Kendati masa pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie tergolong paling singkat dibanding presiden-presiden lain republik ini, warisan kebijakannya terbukti membuat Indonesia menjadi lebih baik. Terutama karena dia menahkodai transisi demokratis dari rezim 32 tahun Orde Baru dipimpin Suharto, yang ambruk akibat krisis ekonomi dan gelombang unjuk rasa.
Memerintah republik sebesar ini tak pernah semudah ucapan. Habibie—dengan latar belakangnya sebagai teknokrat—mewarisi rezim yang korup luar dalam. Butuh upaya lebih membenahi bermacam masalah Indonesia. Ternyata dalam waktu pemerintahan yang singkat, cuma 18 bulan, Habibie mampu membenahi persoalan fundamental berbagai sektor dalam waktu nisbi singkat.
Videos by VICE
Habibie bukan orang baru dalam lingkaran pertemanan Suharto. Keduanya sudah saling mengenal saat pangkat Suharto masih Letnan Kolonel pada 1950. Keduanya punya jalan hidup berbeda. Habibie menekuni teknologi, sementara Suharto merangkak naik di tangga karir militer, sampai jadi orang nomor satu di Indonesia usai geger politik 1965.
Politik mempertemukan mereka lagi. Saat Habibie berkarir di Jerman, dan beberapa tahun setelah Suharto memegang kekuasaan, dia dipanggil pulang ke Tanah Air. Suharto mempercayakan jabatan Menteri Riset dan Teknologi ke pundak Habibie pada 1978. Jabatan itu terus dipegangnya selama 20 tahun. Sampai pada 1998, Habibie ditunjuk Suharto sebagai wakil presiden.
Baru dua bulan pasangan ini bekerja, Suharto memutuskan berhenti dari jabatan presiden pada Mei 1998, menyusul kondisi Indonesia yang morat-marit. Secara konstitusional, jabatan presiden harus jatuh ke tangan wakil presiden. Habibie terpaksa menerima beban sejarah. Tak ada yang bilang ini posisi mudah. Segudang permasalahan menanti. Apalagi di mata mahasiswa, Habibie masih satu bagian dari semua simbol Orde Baru.
Di awal rezim transisi Habibie, kondisi ekonomi Indonesia tengah tiarap. Pertumbuhan ekonomi menciut hingga minus 13,1 persen pada 1998. Cadangan devisa amblas, inflasi meroket. Sementara rupiah terus dihajar dollar AS hingga mencapai Rp16.650 per US$ pada Juni 1998.
Tak mau berleha-leha, Habibie menghasilkan sekian kebijakan pragmatis. Presiden Habibie dan DPR, barangkali untuk pertama kalinya sepanjang sejarah republik, bekerja amat efisien menelurkan berbagai aturan hukum krusial dalam hitungan bulan saja.
Dengan cepat dia merombak kabinet dan mengganti sejumlah menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Dia mengubah status Bank Indonesia sebagai lembaga independen, yang lepas dari intervensi pemerintah. Ini adalah salah satu langkah paling krusial di sektor ekonomi, kata pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dradjad Wibowo.
Menurut Dradjad, sepanjang Suharto berkuasa, Bank Indonesia cuma jadi alat Departemen Keuangan dalam menjadi lembaga adikuasa yang mengurusi fiskal, moneter, sampai kebijakan BUMN. Nilai tukar selalu dipatok tetap, tidak mengikuti perkembangan pasar. Hal ini bikin ekonomi gampang limbung. Manfaat independensi BI segera terasa, kata Dradjad, perekonomian Indonesia jadi tahan banting dalam memitigasi risiko krisis kedepannya.
“Independensi bank sentral mengikuti praktik terbaik internasional, sebagaimana diterapkan oleh negara-negara maju,” kata Dradjad pada VICE.
Pertumbuhan ekonomi merangkak naik jadi 0.79 persen pada 1999. Sementara kurs rupiah terhadap dollar AS sempat menjadi Rp7000 per US$ pada November 1998, capaian yang sulit diraih bahkan oleh presiden era Reformasi lainnya.
Jangan lupakan keberhasilan Habibie lainnya: kebebasan pers di media tak akan jadi seperti sekarang, andai Presiden ke-3 RI itu tidak mengubah regulasi. Di era rezim tiran Orde Baru, nyaris semua pers adalah mesin propaganda Suharto. Media yang kebablasan mengkritik presiden dan pemerintah langsung diberangus oleh Departemen Penerangan. Independensi pers nihil.
