Mencari Jalan Tengah dari Pro-Kontra Adaptasi Film ‘Bumi Manusia’

Penggemar 'Bumi Manusia' Terbelah Soal Adaptasi Filmnya oleh Hanung

Banyak hal yang dapat membelah Indonesia menjadi dua. Mulai dari perdebatan bumi datar bumi bulat, pilihan presiden nol satu dan nol dua, sampai bubur diaduk dan tidak diaduk. Nah, salah satu yang muncul belakangan dan santer diperdebatkan adalah impresi penonton tentang film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo, dengan sokongan Falcon Pictures.

Adaptasi karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer ini memikul beban berat, khususnya akibat ekspektasi dari pembaca novelnya. Bahkan pro-kontra sudah merebak sejak rencana pembuatannya diumumkan ke publik. Para pembaca kawakan siap mengkritik tiap detail yang luput dalam film, termasuk pula kemungkinan pesan penulis yang gagal diterjemahkan menjadi bahasa visual. Beban besar ini muncul akibat reputasi Tetralogi Buru, empat novel—termasuk Bumi Manusia—yang dikenal sebagai mahakarya Pram.

Videos by VICE

Cerita tentang bersemainya kesadaran nasionalisme dari kaum terdidik pribumi di Hindia Belanda ini melambungkan nama Pram di jagat sastra internasional. Tetralogi Buru juga semakin sakral, lantaran tekanan Orde Baru yang sempat melarang peredaran keempat novel tersebut, bersama buku-buku Pram lain hanya karena sang sastrawan sempat bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat pada dekade 60’an.

Di tengah beban berat karena tekanan calon penonton, dari sisi komersial adaptasi film Bumi Manusia agaknya tidak bernasib terlalu buruk. Selama sepekan pemutaran, film yang dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan dan Mawar De Jongh ini mendapatkan 411 ribu penonton (sumber lain menyebut jumlah penonton sudah tembus 500 ribu). Capaian ini mengesankan, mengingat Bumi Manusia dulunya karya yang dibaca sembunyi-sembunyi, dinistakan pemerintah, tapi kini sudah dirayakan terbuka—bahkan bisa dibaca oleh anak-anak muda.

Meski demikian, keuntungan Falcon belum tentu besar, mengingat ongkos produksi Bumi Manusia amat mahal, mencapai belasan miliar Rupiah. Ongkos membangun setting agar sesuai kondisi Hindia Belanda pada Abad 19 saja menelan dana Rp4 miliar.

Tapi, seperti dugaan awal, jumlah penonton tidak berbanding lurus dengan penerimaan penonton. Pro-kontra sebagaimana diperkirakan banyak pihak benar-benar mengemuka setelah orang-orang berbagi kesan menonton film terbaru Hanung itu. Ulasan media dalam negeri sejauh ini juga beragam. Sebagian memujinya sebagai drama yang berhasil, sementara sebagian menganggap film ini punya berbagai kekurangan mendasar, persoalan akting, dan terlalu banyak menyajikan adegan cinta-cintaan antara Minke dan Annelies.

Bagi yang kontra, Hanung dianggap gagal menyajikan drama yang meyakinkan tentang manusia Indonesia yang hidup di tengah kolonialisme Belanda Abad 19. Bahkan ada yang menganggap setting Surabaya itu terasa sangat palsu, dengan dialog cringey yang tak lebih baik dari FTV.

Keluhan lain muncul terkait kegagalan film adaptasi ini menghadirkan semangat perlawanan dari novel Pram ke layar sinema. Adaptasi Hanung jadi terlalu terfokus pada kisah cinta, serta melupakan banyak sosok yang menginspirasi sosok Minke menjadi jurnalis pribumi yang progresif.

Tentu banyak juga yang memuji. Tiga jam durasi film ini, menurut yang menikmati alurnya, bikin orang baper.

