Begitu banyak kesalahan di akun Twitter Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, sepanjang libur panjang kemerdekaan. Pertama, Minggu kemarin (16/8), bapak yang rambutnya sering saya kira wig itu membagikan tautan sebelas film bertema perjuangan lewat Twitter. Masalahnya, berbagai tautan itu mengarah ke situs streaming film ilegal.
Kesebelas film itu adalah Pedjuang (Usmar Ismail, 1961), Enam Djam di Jogja (Usmar Ismail, 1951), Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1982), Pasukan Berani Mati (Imam Tantowi, 1982), Tjoet Nja’ Dhien (Eros Djarot, 1988), Sang Pencerah (Hanung Bramantyo, 2010), Ketika Bung di Ende (Viva Westi, 2013), Sang Kiai (Rako Prijanto, 2013), Kartini (Hanung Bramantyo, 2017), dan Senja Merah di Magelang (Gepeng Nugroho, 2017).
Videos by VICE
Sepasti hukum gravitasi, twit ini langsung dirundung netizen. Tjahjo kemudian menghapusnya, tapi keburu ketahuan sutradara Joko Anwar yang jadi keki berat. Saking sebelnya, Joko sampai membangkitkan kembali thread lamanya soal dampak kejahatan pembajakan pada industri film.
Kedua, sehari kemudian Tjahjo membuat twit permintaan maaf. Dari segi redaksional, twit ini membingungkan. Apa deh maksudnya dapat link dari WhatsApp, terus dibagikan ke grup lewat (((Twitts))). Selain itu, redaksionalnya juga keliru banget dengan bilang, “mohon maaf kalau saya salah.” Apanya yang kalau, kan emang udah salah?
Tapi blunder gedenya bukan di situ. Twit ini bisa dipuji cukup ksatria, tapi kok ditujukan ke Joko Anwar yang Tjahjo sebut sebagai “sutradara film perjuangan”? Ditambah embel-embel “Kalau saya harus membayar karena saya berbagi, saya siap semampu saya,” dugaan kerasnya: Tjahjo mengira Joko adalah sutradara salah satu film bajakan yang ia sebar. Hanung Bramantyo akan menangis membaca ini.
Kepada wartawan, Senin kemarin Tjahjo Kumolo menjelaskan motifnya membagikan bajakan sebelas film itu. “Link yang diterimanya dikira hanya cuplikan dan tidak dicek detailnya, karena suasana kemerdekaan ri, saya spontan saja bagi link film bagus tentang kemerdekaan ri,” jawab Tjahjo lewat pesan singkat yang dikutip-tanpa-edit oleh Antara.
Warganet lain jangan melontarkan pertanyaan sepolos @ramayanti81, seorang “profesional, psikologi, penulis, novelis” yang nge-reply twit Tjahjo dengan nada heran, “Lho kok bisa? Dimana letak pelanggarannya? Tolong dijelaskan oleh yg bisa menjelaskan, agar kita semua tidak keliru dan melakukan kesalahan”. Aduh….
Sekali search, mudah kok untuk menemukan UU 28/2014 tentang yang menegaskan, sinematografi adalah karya intelektual yang dilindungi hak ciptanya.
Kalau Anda berjiwa pemaaf, insiden ini boleh banget dianggap khilaf sepele. Ya siapa tahu, Tjahjo kelamaan sibuk mengemban seabrek jabatan yang doi sebut di bio Twitter, sampai lupa aturan undang-undang.
Tapi misal jiwa konspiratif lebih menguasai diri Anda, ada peluang menganggap twit kontroversial itu sebagai usaha Tjahjo me-rebranding akunnya yang kebanyakan nge-share link berita dan foto. Kalau ternyata ia ingin mengikuti jejak SBY jadi selebtwit yang twit-twitnya sampai dibikinin lagu emo, who knows kan?
Habis, kalau mau marah pun, blunder Tjahjo dan SBY di Twitter masih belum bisa kok menandingi eks Menkominfo Tifatul “Internet Cepat” Sembiring. Fatal sekaligus ironis, Tifatul pernah dituding follow akun porno (2014) dan menyebar kutipan Adolf Hitler (2010).
Ngomong-ngomong, daftar kesalahan Menteri Tjahjo versi saya belum selesai. Kesalahan ketiga, bahasa Indonesia doi kacau abis. Tak jelas kenapa ia memakai banyak tanda setrip di twit untuk Joko Anwar itu. Ketika saya melacak twit lamanya, bahasa Indonesia Tjahjo emang menyedihkan.
Sudahlah, Pak, mending pensiun medsos. Sebaiknya fokus saja memperbaiki kinerja aparatur negara, agar tidak melulu disandingkan dengan meme hobi main Zuma dan Onet.