“Semua baju ini harus dipakai buat melindungi kalian. Tepatnya melindungi dari apa, saya sendiri enggak tahu,” kata pemandu kamu. Kami segera sibuk di belakang bus, buru-buru mengenakan baju pelindung yang diberikan pada kami.
Di samping lokasi kami sekarang, di tengah pepohonan yang tumbuh lebat, berdiri rumah susun ala Uni Soviet. Tak ada yang tinggal di dalamnya. Isinya masih lengkap seperti ketika pemiliknya buru-buru cabut dari tempat ini. Kami sedang berada di Pripyat, kota yang dulu pernah ditinggali 50.000 orang. Populasinya saat ini? Nol.
Videos by VICE
Kilatan cahaya berwarna dari tengah sebuah lapangan di kota suwung itu menembus ruang-ruang rumah tak berpenghuni itu. Di tempat macam inilah, kami akan menghadiri sebuah pesta rave.
Valeriy Korshunov, seorang seniman multimedia dari Kiev, tengah melakukan checksound di Artefact, sebuah “patung digital” yang bakal kami datang di Zona Alienasi Chernobyl.
Ledakan Reaktor Nomor 4 pada pukul 1.23 26 April 1986 melontarkan empat kali lipat materi radioaktif ke atmosfer kawasan Eropa Timur dari jumlah keseluruhan materi radioaktif dua bom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima pada 1945.
Sebelum bencana nuklir itu terjadi, Pripyat dianggap sebagai kota percontohan dan kota idaman warga Soviet. Pada masanya, Pripyat adalah kawasan hunian baru—mungkin seperti Meikarta dalam iklan-iklannya—yang didesain khusus untuk karyawan pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl.
“Kami sedang berada di Pripyat, kota yang dulu pernah ditinggali 50.000 orang. Populasinya saat ini? Nol.”
Chernobyl empat dekade lalu dianggap sebagai permata Uni Soviet—simbol komitmen politbiro partai komunis menyediakan energi nuklir yang bersih, hijau dan aman. Pemukiman yang disediakan juga tak kalah menjanjikannya. Pripyat dilengkapi denngan sebuah supermarket yang memasarkan bahan makanan yang susah ditemukan di wilayah lain, gelanggang es, kolam renang umum dan karnival untuk anak-anak pekerja Chernobyl.
Setelah ledakan terjadi, Moskow awalnya tak mengeluarkan pernyataan apapun, peringatan mengenai bahaya yang mengancam Pripyat justru datang dari petugas PLTN di Swedia—yang terletak lebih dari 1.600 km dari Chernobyl—setelah menemukan keganjilan pada detektor Geiger. Penduduk Pripyat diimbau untuk tetap tenang. Tak ada satupun yang mesti mereka khawatirkan.
Setelah 36 jam berselang, pihak berwenang Soviet menyadari bencana terjadi, dan mengevakuasi seluruh penduduk Pripyat. Tenggat evakuasinya kelewat sempit. Dua jam saja. Begitu semua warga berhasil diungsikan, Pripyat benar-bener tercemar materi radiaktif dari bencana nuklir terparah dalam sepanjang sejarah manusia.
Tonton dokumenter VICE soal kebijakan absurd pemerintah Jepang melarang orang bergoyang di klub malam:
Kendati belum ada data komprehensif yang merinci separah apa imbas dari bencana Chernobyl, penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan bahwa bencana Chernobyl kemungkinan menyebabkan 4.000 kematian prematur dan maraknya bayi yang lahir dengan berbagai jenis kelainan dan disabilitas.
Selagi kami berjalan menuju Artefak, kami menemukan sebuah arena karnaval yang kondisinya bikin kami merinding. Wahana permainan ini semestinya dibuka 4 hari setelah tanggal ledakan terjadi. Kebocoran nuklir membuat arena tersebut tak pernah dibuka dan diresmikan. Sepanjang 32 tahun terakhir, tempat ini dibiarkan membusuk.
