Mencari Mereka yang Tak Kunjung Pulang Usai Ricuh 22 Mei

Mencari Mereka yang Tak Kunjung Pulang Usai Ricuh 22 Mei

Lebih dari sehari setelah ricuh 22 Mei di beberapa titik Jakarta Pusat, Muhammad Nurdin tak kunjung kembali ke rumah. Pada istrinya, Nurdin hanya sempat berkabar jika sedang di pusat unjuk rasa besar di Kawasan Thamrin, depan Gedung Badan Pengawas Pemilu. Dalam grup Whatsapp keluarga, Nurdin mengaku ke kawasan Bawaslu, untuk membantu pengunjuk rasa yang tumbang akibat serangan gas air mata polisi.

Keluarga besarnya panik, lantas berbagi tugas mencari Nurdin setelah dia tak kunjung pulang setelah nyaris 48 jam. Hanya ada dua pilihan tersisa: Nurdin jadi korban dan berakhir di rumah sakit, atau dicokok polisi.

Videos by VICE

Sri Mulyanah, sulung di keluarga ini, mencari Nurdin ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan yang jadi rujukan korban cedera akibat kericuhan. Sementara kakak lainnya, Ahadia Akhirudin yang biasa dipanggil Aa’, mencari keberadan adiknya di Polda Metro Jaya.

“[Nurdin] cuma cerita “lagi gotong-gotong korban nih.” Dia inisiatif sendiri aja bantu-bantu. Setelah itu enggak ada kontak lagi,” kata Sri Mulyanah, saat ditemui VICE di pelataran Polda Metro Jaya.

Aa’ yang pertama kali mendapat petunjuk. Saat berada di sekitar Gedung Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro, dia tiba-tiba dikejutkan suara familiar seseorang yang memanggilnya “Aa’.” Suara itu datang dari lelaki dengan wajah bengkak dan sedang digiring polisi menuju ruangan lain. Ada sedikit darah menggurat di pelipisnya. Mereka tidak sempat ngobrol. Aa’ menangis, menelepon Mulyanah agar buru-buru datang ke Polda. Aa’ yakin bila lelaki yang babak belur itu saudaranya yang hilang.

“Nurdin katanya lagi digiring dari bagian narkoba ke Krimsus,” kata Mulyanah kepada VICE. “Saya lihat banyak yang bengep muka orang yang dituduh provokasi [aksi 22 Mei].”

Setiba di Polda, Mulyanah tak kunjung menemukan Nurdin. Polisi yang berjaga tidak mencatat nama itu. Pengakuan Aa’ sulit diverifikasi. Jangan-jangan dia salah lihat? Mendadak ada sedikit titik terang. Tumpukan sepatu tergeletak depan gedung diskrimum, ada sepasang warna putih diduga kuat milik Nurdin. Namun perjuangan Mulyanah dan Aa’ belum selesai. Kalaupun benar ditahan polisi, Nurdin masih harus menjalani pemeriksaan maraton. Dia bisa dilepas hari itu juga, atau paling buruk tiga hari kemudian.

“Ada polisi nanya ‘nyari anaknya ya?’ saya jawab ‘bukan, adik saya’. Ditunjukkin “oh di sana di tempat narkoba.” Pas ke divisi narkoba, enggak ada datanya. Pas diarahin ke mari, saya lihat sepatunya. Ya sudah,” jawabnya sambil duduk lemas di kawasan parkiran mobil Diskrimsus.

Sore itu, Jumat 24 Mei 2019, belasan orang mencari keluarga atau kenalannya ke Polda Metro Jaya. Mereka tak mendapat petunjuk apapun di rumah sakit. Jadi pesakitan adalah kemungkinan terbaik bagi famili mereka, selain opsi menyisir kamar mayat.

VICE setidaknya bertemu enam keluarga yang mencari sanak kerabatnya dalam waktu bersamaan di Polda. Beberapa meyakini sanak famili mereka korban salah tangkap aparat.

