Life

Mengintip Perjuangan Suku Saami yang Akhirnya Diakui Pemerintah Rusia

Lima orang remaja yang mengenakan seragam tampak mengangkat bendera

Fotografer Natalya Saprunova lahir dan besar di Murmansk, kota di barat laut Rusia yang masih dalam lingkup wilayah Arktik yang dingin. Dia gemar mengabadikan kehidupan sekitar semasa remaja dulu, dan mulai menekuni fotografi digital saat usianya beranjak 19 tahun. Namun, Natalya sempat hiatus beberapa tahun sejak merantau ke Prancis dan mengenyam bangku kuliah di sana.

Belum lama ini dia pulang ke kampung halamannya dengan misi mengangkat potret kehidupan suku Saami (juga dieja Sámi atau Sami) yang tersingkir sejak awal pembentukan Uni Soviet. Sekarang hanya tersisa 1.500 orang Saami di Rusia, dan tinggal 200 orang yang bisa berbahasa Saami. Natalya menyoroti dampak perubahan yang terus berlangsung, serta sikap yang diambil para penduduk asli dalam melestarikan budaya. Perjuangan mereka dapat dilihat dalam buku Saamis Portraits, Saamis, We Used to Live in The Tundra dan Kildin, a Language for Russian Sámis Survivors.

Videos by VICE

Berkat proyek foto Kildin, sang fotografer sukses meraih Marilyn Stafford FotoReportage, ajang penghargaan tahunan yang dikhususkan untuk para fotografer perempuan yang mengangkat isu sosial, lingkungan dan budaya dalam karyanya.

VICE: Apa yang kamu ketahui tentang suku Saami saat masih muda dulu?

Natalya Saprunova: Saya jarang sekali mendengar informasi tentang mereka. Bahkan di museum pun, hanya ada satu ruangan khusus untuk suku Saami. Tapi dulu, saya tidak terlalu memperhatikan keberadaan mereka. Sebaliknya, banyak sekali informasi tentang suku Pomor yang hidup sebagai nelayan di Semenanjung Kola. Saya baru mengetahui tentang budaya suku asli di Semenanjung Kola setelah berkunjung ke danau suci Saami, Seidozero. Dari situlah ketertarikanku pada sejarah dan perayaan Saami muncul.

Perempuan naik papan dayung
Foto: Natalya Saprunova

Apa yang membuatmu memulai proyek ini?

Saya pertama kali pergi ke sana sekitar tahun 2006. Saya kemudian mendapat tawaran dari pemimpin redaksi The Messenger of Murmansk untuk meliput festival Saami di desa Lovozero. Saya liputan setahun sebelum mengambil jurusan Komunikasi dan Jurnalistik di Paris, dan memamerkan hasil jepretannya di festival Visa Pour L’image untuk kategori fotografi amatir. Saya tidak memegang kamera selama delapan tahun, dan baru menggunakannya lagi untuk keperluan proyek dokumenter pada 2016. Rasanya seperti mimpi bisa kembali ke Lovozero pada 2019, kali ini untuk melakukan liputan sungguhan. Tahun lalu, saya mampir ke sana pada bulan Maret, Juni, Juli, Agustus dan November hingga Februari. Saya bertandang ke rumah Uliana selama liburan musim panas, sekaligus mengabadikan perayaan tradisional di sana.

Uliana menjadi fokus seri fotomu. Dari mana kamu mengenalnya?

Saya menghubungi ayah Uliana, Valdimir, untuk keperluan liputan beberapa tahun lalu. Beliau pemandu wisata yang mendampingi saya selama kunjunganku ke Lovozero. Dialah yang memperkenalkanku dengan budaya [suku Saami]. Dari situ, saya berkenalan dengan keluarga besarnya.

Saya sempat memfoto orang tua Valdimir pada 2019, dan melayat ke rumah mereka ketika ibu Valdimir meninggal [Maret lalu]. Valdimir mengizinkanku mendokumentasikan upacara pemakaman ibunya — mereka bahkan memajang foto mendiang hasil jepretanku. Saya bertemu Uliana di sana. Ibu Uliana awalnya agak skeptis denganku, tapi lama-lama saya berhasil memperoleh kepercayaannya.

Seorang anak menyelimuti tubuhnya
Foto: Natalya Saprunova

Bagaimana reaksi orang-orang Saami saat kamu memfoto mereka?

Anak-anak jauh lebih lepas dan alami, tapi saya berhati-hati saat memfoto mereka. Ada kalanya saya takut mengambil foto, seperti saat upacara pemakaman misalnya. Itu pertama kalinya saya memfoto keluarga besar [Valdimir], dan acaranya diadakan di gereja. Saya mengambil foto dengan hati-hati. Mereka mungkin tidak sadar difoto. Saya pasti meminta izin terlebih dulu apabila ingin mengambil foto potret.

Proyek Kildin yang kamu garap menyoroti isu-isu yang dihadapi penduduk Sami, seperti beradaptasi dengan kehidupan modern dan ancaman krisis iklim. Adakah yang menjadi kekhawatiran umum orang-orang yang kamu temui?

Mereka sering membicarakan haknya sebagai suku asli, transmisi bahasa, wawasan tentang aktivitas menggembala rusa, dan transmisi keterampilan. Mereka juga membahas posisi mereka di kawasan Murmansk, pelestarian tanah, masalah ekologi di Semenanjung Kola, konsekuensi pemanasan global bagi kehidupan mereka dan aktivitas menggembala rusa. Mereka lalu mempertanyakan haknya untuk memancing dan berburu di sana. Mereka mengkhawatirkan pariwisata massal, yang menurut mereka kurang tepat dalam menampilkan citra etnografis suku Saami. Sektor pariwisata dianggap tidak menghormati kode visual yang sebenarnya ataupun keaslian ritual mereka.

Perempuan menggembala rusa di padang rumput
Foto: Natalya Saprunova

Seri foto ini berhasil memenangkan penghargaan Marilyn Stafford FotoReportage. Apa artinya kemenangan ini bagimu?

Saya merasa gembira dan terharu. Ini benar-benar pengakuan dan dukungan yang luar biasa. Banyak yang saya lakukan untuk mewujudkan liputan ini, sehingga penghargaan ini memberi kekuatan tambahan untuk terus melanjutkannya. Sekarang saya bisa menunjukkan kisah mereka kepada lebih banyak orang. Suku Saami dan masalah yang mereka hadapi sangat penting untuk diangkat.

Lelaki membaca buku di dalam ruangan yang sudah lapuk
Foto: Natalya Saprunova
Dua orang anak bermain di halte bus
Foto: Natalya Saprunova
Nelayan duduk dikelilingi ikan hasil tangkapannya
Foto: Natalya Saprunova
Perempuan lanjut usia menaruh bunga di kuburan
Foto: Natalya Saprunova
Perempuan mengerjakan kerajinan tekstil
Foto: Natalya Saprunova
Tiga orang gadis remaja minum soda
Foto: Natalya Saprunova
Laki-laki membaca buku di studio musik
Foto: Natalya Saprunova

@zoemaywhitfield