Mengulik Seksualitas Lelaki di Tengah Peperangan, Melalui Foto-Foto Tim Hetherington

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US

Pada 20 April 2011, dua bulan sejak dimulainya Perang Saudara di Libya, jurnalis foto Inggris Tim Hetherington menempel pasukan pemberontak di Kota Misrata untuk liputan. Dalam momen tersebut, tragedi terjadi. Pasukan loyalis Muammar Gaddafi menyergap peleton yang diikuti Hetherington. Serbuan mendadak tadi menewaskan fotografer Chris Hondros dan membuat jurnalis perang lainnya, Guy Martin, luka parah. Hetherington turut terluka akibat terkena proyektil peluru. Dia sempat diselamatkan dari serangan tersebut, tetapi akhirnya tewas di rumah sakit daruat akibat kehilangan banyak darah.

Videos by VICE

Hetherington membenci kekerasan. Tetapi dia memutuskan bergabung menjadi jurnalis perang, meliput konflik di Liberia, Afghanistan, dan akhirnya Libya, untuk memahami mengapa perang harus terjadi. Ketika dia ditugaskan di Afghanistan untuk proyek fotografi Majalah Vanity Fair (berkat seri foto tersebut, Hetherington memenangkan penghargaan World Press Photo of the Year pada 2007), dia memahami perang sebagai simbolisasi fungsi seksualitas lelaki.

Ein Soldat auf Patrouille im Korengal Tal in Afghanistan
Bersama pasukan internasional yang patroli di Obi Nauw, Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil April 2008 © Tim Hetherington

Hetherington mendapat ilham soal simbolisasi tersebut, berkat kumpulan seri fotografi yang dia beri judul “The Garden of Eden.” Foto-foto tersebut memperlihatkan tentara Amerika yang sedang berkumpul di bermacam lokasi perang, tapi dalam suasana tenang. Dia yakin kebosananatas konflik yang terus berlangsung dan ancaman kematian yang tidak terelakkan membuat para tentara bebas mengungkapkan kasih sayang terhadap satu sama lain tanpa takut dicela. Dia memandang maskulinitas seorang prajurit tidak bisa melulu digambarkan dengan sikap heroik, dramatis, atau aksinya dalam peperangan. Maskulinitas pria bisa pula ditampilkan saat tentara-tentara tersebut sedang bercengkrama akrab dengan sesama rekan di medan tempur.

Stephen Mayes adalah teman lama Hetherington di dunia kewartawanan; dia sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Tim Hetherington. Untuk memperingati tujuh tahun kematian Hetherington, VICE mewawancarai Mayes. Kami membahas bagaimana ceritanya sampai Hetherington mengubah pandangan tentang perang. Mayes sekaligus menceritakan percakapan terakhirnya bersama Hetherington, ketika sang fotografer itu membagikan kisahnya selama merekam bermacam momen peperangan.

Ein Medic behandelt einen US-Soldaten, der in Afghanistan von Taliban verwundet wurde
Prajurit medis “Doc” Old sedang menjahit luka sersan Gutierrez yang cedera akibat serangan mendadak Taliban dekat markas ‘Restrepo’. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil 17 September 2007 © Tim Hetherington

VICE: Halo Mayes. Menurutmu, apa sih visi Tim Hetherington sebagai seorang jurnalis foto?
Mayes: Saya pertama kali bertemu Tim saat dia kuliah jurusan jurnalisme foto di Cardiff University, Wales. Dia sudah sangat mendalami fotografi sejak lulus pada 1997. Satu hal yang paling sering kami bahas yaitu apa yang ingin kami lakukan dengan kemampuan ini.

Tim tidak pernah menganggap dirinya sebagai fotografer. Dia akan pakai media apa saja untuk menyampaikan maksud karyanya: majalah, pameran galeri, pertunjukkan multimedia, buku, film, dan publisitas lainnya. Dalam karyanya, dia mementingkan misi hidup bukan fotografi.

Saya pertama kali dengar Tim membicarakan peperangan dan seksualitas pria pada 2003. Dia melakukannya bertahun-tahun dengan bergabung bersama pasukan pemberontak di Liberia. Kondisi saat itu sangat brutal. Dia bisa bertahan hidup karena memiliki tujuan di sana. Foto-fotonya pun diambil secara mendadak. Saat dia sedang tidak ikut perang, dia menceritakan apa saja yang tidak bisa dia potret. Dia penasaran kenapa orang melakukan peperangan.