Tradisi menyensor media dimulai pascapembantaian simpatisan komunis September 1965. Militer melarang media untuk memberitakan soal kisruh politik di Jakarta. Pemberitaan terkait G30S dimonopoli media corong militer Angkatan Bersenjata macam Berita Yudha, kata peneliti senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan Ignatius Haryanto.
“Dari koran-koran itulah dimulai propaganda negatif yang terkait dengan Gerakan Wanita Indonesia [Gerwani]. Hoax di masa Orde Baru diproduksi dalam rangka mendukung rezim. Hoax itu menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan Suharto yang baru terbentuk,” kata Ignatius dikutip Majalah Historia.
Membebaskan pers adalah kebijakan Habibie yang menjadi pondasi Indonesia sepenuhnya menjadi negara demokratis. Berkat UU Pers yang didorong Habibie, ruang bernapas media cukup leluasa buat memicu dialog publik, terutama saat mengkritik kebijakan pemerintah. Izin pendirian media juga lebih mudah. Semasa Orde Baru jumlah media cetak cuma 289, perlahan angka media cetak naik jadi 1.398.
Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan pembaharuan UU Pers tersebut menjadikan media sahabat bagi kawan pejuang advokasi korban penghilangan. “Karena ada landasan hukum yang jelas melindungi media, pengungkapan kebenaran, sehingga [menyampaikan] desakan pada negara itu lebih mudah,” ujar Haris saat dihubungi VICE.
Azhar merasa kebijakan membebaskan pers bersuara adalah bukti bahwa Mr.Crack—sebutan kondang Habibie berkat reputasinya sebagai insinyur pesawat—tidak hanya membuat kebijakan yang dapat menguntungkan diri sendiri. Setelah terbit pembaharuan UU Pers tersebut, Habibie tidak pernah mempermasalahkan atau menyebut media tidak tahu diuntung apabila ikut marah, bahkan memaki apabila ia melakukan kesalahan.
“Habibie adalah sosok orang yang cukup fair. Bahkan ketika ada miskomunikasi antara pelaku jurnalistik, ia tidak dengan mudah mempidanakan,” kata Azhar. “UU Pers kan memfasilitasi mediasi dan klarifikasi. Tidak asal tuntut saja.”
Apalagi pencapaian penting era kepemimpinan Habibie?
Masih banyak, tapi yang paling kentara dampaknya sampai sekarang adalah UU Persaingan Usaha, UU Otonomi Daerah, dan Referendum kemerdekaan Timor Timur (kini Timor Leste).
Mari kita bedah satu-satu.
Rezim Suharto dibangun di atas sistem monopoli dan korupsi. Buat kroni dan anak-anaknya, Suharto tak ragu memberi keleluasaan bisnis seluas-luasnya, meski itu berarti memonopoli pasar dari hulu hingga hilir. Pasar tidak tercipta sempurna. Setelah berkuasa, Habibie segera menyadari bahwa ekonomi pasar perlu digenjot demi membangkitkan ekonomi yang ambruk akibat krisis.
Jika reformasi aturan main ekonomi tidak dilakukan, transisi ke demokrasi tak akan mulus. Hasilnya, bersama DPR, era kepemimpinnya melahirkan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat, serta UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dua beleid itu sangat mendukung terciptanya iklim bisnis yang lebih baik. Bukan terpusat hanya di segelintir konglomerat dan petinggi militer.
“Jadi walaupun jabatan almarhum sebagai Presiden tidak sampai dua tahun, namun kondisi perekonomian Indonesia di era kepemimpinannya sudah mengarah kepada perbaikan ekonomi Indonesia yang cukup berarti,” kata Wahyu Ario Pratomo, ekonom dari USU, seperti dikutip Antara.
Masalah lain yang segera diendus Habibie adalah keterpusatan Jawa untuk berbagai hal. Jawa menjadi pusat politik maupun ekonomi, memicu kebencian dari daerah seperti Aceh atau Papua yang merasa hanya dimanfaatkan sumber daya alamnya oleh pemerintah pusat di Jakarta. Banyak pengamat internasional kala itu percaya, setelah reformasi Indonesia akan terpecah jadi negara-negara kecil, seperti dialami Yugoslavia di kawasan Balkan. Kecenderungan pemerintah terpusat itu yang coba dibalikkan oleh sang bapak teknologi lewat kelahiran dasar hukum untuk otonomi daerah.