Markas besar kepolisian wilayah Ibu Kota itu luasnya mencapai 7 hektar, dengan tata letak subbagian yang rumit dan penuh singkatan divisi sulit dipahami awam. Berulang kali keluarga kesulitan mencari informasi saat menginjakkan kaki di sana.

“Saya mau cari teman saya Pak, yang ditahan karena demo di mana ya?” kata seorang perempuan remaja yang datang bersama ketiga kawannya. Dia datang menghadap ke sebuah pos di bagian reserse kriminal umum. Mereka berempat tersesat berulang kali.

1558940008493-DSC08562
Dinda dan tiga rekan menanti kabar kawan mereka yang konon digelandang ke Polda Metro Jaya karena diduga terlibat aksi 22 Mei. Foto oleh Firman Dicho Rivan/VICE

Keempat anak itu diminta menuruni anak tangga menuju ke sebuah ruangan dengan pintu besi berwarna hitam. Hanya tersedia sekotak celah kecil untuk memberi salam kepada petugas di dalam. Saat masuk mereka lagi-lagi kebingungan.

“Mungkin bukan di sini, coba ke bagian narkotika,” kata seorang petugas.

Mendatangi kantor polisi dan datang memerisak satu sel tahanan ke sel lainnya benar-benar menguras energi. Mereka pun menyerah dan mengaso dulu di parkiran Polda. “Ini [Polda] gede banget dan aku baru pertama kali ke sini,” kata Dinda Adira, perempuan 18 tahun asal Petamburan. Dia mencari kekasihnya, Muhammad Rayhan, yang hilang kontak dengannya sejak 22 Mei.

“Hilangnya itu enggak benar-benar hilang. Kalau ditelepon atau di-WhatsApp itu aktif dan nyambung cuma enggak ada yang ngangkat,” kata Dinda yang datang bersama dengan tiga orang kawan lelaki pacarnya.

Dinda bercerita pencariannya tak hanya menuju ke Polda Metro Jaya. Ia dan keluarganya sudah mencari Muhammad Rayhan ke Rumah Sakit Tarakan dan Rumah Sakit Budi Kemuliaan yang menampung jumlah korban unjuk rasa terbanyak se Jakarta. Hasilnya nihil. Lelaki 19 tahun yang sehari-hari menjadi pengemudi ojek online ini bak hilang ditelan bumi. Rayhan terakhir berpamitan pada kakaknya saat sahur, tepat saat eskalasi konflik 22 Mei terjadi di kawasan Tanah Abang dan sekitarnya.

Hingga matahari tergelincir ke barat, Dinda dan tiga kawannya tak kunjung dapat kepastian. Seorang polisi menghibur mereka, menjelaskan bila tersangka yang diduga jadi provokator kerusuhan terlampau banyak. Pemeriksaan semua orang yang digelandang ke Polda bakal makan waktu.

1558943486724-demo
Suasana panas pada malam 22 Mei di depan Gedung Bawaslu. Foto oleh Willy Kurniawan/Reuters

Akibat demonstrasi ricuh dipicu hasil pemilihan presiden 2019 itu, delapan orang meninggal, ratusan orang dilarikan ke rumah sakit akibat luka, baik itu serangan benda tumpul, tusukan, hingga terkena peluru karet. Selain itu, 257 orang ditahan di Kantor Polisi atas sangkaan memprovokasi keributan atau terlibat kerusuhan.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Tito Karnavian, menyatakan aksi kekerasan dan provokasi dilakukan oleh orang-orang bayaran yang sebagian besar terdiri dari mereka yang masih remaja.

Ratusan orang yang ditangkap terkait aksi rusuh itu ditahan atas tiga alasan utama. Sebanyak 72 orang ditangkap karena menyerang polisi dan merusak fasilitas umum saat unjuk rasa di sekitar Bawaslu. Sementara itu 156 terduga provokator digelandang dari Petamburan karena membakar mobil polisi dan merusak fasilitas negara, sementara itu 29 tersangka lainnya dicokok polisi karena diduga hendak menyerang Polsek Gambir.