Satu bianglala teronggok di depan kami. Dalam budaya populer, bianglala seperti menempati posisi spesial dalam budaya populer sekian tahun terakhir. Dalam sejumlah film pasca apokaliptik, tokoh protagonisnya pasti memiiki adegan berjalan sendirian, melewati kota yang ditinggalkan tapi mungkin dikuasai kawanan zombie. Bianglala nyaris tak pernah absen dari adegan khas ini. Franchise game third person shooter, Call of Duty, bahkan pernah merancang salah satu sesi gamenya di seputar sebuah bianglala.
“Gue kayak lagi berada ada di set film deh,” kata saya pada salah satu rekan saya. “Iya sih, tapi ini benaran mirip sih,’ Katanya. “Kayaknya adegan film yang ada bianglalanya, inspirasinya dari sini.”
Di balik bianglala, kami menemukan sekumpulan bombom car dan sebuah komidi putar. Seorang peserta lantas memegang dan menarik salah satu kuda putar di atasnya. Tak lama, terdengar suara logam berderak selagi komidi berputar. Tempat duduk kecil, dicat merah, berputar di depan kami. Saya bisa melihat debu membumbung dari mesin komidi sebelum beranjak pergi.
Chernobyl telah berubah menjadi semacam mitos. Pasca ledakan terjadi, hanya segelintir orang yang pernah menginjakkan kakinya di sana. Banyak yang paham sejarah kelam tempat ini atau malah ketakutan karenanya. Chernobyl merupakan contoh ideal bagaimana Godwin’s Law bekerja: Chernobyl adalah tragedi yang disebabkan perbuatan manusia yang kerap menghantui dsikusi tentang rencana kita memenuhi kebutuhan enam miliar—sebentar lagi tujuh miliar—manusia di Bumi.
Saat ini, setidaknya lima puluh reaktir nuklir baru tengan dibangun di seluruh dunia. Salah satunya adalah PLTN apung di Murmansk, Rusia, Ironisnya, reaktor-reaktor ini dibangun ketika perubahan iklim gencar terjadi dan bencana alam seperti sudah jadi sesuatu yang normal terjadi. Memang, PLTN dijamin bisa menyediakan energi yang bersih dan ramah lingkungan. Namun, bayang-bayang terulangnya tragedi Chernobyl mengakibatkan proyek-proyek itu dianggap kontroversial.
Kami baru tiba “The Zone” pagi esoknya setelah menyusuri sungai Dnieper dari Kiev. Pemandangan barisan pohon birch kini digantikan oleh hutan pinus bersalju dengan marka jalan agar kita berhati-hati akan serangan beruang dan serigala.
Akhirnya, kelar juga pemandangan pohon di kanan dan kiri kami. Dinding yang melengkung pada jalan yang kami lewati makin jelas terlihat. Anggota militer berseragam camo lengkap meminta kami turun dari bus dan menunjukkan sejumlah kartu identitas.
Sebuah gereja berdiri di samping pos pengecekan ini. Pintu depannya dihiasi salib emas dan gambar Madonna. Penasaran, saya menyempatkan mengintip kondisi di dalamnya. Ternyata gereja itu penuh dengan bilah-bilah kayu potong. Cahaya memendar dari jendela hias yang dibentuk seperti lambang hati.
Beberapa minggu setelah ledakan terjadi, sejumlah pakar Injil merujuk pada Kitab Wahyu yang meramalkan tentang runtuhnya bintang dari langit dan menguarnya racun dari bawah permukaan Bumi. Nama bintang yang jatuh itu Wormwood, yang dalam bahasa Ukrania disebut dengan istilah “Chornobyl”.
Dengan sejarah kelam kawasan ini, penyelenggara Artefact berani menjamin kemananan The Zone. setelah ledakan terjadi, butuh sekitar setengah pekerja—sebutannya liquidator—dan makan waktu enam bulan untuk membungkus reaktor dengan struktur mirip kubah raksasa bernama berjuluk Sakrofagus. Dengan bantuan Uni Eropa, pengerjaan Sakrofagus dianggap selesai Mai tahun ini (meski para pekerjanya mengakui bahwa struktur buatan mereka perlu diganti saban 100 tahun sekali).
Dalam jumpa pers yang digelar di lapangan berjarak kira-kira 100 meter dari reaktor yang meledak, Svitlana Korshunov, kurator Artefact, berkata: “Selamat Datang di Zona Eksklusi. Bagi semua orang, tempat ini dikenal sebagai lokasi sebuah tragedi terjadi. Chernobyl sudah jauh lebih aman. Keselamatan kita semua terjamin. Kita semua datang demi mengubah sejarah Chernobyl.”
