], saya sendiri aman. Rambut saya waktu itu masih tebal, gondrong. Kalau orang Batak ngeliat, oh ini Batak ini. Orang Manado, “Eh binyo!” Di Dayak, juga ada yang menganggap [saya] Dayak mana ini?

Apakah dirimu masih memiliki minat menggarap seri foto lain tentang komunitas Cina Benteng?
Aku akan menggali beberapa cerita yang kemarin enggak bisa masuk buku, karena terkait dengan layout. Kita hanya butuh 150 halaman, kalau semua cerita dimuat, bagaimana foto-fotonya? Profilnya Encim Masna, penyanyi gambang kromong klasik—jadi cuma foto aja. Ada juga cerita soal pak Goyong, pembuat alat musik gesek tehyan. Selain dia mahir main, mahir juga membuatnya dari tempurung batok kelapa itu.

Lalu apa benang merah cerita yang kamu dapat dari awal dulu tertarik memotret Cina Benteng sampai akhirnya buku ini terbit?
Kebersamaan itu mereka selalu jaga. Bukan hanya di antara komunitasnya, dengan masyarakat sekitarnya itu yang kayaknya akrab banget. Sampai-sampai ada penarik becak, kita panggilnya koh Teng San dengan sesama penarik becak dari etnis lain itu [akrab banget]. Di antara penarik becak, enggak ada tuh yang bilang “dasar Cina.”