Putri sang sastrawan legendaris, Astuti Ananta Toer sendiri memberi respons positif terhadap penayangan film tersebut. Dia bilang, hadirnya adaptasi film ini menandakan masyarakat Indonesia semakin menghargai karya sastra dan sejarah bangsa. Terutama mengingat konteks karya ini mengalami pemberangusan akibat tuduhan Orde Baru bahwa Pram dulu adalah anggota Partai Komunis Indonesia. Bila ada kekecewaan masyarakat, Astuti mengakui semua novel yang diadaptasi akan selalu “jatuh” dari bayangan pembaca.

Lantas, apakah nasib film dengan cerita yang diangkat dari buku akan selalu bernasib buruk seperti itu?

Hikmat Darmawan, kritikus sekaligus Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, merasa masih ada jalan untuk menengahi perdebatan yang seolah tak bisa berakhir itu. Salah satunya, adalah membuka kemungkinan memproduksi karya adaptasi dari judul yang sama.

Artinya, adaptasi film Bumi Manusia jangan hanya dianggap hanya dilakukan Hanung dan Falcon. Seharusnya di masa depan ada banyak sineas dan produser lain coba menafsirkannya dalam bahasa visual. Atau kalaupun Falcon masih hendak memproduksi adaptasi buku dari tetralogi ini, formatnya pun tidak harus film panjang dengan durasi tiga jam. Sebab Bumi Manusia dan tiga novel Tetralogi Buru lainnya punya banyak detail dan konflik minor yang penting dijabarkan.

“Supaya jadi lebih detail ya diterjemahkan jadi 8 episode semacam serial HBO, satu episode 2 jam, kayak Sherlock sama True Crime,” kata Hikmat saat dihubungi VICE.

Masalahnya, adaptasi dari pihak lain tentu terhalang aspek hukum. Falcon untuk sementara memegang hak untuk mengadaptasi novel tersebut menjadi film dari keluarga mendiang Pramoedya. Idealnya, meski copyrights dipegang Falcon, sineas independen ataupun seniman dalam medium lain masih bisa menafsirkan Bumi Manusia dalam gaya presentasi yang berbeda-beda. Sehingga, debat kusir penggemar novel soal proyek adaptasi ini tak terlalu tajam.

“Saya pribadi tidak nyaman dengan pembatasan rights, di mana interpretasi dan tafsir lain terhambat,” ujarnya. “Sebagai konsumen agak sayang kalau [materi Tetralogi Buru] enggak bisa di-explore, karena terlalu eksklusif.”

Artinya, makin banyak karya di masa mendatang diberi peluang menafsirkan Tetralogi Buru, yang diuntungkan adalah penikmat film di Indonesia.

Adaptasi buku pada dasarnya upaya kesenian yang rumit, menurut Hikmat, karena ada suasana batin tertentu yang hanya bisa muncul dalam format prosa. Bahasa visual butuh pendekatan lain, yang seringkali merusak imajinasi pembaca. Apalagi, peran sutradara sangat berperan dalam penerjemahan gagasannya. Dalam kasus Bumi Manusia, Hikmat merasa Hanung masih memakai pendekatan verbalistis untuk menampilkan adegan secara dramatis.

“Memang ada beberapa adegan dimana saya merasa, rasanya ini lebih pas kalau hanya diberi penekanan visual deh. Bisa dibuat lebih sunyi. Tapi ternyata di film ini diinterpretasikan dengan jejeritan yang harafiah,” ujarnya.

Setidaknya, menurut Hikmat, adaptasi yang dilakukan Hanung tetap berikhtiar menampilkan semangat utama novel Bumi Manusia. Artinya, penonton muda yang barangkali menyaksikan film ini hanya karena faktor Iqbaal, tetap bisa memahami alasan cerita Pramoedya itu dianggap sangat sakral bagi para pembaca novelnya.

“Dalam novel pertama ini Pram ingin menanamkan pada kita kesadaran akan menjadi manusia modern, dan kesadaran akan ketidakadilan. Sehingga cukup tersentuhlah permukaannya dalam film tersebut,” kata Hikmat.