Rupanya, ancaman radiasi nuklir bukan merupakan prioritas utama panitia Artefak. Mereka lebih memikirkan Fake News alias berita abal-abal yang menjadi tema utama artwork/konser/happening art mereka gelar.
“Bencana Chernobyl bukan hanya bencana radiasi nuklir tapi juga bencana informasi,” ujar Valeriy Korshunov. Dia menegaskan bahwa setidaknya lima generasi penduduk Ukraina dari sekarang masih akan terdampak bencana Chernobyl, menurut sejumlah ilmuwan. “Kami harap aktivasi Artefact akan jadi titik awal untuk merenungkan ulang tragedi informasi di Chernobyl,” katanya.
Tak bisa dipungkiri, reaksi Soviet terhadap insiden Chernobyl sangatlah sinis. Moskow tak mengeluarkan pernyataan apapun sampai 28 April 1986 ketika politbiro mengeluarkan pernyataan sepanjang 15 detik pada siaran berita malam. Bunyinya pun biasa saja, seakan mengentengkan apa yang terjadi di Chernobyl: “telah terjadi sebuah kecelakaan di PLTN Chernobyl.” Pernyataan itu juga menyebut “bantuan telah diberikan kepada pihak yang terkena dampak kecelakaan” dan “sebuah komisi investigasi sudah dibentuk untuk menyelidiki apa yang terjadi di Chernobyl.”
Sekian hari kemudian, Moscow News, kanal media resmi Politbiro Partai Komunis menurunkan headline sensasional: “Awan Beracun Anti-Sovietisme.” Artikel tersebut menuduh bahwa insiden Chernobyl adalah “hasil dari rencana busuk yang dirancang jauh-jauh hari” dan disiapkan untuk “menutupi kejahatan militer AS dan NATO yang mengganggu kedamaian dan keamanan global.”
“Salah satu tujuan utama aktivasi Artefact di Pripytat adalah untuk mengingat kembali betapa informasi bisa dimanipulasi, disembunyikan dan dikaburkan,” kata Korshunov. “Karena konsekuensinya akan sangat serius.”
Dia lantas mencontohkan perang “hybrid” antara Ukraina dan Rusia. “Saat ini, propaganda yang muncul di televisi sama kencangnya seperti zaman Soviet dulu,” katanya.
Proses aktivasi Artefact sendiri adalah sebuah kegiatan yang menarik untuk disaksikan. Sekelompok orang bernyanyi dari musik elektronik yang dipancarkan sejumlah speaker di lapangan utama Pripyat. Cahaya menari di dinding rumah susun yang di tinggalkan pemiliknya. Dua layar film memainkan visual yang merujuk pada film klasik karya sutradara asal Soviet Andrei Tarkovsky Stalker. Film yang dirilis pada 1979 bersetting di sebuah kawasan misterius yang seakan-akan meramalkan kondisi Pripyat pasca bencana Chernobyl terjadi.
“Gue ngerasa kaya sedang nonton festival Glastonbury dan ini sudah pukul 4 pagi,” kata teman saya. “Terlepas dari….”
Kata-katanya terhenti.
Kami melihat ke sekeliling kami. Di balik batas pengaman wilayah pesta malam itu, anggota militer tampak berkerumun di bawah cahaya yang remang-remang. Beberapa orang asik menikmati beat-beat musik malam itu. Sepasang penduduk setempat mulai bergabung dan membagi-bagikan Vodka. Temperatur anjlok hingga minus 6 celsius, tapi musik yang diputar masih menghentak. Cahaya terpantul ke ruang tamu, dapur dan ruang tidur yang tak akan digunakan lagi.
Sesampai di hotel, saya langsung membasuh sepatu di bawah shower kamar mandi hotel. Malam itu, saya bermimpi menyaksikan anak-anak Pripyat yang cemong dengan debu akibat kebocoran nuklir, asyik menikmati dentuman musik elektronik.
Tom Seymour adan seorang pekerja paruh waktu dari London. Dia bisa diajak ngobrol di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di Amuse—situs seputar travelling bagian dari VICE.com