Penyebab Taktik ‘Serangan Fajar’ Terus Dipakai Tiap Kali Pemilu Digelar di Indonesia

​Seorang pemuda memperhatikan mural ajakan mencoblos di Banda Aceh.

Menjelang pemilihan umum, spanduk dan poster-poster norak berisi macam-macam janji dan pose aneh berbagai calon legislatif berjejer di sekitar kawasan perumahan warga. Pemandangan berbeda terlihat di Kampung Nenas, Pulau Batam—wilayah Provinsi Riau yang berbatasan langsung dengan perairan Singapura.

Warga kampung tersebut memasang spanduk balasan untuk janji para caleg. “Terima serangan fajar tapi tidak dipilih”. Bukan itu saja, spanduk itu ditambah logo tengkorak berwarna merah yang mengesankan ancaman warga amat serius dan berbahaya.

Videos by VICE

Ketua RW di Kampung tersebut, Tohom, saat diwawancarai media lokal, menyatakan sejak awal warga sudah berniat memasang poster bernada ancaman untuk antek politisi yang berniat bagi-bagi uang. Tohom dan tetangganya mengaku tak mau ikut-ikutan dalam praktik politik uang yang kadung lazim di negara ini terutama saat menjelang Pemilu.

“[Spanduk] cuma bagian dari pendidikan politik. Kami cuma ingin melatih warga kami untuk dapat memiliki sikap konsisten dalam memilih para pemimpin ke depan,” kata Tohom.

Saat masyarakat kecil di pedesaan macam Tohom dkk punya inisiatif agar masyarakat tak terlibat politik uang, dalam waktu bersamaan anggota DPR Bowo Sidik Pangarso sedang diperiksa terkait dugaan kasus serangan fajar yang hendak dilancarkannya. Komisi Pemberantasan Korupsi yang mencokok Bowo dalam operasi tangkap tangan menemukan total 82 kardus dan dua wadah plastik, masing-masing berisi 400 ribu amplop uang dengan total Rp8 miliar.

“Dari bukti-bukti, fakta-fakta hukumnya yang ditemukan sejauh ini yang bisa dikonfirmasi dan kami temukan fakta hukumnya amplop tersebut diduga akan digunakan pada serangan fajar pada proses pemilu legislatif pada pencalegan Bowo,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah saat dihubungi Kompas.com.

Istilah Serangan Fajar mengingatkan kita pada film perang yang menceritakan strategi gerilyawan Indonesia dalam periode awal kemerdekaan melawan kolonial Belanda. Belakangan, jargon tersebut jauh bergeser untuk menyebut ungkapan upaya membeli suara yang dilakukan di saat-saat menjelang pemilu hingga pagi hari menjelang waktu pencoblosan. Itulah mengapa aksi tersebut disebut “serangan fajar”. Pagi-pagi masyarakat sia-siap diserang oleh sogokan sebelum pergi ke TPS.

Data terakhir Polri pada 29 Maret 2019 menyatakan ada beberapa daerah di Indonesia yang telah teridentifikasi melaporkan praktik politik uang jelang pemilu. Di antaranya Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan, Maluku, Yogyakarta, Gorontalo, Papua, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Nusa tenggara Timur. Ini berarti, praktik yang popular sejak Demokrasi di Indonesia berjalan

Juru Bicara Polri, Dedi Prasetyo menerangkan bahwa umumnya modus serangan fajar ini terjadi berupa door to door ke rumah-rumah warga atau lewat kegiatan masyarakat dan kemungkinan besar terjadi saat minggu-minggu tenang.

“Modus merekaseperti memberikan uang sembako dan sarana kepada masyarakat agar memilih caleg,” ujar Dedi saat dihubungi awak media.

Direktur Riset Lembaga Survei Charta Politika, Muslimin menyebut praktik politik uang berupa ‘serangan fajar’ selalu terjadi di setiap pemilu. Umumnya para calon legislatif di daerah-daerah tersebut melakukan modus ‘serangan fajar’ dengan dalih “mengganti ongkos pergi ke TPS pada hari pencoblosan untuk mengunci suara. Namun memang menurut Muslimin, tidak semudah itu dalih demikian bisa mendulang suara bagi para calon legislatif curang yang berasal dari hampir semua partai politik peserta pemilu.

“[Serangan fajar] jadi model mengunci suara, karena mereka [yang dibagi ada] kecenderungan untuk memilih. Tetapi kalau tanpa ada hubungan emosional sebelumnya, saya kira tidak semudah itu [masyarakat memilih],” kata Muslimin seperti dikutip dari Tirto.id.

Praktik ‘serangan fajar’ mulai dipraktikkan saat Indonesia memasuki pemilu di era demokrasi pertamanya pada 1999. Dosen Politik di Universitas Jenderal Achmad Yani, Yohannes Sulaiman menerangkan pada masa itu terjadi perubahan sosial signifikan. Awalnya masyarakat hanya bisa memilih Golkar sebagai motor politik diktator Orde Baru Suharto. Tiba-tiba masyarakat bebas mengekspresikan pilihan politik, sekaligus bingung menentukan pilihannya karena jumlah partai melimpah.

Yohannes menambahkan, praktik ‘pembelian’ suara tumbuh subur di Indonesia karena partai-partai di Indonesia cenderung non-ideologis. Hal inilah yang membuat masyarakat di Indonesia tidak memilih partai berdasarkan aspirasi politik tertentu.

“[Memberi uang] memang efektif mengingat loyalitas pada partai itu rendah. Lalu juga ini lebih mudah bagi para swing voters. Atau memang ini efektif untuk mereka yang tidak menyadari bahwa pilihan mereka itu penting,” kata Yohannes pada VICE.

Dia pun memprediksi praktik ‘serangan fajar’ akan terus tumbuh subur, setidaknya itulah yang dia lihat dalam konteks politik Indonesia. Secara politik, loyalitas masyarakat terhadap partai politik masih sangat kecil. Masyarakat cenderung melihat tokoh partai yang ada. Misalnya saja popularitas Partai Demokrat yang merosot setelah Susilo Bambang Yudhoyono menyelesaikan masa kepresidenannya selama dua periode.

Menurut Yohannes, di tingkat daerah, loyalitas masyarakat bukan pada ideologi partai atau calon-calon legislatif, melainkan pada tokoh-tokoh masyarakat yang justru biasanya berperan sebagai ‘bandar’. Para bandar bakal memobilisasi pemberian uang dan mengarahkan masyarakat memilih caleg tertentu.

“Kenapa bergantung pada tokoh itu berpengaruh? Karena kalau dilihat dari skemanya, enggak mungkin hanya satu pihak saja yang bagi-bagi uang. Masyarakat bisa saja dapat lima amplop dari lima orang dan partai berbeda,” kata Yohannes. “Nah bagaimana caranya memastikan bahwa orang yang dapat lima amplop itu memilih salah satunya? Si tokoh ini akan dapat duit paling banyak dan nanti masyarakat akan dapat duit lebih kecil. Serangan fajar itu yang penting ada tokoh yang kuat dan berpengaruh.”