Kendy Nguyen adalah atlet binaraga kesohor Vietnam. Dia sudah memenangkan berbagai kejuaraan, termasuk medali emas dalam kompetisi tingkat nasional 2016. Masalahnya, terlepas dari berbagai capaian tersebut, Kendy tak pernah dianggap setara atlet-atlet lain. Dia tak boleh bertanding di kelas yang menurutnya sudah sepantasnya dia ikuti.
“Sampai sekarang saya masih harus bertanding di kategori binaraga perempuan,” ujarnya saat ditemui VICE.
Videos by VICE
Kendy adalah atlet binaraga trans pertama di Vietnam. Kehadirannya langsung mengguncang kancah olahraga pembentukan otot yang selama ini lekat dengan citra macho. Vietnam memang beberapa tahun terakhir menjadi lebih progresif, tak lagi memandang negatif kalangan trans. Bahkan bisa dibilang, Vietnam adalah salah satu negara di Asia Tenggara paling ramah dan bersedia mengakui kesetaraan hak komunitas LGBTQ. Pada 2015, misalnya, Parlemen Nasional Vietnam mengesahkan revisi undang-undang soal kependudukan. Berbekal beleid tersebut, mereka yang sudah melakoni operasi kelamin berhak mengajukan perubahan gender di KTP.
Namun, bagi pengelola organisasi binaraga, sepak terjang Kendy problematis. Dan sebagaimana anggota komunitas trans di Vietnam, Kendy punya masalah lain yang menghantui dibanding sekadar tak boleh bertanding melawan binaragawan lelaki.
Fasilitas kesehatan resmi yang melayani operasi ganti kelami belum tersedia di Vietnam. Kendy dan kawan-kawan trans di sana cuma punya dua pilihan. Satu, berangkat ke luar negeri, misalnya Thailand, dan menghabiskan uang cukup banyak untuk ganti kelamin. Pilihan kedua adalah melakukan operasinya di klinik bawah tanah Vietnam. Kendy sendiri ogah melakoni pilihan terakhir, karena “klinik macam itu selain ilegal, kemanan prosedurnya cenderung meragukan.”
Itupun kalau Kendy kepengin mengubah kelamin. Sejauh ini, dia masih nyaman menjadi trans bekas perempuan, tanpa harus memiliki organ vital buatan macam lelaki.
“Paling banter aku akan melakukan operasi di bagian tubuh pinggang ke atas,” ujarnya. “Teknologi operasi kelamin untuk perempuan jadi lelaki sampai sekarang belum terlalu efektif. Sangat jarang lah. Makanya, aku belum memerlukannya. Pacar juga mendukung keputusanku untuk tetap seperti sekarang.”
Tonton dokumenter VICE Indonesia mengenai para penari lengger lanang di Banyumas yang sukses melawan stigma—baik soal identitas gender maupun kutukan 65:
Saat ini Kendy memilih terapi hormon supaya jadi lebih seperti lelaki. Lagi-lagi ada masalah. Injeksi hormon macam itu harus diimpor, belum tersedia dan diproduksi sendiri di Vietnam. Saat ini dia harus datang ke Thailand, lalu membeli dalam jumlah besar masuk kopernya. Saat kami ngobrol, Kendy memperlihatkan isi tas latihannya, isinya berbagai jenis jarum suntik. Kata Kendy, untuk menjaga pasokan hormon ini, ongkos yang harus dia keluarkan berkali-kali lipat dibanding penghasilan bulanan warga Ho Chi Minch.
“Saat ini kami dari komunitas trans sedang mendiskusikan berbagai masalah ini dengan pemerintah,” kata Kendy. “Jika kami dari kelompok trans ingin diakui, maka catatan injeksi hormon secara rutin yang diperoleh dokter harus kami dapatkan. Baru kemudian data tersebut disampaikan kepada dinas kependudukan. Tetap saja, hal ini susah dilakukan. Kami mana pernah melakukan injeksi hormon resmi.”
Di titik inilah muncul bahaya terbesar. Karena ongkos melakoni alur birokrasi resmi sangat mahal, pasar-pasar gelap bermunculan. Banyak pihak menawarkan terapi hormon hingga operasi kelamin tanpa lisensi—yang biayanya sangat terjangkau. Tak sedikit rekan-rekan Kendy dari komunitas Trans yang terpikat janji murahnya biaya itu, walau status legal dan keselamatan mereka jadi kurang terjamin.
Kendy sudah melihat dengan mata kepala sendiri, ada kawannya yang justru mengalami kerusakan liver gara-gara melakoni terapi hormon dengan suntikan tak legal. “Saya pernah lihat ada orang menawarkan injeksi hormon via online yang harganya separuh lebih murah dari yang resmi. Dari mana coba mereka dapatnya?”
Intinya, Kendy yang mencoba jalur legal, walaupun belum sepenuhnya diakui pemerintah, sudah berkorban banyak untuk menegaskan identitasnya sebagai trans lelaki. Namun, seperti disebut sebelumnya, komite binaraga nasional masih gamang dengan statusnya. Kendy alhasil diwajibkan berkompetisi di kelas perempuan. Dia dipaksa pakai bikini saat bertanding. Padahal tubuhnya sudah tidak bisa disebut mirip lelaki. Plus, panitia pun sudah menyuruhnya ganti pakaian di kamar ganti lelaki.
“Tragis ya. Karena aku sudah terlihat seperti lelaki, maka panitia merasa akan muncul masalah kalau aku ganti baju di kamar ganti perempuan,” ungkapnya.
Minimal, tiadanya diskriminasi gamblang terhadap komunitas trans Vietnam membuat Kendy dan kawan-kawannya masih bisa berharap. Kendy belum lama ini diminta jadi bintang tamu mengisi acara kuis di televisi. Ini langkah progresif, mengingat 10 tahun lalu kemunculan waria di TV nasional masih dianggap aib. Penonton di pedesaan Vietnam juga tidak lagi risih melihat sosok seperti Kendy.
Justru, dalam cerita Kendy, hambatan terbesar adalah kedua orang tuanya. Dia sempat galau akankah coming out soal statusnya yang ingin menjadi lelaki tulen, dari sebelumnya perempuan. Kedua orang tua Kendy pun sadar melihat perubahan putri mereka. Sempat, ibunya bilang kalau mungkin perubahan ini cuma fase remaja. Tapi Kendy akhirnya membulatkan tekad. Setelah bicara dari hati ke hati dengan orang tua, dia mengumumkan statusnya sebagai trans lelaki di surat kabar setempat. Dia dengan tegas menyatakan diri sebagai mantan perempuan yang kini punya identitas baru sebagai lelaki.
“Wawancara dengan media itu bukan cuma untuk orang tuaku,” kata Kendy. “Dari situ, aku ingin mengingatkan anak muda trans lain di negara ini agar berani menjelaskan identitas seksualnya kepada keluarga dan masyarakat.”
Kedua orang tua Kendy tentu belum bisa menerima identitas gendernya yang baru. Namun Kendy bersyukur tidak perlu lagi hidup dalam kerahasiaan bertahun-tahun. Apalagi, perlahan-lahan, mereka bisa menerima pilihan hidupnya.
“Nyatanya, aku sekarang sudah jadi tulang punggung keluargaku,” ujarnya padaku, disertai seutas senyum bangga.
This article originally appeared on VICE ID.