Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah kembali melontarkan pernyataan insensitif bagi tenaga kerja. Menanggapi rentetan PHK di sejumlah startup Indonesia, Ida menyampaikan dua informasi. Pertama, memberi saran agar pekerja yang di-PHK nyari kerja di kantor lain atau wirausaha sekalian (jenis saran yang tidak perlu disampaikan juga orang sudah tahu). Kedua, menegaskan Kemnaker tidak akan cawe-cawe dalam PHK startup yang statusnya adalah hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja.
“Yang paling penting adalah mereka ketika tidak bekerja di satu perusahaan tertentu, dia bisa bekerja pada perusahaan lain atau mungkin mengambil inisiatif menjadi seorang wirausaha,” kata Ida pada Selasa (7/6) kemarin, dilansir CNN Indonesia.
Videos by VICE
“Banyak jenis [startup] yang model jenis pekerjaan yaitu kemitraan. Kalau itu, tidak ada hubungan kerja, ini di luar ranah kami,” tambah Ida.
Pernyataan “di luar ranah kami” ini membuat pekerja bertanya-tanya mengapa Menaker Indonesia justru tampak berpihak pada pengusaha daripada tenaga kerja. Karena gayanya ini, Ida sudah berkali-kali jadi sasaran kritik.
Sepanjang 2019-2020 lalu, misalnya, sikap Menaker Ida yang mendukung omnibus law UU Cipta Kerja membuat ia dicibir kelompok buruh sebagai “menaker terburuk sepanjang sejarah”. Ia juga dikritik karena mengeluarkan surat edaran kepada kepada daerah agar tak menaikkan upah minimum 2021 dengan alasan dunia usaha terpukul pandemi.
Setahun kemudian, Ida mengajak buruh agar tetap bersyukur walau pemerintah memutuskan upah minimum 2022 hanya naik 1 persen. Tapi ini bukan keanehan sang menteri yang terakhir. Protes massal lagi-lagi terjadi ketika Ida mengesahkan permenaker yang mengatur pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun.
Dengan rekam jejaknya yang demikian, kami tertarik mengecek silang pernyataan Ida bahwa Kemenaker tak perlu campur tangan dalam PHK startup yang berstatus hubungan kemitraan. Sejumlah pakar yang kami hubungi sepakat, relasi “hubungan kemitraan” ini problematis.
“Di Indonesia, justru kemitraan semu yang eksploitatif ini dibenarkan dan seolah pemerintah tidak ingin ikut campur, [sehingga menyebut] kemitraan bukan tenaga kerja. Padahal, semua syarat tenaga kerja sesuai UU Ketenagakerjaan itu ada semua di dalam yang disebut [sistem] kemitraan itu. Ada kontraknya, pemberi kerjanya, ada aturan yang harus dipenuhi,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), saat dihubungi VICE.
Bhima mencontohkan kasus di Inggris ketika tenaga kerja ojek online yang sebelumnya disebut mitra, kini menjadi tenaga kerja yang wajib dipenuhi hak-haknya.
Peneliti ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada Arif Novianto mengkritik konsep kemitraan yang dijalankan saat ini tidak sesuai UU 20/2008 tentang UMKM. Ia menyebut, kemitraan harusnya saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Pada faktanya, kedudukan pekerja kemitraan tidak setara dengan perusahaan. Setiap keputusan masih dimonopoli perusahaan.
“Jika pemerintah peduli melindungi warganya, maka klasifikasi mitra yang diterapkan perusahaan startup harus diteliti. Jika pemerintah tidak melakukan itu, maka akan terjadi ketidakpastian dan lemahnya penegakan hukum yang dimanfaatkan perusahaan untuk mengklasifikasikan pekerjanya sebagai mitra. Tujuannya agar tidak perlu memberikan hak-hak kepada pekerja,” kata Arif saat dihubungi VICE.
VICE lantas mempertanyakan posisi pemerintah yang terkesan lepas tangan atas nasib tenaga kerja. Arif sepakat, dan menunjukkan praktek “kemitraan palsu” yang berkembang luas jadi bukti. Alasan pemerintah bahwa persoalan yang terjadi bukan kewenangan kementerian/lembaga tertentu adalah alasan klasik, menunjukkan perlindungan pekerja bukan prioritas utama.
Arif menyebut, mulai dari industri transportasi online, layanan ekspedisi, dan startup tertentu memanfaatkan praktik tersebut dan dibiarkan pemerintah. “Yang diuntungkan dari ini tentu adalah pengusaha karena dapat memangkas ongkos produksi. Jika dibiarkan akan dapat semakin luas, bahkan ke sektor manufaktur, sehingga akan semakin banyak pekerja yang dilanggar haknya,” ujar Arif.
Bhima menyayangkan cara pemerintah yang memperlakukan situasi PHK massal ini sebagai sesuatu yang seakan-akan biasa terjadi. Ia menyebutkan sebenarnya ada beberapa hal yang negara bisa lakukan dibanding cuma menunggu laporan warga.
“[Misalnya] yang dilakukan [startup di] Eropa adalah perusahaan startup bisa meminta bantuan dari pemerintah, bahkan mencari pendanaan baru lewat IPO (initial public offering), dengan catatan tidak boleh melakukan PHK. Kalau sudah telanjur PHK, perusahaan harus kembali merekrut tenaga kerja yang di-PHK, baru boleh mencari pendanaan di pasar modal,” ujar Bhima.
Kedua, menurut Bhima, pemerintah seharusnya proaktif memperjuangkan perlindungan hak-hak pekerja, mendampingi pencairan pesangon BPJS Ketenagakerjaan termasuk Jaminan Hari Tua (JHT). Hmm, agak terdengar muluk-muluk ya.
“Statement ini tidak keluar [dari pemerintah]. Pemerintah selama ini berkoar-koar soal Kartu Prakerja, mengampanyekannya sebagai solusi mengatasi pengangguran. Tapi, itu tidak digunakan juga untuk menyerap mereka yang kena PHK, setidaknya di Kartu Prakerja kan ada insentif yang bisa dinikmati,” tambah Bhima. Di UU Cipta Kerja juga ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan pemerintah idealnya melakukan pendampingan.
Cara ketiga yang bisa dilakukan pemerintah dalam menekan dampak PHK massal adalah memprioritaskan rekrutmen tenaga kerja baru BUMN dengan menyerap eks karyawan startup yang kena PHK. Kalau tidak dilakukan, Bhima khawatir akan terjadi hysteresis, sebuah kondisi ketenagakerjaan di mana PHK massal menyebabkan orang yang dipecat kehilangan skill dalam jangka panjang.
“Contoh ya, kita kan sudah kekurangan talent digital dengan gap 9 juta orang. Sementara yang sudah bergabung di startup kena PHK. Ketika talent digital yang kena PHK ini menunggu lama untuk mencari kerja lain, apalagi disuruh berwirausaha oleh Menaker, maka dia akan mengalami deskilling, skill-nya makin lama makin dilupakan, makin tidak terasah. Akhirnya justru merugikan ekosistem digital dalam jangka panjang,” tutup Bhima.