Ein US-Soldat küsst einen anderen beim Raufen im Korengal Tal, Afghanistan
Praka Bobby mencium rekannya Praka Cortez, di tengah latih tanding yang digelar peleton dua markas Korengal. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil Juni 2008. © Tim Hetherington

Menurutmu sebagai fotografer, apa yang ternyata dia temukan selama merekam perang?
Seksualitas pria bisa menjadi faktor kenapa konflik terus berlangsung. Masalah terbesar pria adalah mereka sulit mengungkapkan perasaannya. Kita pun selalu berpikiran seperti itu karena mereka tidak pernah mencoba merenungkan atau memahami mengapa bisa seperti itu. Akhirnya mereka terjebak dalam keterbatasan dan memilih konflik sebagai jalan keluar.

Alasan kenapa konflik menarik adalah karena dalam konflik laki-laki bisa mengekspresikan diri. Dalam konflik, laki-laki bisa menjadi manusia seutuhnya di lingkungan yang justru sangat tidak manusiawi. Di sana pula, pria bisa merasa mengenal dirinya sendiri dan orang lain di sekitarnya, hal yang sepertinya susah mereka lakukan setelah pulang dari perang. Tim mencari apa yang sebenarnya mencegah kaum pria bersikap lebih ekspresif.

Ein Granatengurt von US-Soldaten in Afghanistan
Kalung granat yang dikumpulkan iseng oleh para prajurit. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil 16 September 2007 © Tim Hetherington

Lalu kenapa dia sempat menyebut konflik sebagai problem yang sangat “laki-laki?”
Dalam obrolan terakhir kami, Tim bicara tentang alasannya memotret apa yang terjadi di garis depan peperangan, alih-alih para korban di kamp pengungsi. Dia merasa alasannya cukup emosional, yakni karena dirinya adalah seorang laki-laki. Dia tak akan merasa puas jika hanya berkeliaran di kamp pengungsi, karena dia sama laki-lakinya seperti mereka yang bertempur di garis depan pertempuran.

Tim sendiri berjuang keras memahami apa yang membuatnya tertarik meliput perang. Ini tak segampang bilang kalau ini semua ada hubungannya dengan teritori, bayaran yang besar atau semacamnya. Bagi Tim, laki-laki menyimpan kebutuhan untuk selalu mencari konflik. Namun, dalam kesehariannya, Tim adalah pribadi yang damai. Dia bukan seseorang yang mencari-cari masalah dalam kehidupan sehari-hari, tapi dirinya selalu tertarik degan perang. Sebagian sih karena Tim menganggap perang sebagai sebuah petualangan. Lalu ada juga perkara cinta. Tim menemukan sebentuk rasa cinta yang hanya bisa diekspresikan saat perang.

Ketika saya bilang Tim benar-benar melakoni apa yang dia yakini, dia benar-benar melakukannya. Saat ikut patroli dengan tentara Afganistan, lengan tim patah dan dia tak mengizinkan para tentara itu menolongnya. Dia nebeng kendaraan lewat selama dua hari, sambil menggandul tas melewati daerah pegunungan untuk mencari pertolongan. Tim adalah seorang lelaki dan dari pengalamannya itu, dia sadar bahwa prajurit hanyalah perangkat lunak dalam peperangan.

Ein US-Sergeant schläft oberkörperfrei im Korengal Tal in Afghanistan
Sersan Elliot Alcantara, Peleton dua dari satuan tempur 173rd Airborne. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil Juni 2008. © Tim Hetherington

Menurutmu, apa alasan pengalaman Tim di Afghanistan menjadi titik tolak karirnya sebagai fotografer ataupun jurnalis perang?
Ketika Tim dapat nominasi Oscar untuk dokumenter Restrepo pada 2011, dia sudah sampai di titik di mana dirinya sudah cukup dikenal di kalangan penyuka fotografi. Dia juga sudah tahu apa yang ingin dia katakan tentang seksualitas pria dan konflik lewat foto-fotonya. Seri foto Sleeping Soldiers, karyanya yang dimuat Vanity Fair, adalah percobaan pertamanya menggarap tema semacam itu.