Dalam konferensi pers tersebut, ditampilkan barang bukti berupa senjata tajam, busur panah, bom molotov, batu, petasan, uang tunai jutaan rupiah, dan ribuan dolar Amerika Serikat. Dalam konferensi pers tersebut, sejumlah pelaku mengakui bahwa kekerasan yang mereka lakukan dikoordinir tim yang rapi.

“Pelaku perusuh sudah direncanakan dan ada yang membiayai. Mereka sudah mempersiapkan barang-barang dan di tata di pinggir jalan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono dalam jumpa pers.

Kapolri sebelumnya menyebut timnya sudah mengendus rencana aksi penembakan terhadap massa yang akan digunakan sebagai martir untuk membakar amarah, sepekan sebelum rusuh 22 Mei.

Selama rusuh, awalnya publik mengapresiasi tindakan aparat yang simpatik menghalau pengunjuk rasa. Sentimen itu, di media sosial, perlahan berubah setelah satu video viral merekam aksi personel brigade mobil (brimob) mengeroyok seorang pemuda di Kampung Bali, kawasan Tanah Abang. Dia diinjak serta dihajar dengan gagang senapan. Kasus lain yang memicu pro-kontra adalah pemukulan aparat terhadap relawan Dompet Dhuafa yang berusaha membantu korban di tengah situasi unjuk rasa.

Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, mengakui sebagian personel melanggar prosedur saat menangkap tersangka. “Polri akan profesional melakukan penegakan hukum terhadap siapapun anggota yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum tidak sesuai standar operasi prosedur ketika bekerja,” ujar Dedi.

Lembaga pemantau hak asasi manusia, Amnesty International, menyayangkan kekerasan aparat saat menangani ricuh 22 Mei, yang baru diakui setelah beberapa video amatir viral lewat media sosial.

“Hal tersebut adalah pelanggaran serius terhadap SOP kepolisian itu sendiri. Karena apapun status hukum seseorang, aparat tidak boleh memperlakukan dia secara kejam dan tidak manusiawi yang merendahkan martabatnya sebagai seorang manusia,” kata Usman Hamid, selaku Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia saat diwawancarai media.

Kasus di Kampung Bali memicu perdebatan di medsos, karena sempat beredar kabar jika sosok yang dianiaya Brimob itu adalah Harun, remaja 15 tahun yang masuk dalam daftar korban tewas selama ricuh pekan lalu. Polisi membantah kabar itu, dengan menyatakan bahwa yang jadi korban kekerasana aparat bernama Andri Bibir, lelaki 30 tahun, yang kini berada di tahanan Polda. “Pas di video itu saya sempat melarikan diri tapi ternyata di belakang [masjid] ada sekomplotan Brimob dan saya kembali ke lapangan, dan di situ saya ditangkap,” kata Andri yang ditahan atas dugaan mengumpulkan batu untuk menyerang aparat.

Lepas dari narasi yang bertentangan itu, LBH Jakarta menilai polisi sudah melanggar hak asasi. “Dalam posisi yang sudah tidak mungkin melarikan diri, tidak mungkin bisa melakukan perlawanan, masih saja dipukuli. Itu mestinya tindakan-tindakan yang dihindari,” kata Arif Maulana, selaku Direktur LBH Jakarta.

Hingga azan maghrib berkumandang, tanda berbuka puasa, Dinda dan ketiga kawannya tak kunjung berhasil menemukan Rayhan di Polda Metro Jaya. Data Rayhan tidak tercatat di sana. Nasib serupa dialami Mulyanah. Dia pasrah dengan proses pemeriksaan polisi yang tak memberinya kepastian. Nurdin tak jelas rimbanya. Kalaupun benar ditangkap, alasannya pun masih simpang siur.

“Polisi cuma mencatat nama kita, lalu disuruh tunggu. Kita berharap komunikasi lebih lancar soal apa yang keluarga harus lakukan,” kata Mulyanah sambil beranjak pulang. “Saya yakin adik saya bukan yang nyari ricuh. Dia tuh cuma kebetulan ada di situ, posisinya enggak bagus. Saya berharap sih kita bisa dipertemukan.”