Saya agak malu mengakui kalau saya menderita semacam kecemasan menunggu balasan SMS/chat. Salah satu alasan utamanya adalah karena kecemasan macam ini memiliki istilah klinis yang kedengaran kurang asoy, textiety dan textaphrenia. Tapi, pada kenyataannya saya bisa berbulan-bulan dihantui kecemasan, memandangi layar telepon saya sampai chat/SMS yang tunggu-tunggu masuk ke ponsel.
Sejak budaya mengirim pesan teks masuk ke dalam kehidupan kita—resminya sih 25 tahun lalu, tapi bagi mayoritas dari kita, hal itu terjadi beberapa tahun kemudian dan membuat cara kita berkomunikasi berubah drastis. Atasanmu di kantor bisa menghubungi kamu jauh setelah jam kerja lewat. Ibumu bisa mengirim pesan Whatsapp ketika kamu sedang naik motor bersama orang asing yang baru kamu kenal di negara yang baru saja kamu kunjungi (tak direkomendasikan sama sekali). Kamu juga bisa ribut dengan pacar kamu lewat Whatsapp pas kamu sedang rapat di kantor (sama sekali tidak direkomendasikan).
Videos by VICE
Kebiasaan mengirim pesan teks/chat dapat sangat membantu dan esensial, sekaligus menimbulkan stres. Kendati tak ada data pasti yang menggambarkan sebanyak apa yang mengalami kecemasan menanti balasan SMS/Chat, seperlima penduduk Amerika Serikat yang ikut serta dalam sebuah penelitian yang digelar oleh American Psychological Association mengasosiasikan ponsel mereka dengan stres. Dan riset lainnya, seperti yang dimuat penelitian ini di Health Educator menambah daftar panjang dokumentasi imbas buruk secara fisik, sosial dan emosional dari kebiasaan mengirim pesan teks.
Sebagian imbas buruk yang disebut di atas pada dasarnya memang sudah inheren dalam mekanisme pesan teks bekerja dan ketidakpastian balasan pesan kita masuk ke ponsel. “Ada terlalu banyak kemungkinan dan datangnya balasan terlalu susah dikontrol,” ujar Natasha Schull, dosen mata kuliah media dan budaya di New York University. “Kamu tak akan bisa beristirahat dengan tenang karena kamu sudah melakukan sesuatu di dunia nyata dan kamu belum mendapatkan feedback. Kamu pasti akan sangat kalut.”
Akan tetapi, semuanya tergantung siapa yang kamu chat. Kita biasanya santai-santai saja kalau teman atau sahabat belum membalas. Menurut Schull, seseorang merasa jauh lebih cemas kalau sedang menunggu pesan dari pasangan, anak atau calon perekrut. Saat cemas, kamu bisa saja berkeringat dingin, jantung berdebar, atau memikirkan yang aneh-aneh. Dalam hal online dating, tingkat kecemasanmu bisa meningkat kalau gebetan melakukan ghosting alias tiba-tiba menghilang bagaikan ditelan bumi.
SMS dan chat juga bisa menyebabkan miskomunikasi. Sebagian besar komunikasi kita terjadi secara non-verbal—melalui bahasa tubuh, nada bicara dan perasaan. Ini sulit diungkapkan lewat SMS atau chat, dan bisa menyebabkan kesalahpahaman yang signifikan (penggunaan titik di akhir kalimat bisa jadi masalah).
Para dokter ahli kesehatan mental mulai menyadari kalau banyak orang yang mengalami cemas karena SMS. Kondisi ini menjadi bahan penelitian baru dan penanganannya sama dengan kecanduan perangkat seluler dan komunikasi di internet. Karena SMS dan media sosial, hidup pengidap depresi dan kecemasan bisa jauh lebih sulit, ujar Nicholas Carson, seorang psikiater anak dan remaja sekaligus peneliti di Cambridge Health Alliance di Boston.
“SMS dan media sosial memang bisa menghubungkan kita dengan teman dan keluarga, tapi bisa menyebabkan kecanduan,” ujar Carson. Bentuk kecanduannya bisa beragam, mulai dari sulit tidur, mudah marah, mengancam hubungan sampai kecemasan sosial yang meningkat.
Sayangnya, para ahli masih mencari solusi yang tepat dalam menangani rasa cemas karena menunggu balasan SMS atau chat. Mereka bisa saja menggunakan metode yang sama dalam menangani gangguan kecemasan—seperti terapi perilaku kognitif (CBT), SSRI dan psikoterapi. Namun, dalam menangani masalah kesehatan yang berhubungan dengan perangkat seluler, Carson mengatakan bahwa terapi paling tepat yaitu dengan mengurangi pemakaian ponsel dan mengubah konfigurasi aplikasi dan pemberitahuan di ponsel.
Bukan hanya tenaga medis profesional yang menyadari bahwa kita perlu menilai ulang kebiasaan kita menggunakan ponsel, untuk menyesuaikan dengan fenomena yang cenderung baru ini: Organisasi-organisasi seperti Center for Humane Technology ada untuk tujuan ini.
Program ini, yang digagas oleh mantan karyawan Google, Tristan Harris, merekomendasikan cara-cara chatting yang terlalu bikin stres. Mengirimkan audio notes alih-alih chat, misalnya, bisa membantu miskomunikasi yang terjadi saat kamu enggak bisa membaca nada seseorang saat chat. Dan menggunakan fitur reaksi yang tepat (emoji, misalnya) bisa membantu membuat respon emosional saat chatting.
Bagi saya, salah satu cara mengurangi stres dan kecemasan akibat chatting adalah dengan membuat semacam jadwal: kapan saya bisa memeriksa ponsel saya, dan sebuah kebiasaan terprediksi dengan orang-orang yang biasanya berinteraksi dengan saya sehari-hari. Saya pernah membaca soal pasangan-pasangan, dan keluarga, yang akhirnya menjadwalkan chatting mereka. Memang, kesannya boleh jadi dipaksakan, dan memalukan kalau disebut, tapi hasilnya kita bisa fokus kerja dan berkegiatan alih-alih cemas menunggu jawaban seseorang.
Di dunia kita saat ini, saya rasa penting untuk mengakui bahwa “textiety” benar-benar ada, meski kedengarannya tolol banget.