Habibie berpendapat bahwa sistem desentralisasi pemerintahan “meningkatkan perilaku masing-masing daerah yang dapat menguntungkan. Karena bisa meningkatkan produktivitas dan daya saing sumber daya manusianya.”
Sistem sentralisasi yang dipertahankan sejak era Sukarno hingga Suharto, membuat daerah “manja” dan tak bisa berkembang dalam menentukan nasib daerahnya sendiri. Nyaris semua keputusan ada di tangan pemerintah pusat. Daerah cuma tinggal menunggu dan manggut-manggut.
Catatan perlu ditambahkan: otonomi daerah ada kelemahannya. Sebab tanpa lembaga hukum yang kuat, ternyata pembagian kekuasaan ini menjadi jalan buat desentralisasi korupsi yang marak beberapa tahun terakhir. Fenomena ini memicu istilah ‘kegagalan otonomi daerah menurut Indonesia Corruption Watch.
“Korupsi di daerah lahir saat kewenangan digeser [dari pusat ke daerah],” kata peneliti ICW Donal Fariz dikutip VOA Indonesia. “Kemudian juga dana yang cukup banyak. Persoalan itu semakin buruk karena calon kepala daerah jor-joran menghabiskan uang pada saat pemilihan, sementara gaji atau pendapatnya sebagai kepala daerah tidak berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan sewaktu pemilihan kepala daerah.”
Meski begitu Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik Indo Barometer, merasa langkah desentralisasi di era Habibie sudah tepat. Karena memang pada saat transisi tersebut rakyat sudah sangat muak dan juga ingin lekas lepas dari cekaman pusat yang tak jarang salah paham pada kebutuhan daerah.
“Memang sudah sepantasnya Habibie sebagai Presiden pada saat itu menjalankan aspirasi sesuai dengan keinginan masyarakatnya. Terbuktikan setelah itu partai tidak dibatasi, persebaran parpol di daerah juga sudah tidak terbatas Golkar saja,” ujar Qodari. Memang tidak salah apabila Habibie disebut-sebut sebagai bapak demokrasi di Indonesia.
Satu kebijakan lain Habibie yang pasti membuat Suharto mengamuk adalah saat memberi kemerdekaan buat warga Timor Leste untuk memilih jalan nasibnya sendiri lewat referendum. Ini keputusan sulit, sebab awalnya Habibie enggan melepas Timor Leste dan lebih memilih memberikan otonomi khusus.
Perdana Menteri Australia kala itu John Howard mengirim surat ke Habibie, berisi saran untuk memberikan otonomi khusus dengan janji referendum, seperti cara Perancis saat melepas Kaledonia Baru dari cengkramannya. Habibie sepakat, sebab tak ingin memberi kesan bahwa Timor Leste adalah koloni Indonesia. Tanggal 30 Agustus 1999 adalah tonggak bersejarah Timor Leste sebagai negara merdeka, setelah lebih 24 tahun diduduki Indonesia. sekitar 80 persen rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia.
Habibie dihujat banyak orang, tapi dia bergeming. Dia menganggap jajak pendapat adalah tindakan paling etis yang bisa dia lakukan sebagai sosok paling berkuasa di Indonesia. Habibie memilih berpegang pada semangat UUD 1945, bahwa “kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.”
“Keputusan saya untuk menyelesaikan persoalan agar rakyat TimTim benar-benar dapat menikmati nilai-nilai HAM bersama seluruh rakyat Indonesia, tanpa menerapkan ‘tolok ukur ganda’, dalam menentukan nasib dan masa depan demi kepentingan seluruh bangsa Indonesia termasuk rakyat TimTim,” kata Habibie.
Konsistensi soal HAM itu juga yang membuat Habibie merupakan satu-satunya pemimpin republik yang percaya pada laporan Masyarakat Antikekerasan, tentang kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa kala kerusuhan Mei 1998. Habibie meminta maaf dan membuat Keputusan Presiden mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Pada 11 September 2019, Habibie berpulang di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, setelah menjalani perawatan intensif akibat kesehatan yang menurun. Usianya 83 tahun dan sejak lama mengidap sakit jantung. Dia meninggalkan warisan yang bernilai sebagai pejabat publik.
Mangkatnya Habibie adalah cermin moral yang tegas bagi bangsa Indonesia: kita wajib bersikap. Akankah kita di masa mendatang menduukng sosok seperti Habibie, yang tak cuma inovatif dalam capaian pribadinya sebagai insinyur, tapi juga memerintah dengan hati serta akal sehat?