Sleeping Soldiers menurut saya lebih menyerupai meditasi, bukan karya foto jurnalisme. Kalau kamu bisa berhenti melihat apa yang kamu ingin lihat dan mulai memikirkan apa yang mungkin kamu lihat, karya Tim akan membawamu ke posisi yang berbeda.

Tim tidur di kamp pengungsi selama beberapa bulan. Dia bilang tak ada yang terjadi, kecuali tiap malam mereka mendengar bunyi ledakan. Ketika dia akhirnya memotret para tentara becanda dengan satu sama lain di barak, prajurit yang dia ikuti tak terkejut. Yang mengejutkan justru saat dia mengambil kameranya memotret para tentara yang terlelap tidur. Itu pendekatan fotografi perang yang tidak biasa.

Tim pernah bilang pada saya, kalau “karya saya yang satu ini lebih tentang sifat pasif. Ini tentang mengada.” Tanpa seragam perangnya, para tentara itu benar-benar menjadi sosok lelaki yang berbeda. Tim menjelaskan tentara Amerika itu sama saja seperti merek dagang terkenal, tak jauh beda dengan Coca Cola. Para tentara AS senantiasa menjalankan tugas sebagai merek dagang, sampai akhirnya mereka melepas seragamnya. Setelah telanjang, seketika itu pula mereka kembali menjadi manusia. Pilihan estetik Tim memotret para pria tidur setengah telanjang di tengah konflik yang terus berkecamuk di Afghanistan mengingatkan orang pada dualisme agresi maupun rentannya kemanusiaan.

Ein US-Soldat schläft zugedeckt im Korengal Tal in Afghanistan
Praka Ross Murphy, Peleton Dua, Satuan Tempur 173rd Airborne. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil Juli 2008. © Tim Hetherington

Kamu menyebut Sleeping Soldiers bukan jurnalisme foto—argumenmu menarik. Foto-foto seperti apa sih akhirnya yang pas dianggap “jurnalisme foto”?
Pada intinya, kerja jurnalisme adalah proses pengecualian. Misalnya, kalau kamu sedang memotret kelaparan di sebuah desa terpencil, kamu enggak akan menunjukkan orang-orang yang masih bisa ke warung membeli makanan, meski ada sebagian dari mereka yang melakukannya. Adanya orang yang masih bisa makan, padahal cerita utamanya adalah kelaparan, tentu saja kontradiktif. Jurnalisme foto tidak akan pernah bisa utuh menangkap peristiwa. Jurnalisme foto memotret satu individu atau skenario, untuk mewakili permasalahan yang lebih besar.

Ide-ide jurnalisme foto macam ini klise tapi memiliki fungsi, supaya fotografer bisa efisien mengungkapkan ide-ide secara cepat. Misalnya, kalau kamu melihat sebuah foto sampul, kamu langsung tahu foto itu bercerita tentang apa, meski kamu belum membacanya. Bisa jadi ini soal perang, kemiskinan, atau wabah. Jurnalisme foto adalah soal memenuhi ekspektasi soal apa yang kamu ingin lihat sebagai wartawan. Media bukan bagian dari bisnis informasi, melainkan bisnis pengakuan dan tafsir tentang kenyataan kita sehari-hari.

Seorang prajurit dari peleton dua beristirahat sejenak setelah terlibat baku tembak melawan Taliban. Markas tempatnya rehat itu dinamai ‘Restrepo’, didasarkan pada sosok tentara medis Juan Restrepo yang tewas akibat serangan musuh pada Juli 2007. Lembah Korengal, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil 16 September 2007 © Tim Hetherington

Apa saja sih ciri-ciri jurnalisme perang, dan bagaimana Tim melampauinya?
Ciri-cirinyanya adalah adanya gambar soal hardware: seragam, peralatan, dan senjata. Tim ingin membahas software-nya: manusia yang terpaksa berperang. Dia ingin menunjukkan orang-orang yang sama, yangberada dalam konflik, namun tanpa peralatan tempurnya, atau tetap dengan peralatan mereka namun diletakkan sedemikian rupa sehingga menunjukkan betapa sepitnya jurnalisme perang konvensional selama ini. Misinya bukan untuk memaparkan jurnalis. Tim mencoba memperluas yang sudah dikerjakan. Dia ingin membicarakan soal hal-hal yang tak bisa dikatakan di tempat-tempat yang tak ingin mendengarnya.

Ein US-Soldat schläft oberkörperfrei im Korengal Tal in Afghanistan
Prajurit khusus Steve Kim, Satuan Tempur 173rd Airborne. Lembah Korengal Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil Juni 2008. © Tim Hetherington

Masih ingatkah kamu sama momen titik balik yang membuat Tim ingin memotret perang secara berbeda?
Saya mengingatnya dengan jelas, ketika dia berjalan masuk ke ruangan kerja saya. Dia tak berkata apa-apa. Dia hanya mengeluarkan lembaran berisi karya-karya di Afghanistan dan bertanya pendapat saya soal foto-fotonya. Ada yang saya amati dari jepretannya melampaui fotografi perang konvensional. Dia memotret para serdadu bercanda dan bermain-main, memainkan pentil satu sama lain, melakukan kontak fisik tanpa pakaian. Itu semua tidak erotis atau seksual, tapi di waktu bersamaan situasi macam itu mengizinkan tentara mengeluarkan kebebasan berekspresi. Inilah yang dia coba sampaikan: foto perang yang semacam ini tampak berbeda.

Ketika kemudian seri foto Sleeping Soldiers terbit, Tim menyajikan secara matang konsep yang dia inginkan. Dia akhirnya memenangkan penghargaan World Press Photo of the Year tahun itu, karena tak ada lagi yang perlu disampaikan. Tim mengenali semua subyek fotonya, sehingga dia bisa secara jujur menampilkan estetikanya sendiri.

Itulah mengapa seri foto lain bertajuk “The Garden of Eden” menjadi salah satu yang terpenting sepanjang karirnya. Karena cara kerjanya berbeda dari Sleeping Soldiers. Untuk Eden, Tim belum tahu apa sebenarnya yang hendak dia potret. Benang merahnya baru terlihat saat dia memandangi semua foto tersebut. Dia menyadari bahwa yang terpenting bagi sebagian besar prajurit di sana bukanlah pertempuran—melainkan saat cuaca sedang panas dan ada kesempatan untuk berinteraksi dan bermain dengan satu sama lain.

Soldaten füllen Sandsäcke für die Bunkerverstärkung in Afghanistan
Para prajurit dari peleton dua bekerja bakti menggali tanah untuk menyiapkan bunker menahan serangan musuh. Lembah Korengal Valley, Provinsi Kunar, Afghanistan. Foto diambil Juni 2008. © Tim Hetherington

Menurutmu, bisakah karya foto Tim membantu kita menyadari pentingnya memahami seksualitas laki-laki?
Di setiap seri fotonya, Tim selalu mencoba memaparkan kebenaran. Kebenaran soal perang bukanlah adegan laki-laki membawa senjata. Kebenarannya soal hal-hal yang lebih mendalam. Tim ingin membahas isu yang kompleks seperti perang, melalui cara-cara yang menantang. Tapi caranya bukan sekadar mengingatkan laki-laki kalau mereka itu punya seksualitas. Kalau seperti itu, tiap lelaki pasti reaksinya sama, mereka akan defensi. Makanya foto-foto tersebut, menurut Tim, harus intim. Sebaiknya mencakup sisi dalam laki-laki: pengakuan.

Tim merasakan sesuatu dari para prajurit di garis depan. Dia ingin tahu mengapa orang-orang tak menyadarinya. Dan tentunya kita menyadarinya; hanya saja, kita tak membicarakannya. Atau, kita menghindari topik seksualitas para prajurit. Itulah yang coba dia ungkapkan. Dia tak sedang mencoba membuat orang merasa tak nyaman. Sebaliknya. Tim ingin orang-orang merasa nyaman dengan kehidupan mereka, sekalipun itu di tengah perang. Kita semua seharusnya membicarakan soal seksualitas dan maskulintas lelaki, serta dampaknya terhadap peradaban modern.

Follow Miss Rosen di Instagram.