“Nama saya Muftiningrum, usia 40 tahun. Saya janda punya anak empat dan cucu dua. Saya nyari yang seumuran dan bertanggung jawab,” kata seorang perempuan berkaos putih, ia lalu menyerahkan mic pada perempuan di sebelahnya.
“Nama saya Septi, single, usia 30 tahun. Rumah di daerah Maguwo. Saya mencari calon suami yang umurnya antara 30-35 tahun, punya pekerjaan, tidak merokok, dan harus punya jiwa seni,” perempuan itu terlihat malu-malu, lalu kembali duduk setelah berseloroh memperkenalkan diri. Beberapa lelaki yang semula mencondongkan tubuhnya ke depan pertanda antusias menghela nafas, ada bungkus rokok di saku mereka, artinya tak masuk kriteria.
Videos by VICE
Moderator kemudian memindahkan mic ke seberang ruangan di mana seluruh pria pencari cinta berkumpul. Kini giliran mereka memperkenalkan diri. “Saya Andri, 32 tahun. Kerjaan saya karyawan swasta. Saya single alias belum pernah menikah. Yang saya cari sing penting waras tur wedok (yang penting sehat dan perempuan),” tawa pecah di ruangan, laki-laki yang memakai kemeja hijau dongker itu melanjutkan, “Oh iya, saya enggak mau punya mertua abdi dalem keraton,” ia lalu duduk sebelum terkekeh cengegesan.
“Nama saya Supriyono, usia 34 tahun, saya kerja jadi pemandu wisata. Jadi ratusan orang saja saya antarkan, apalagi kamu,” ia tertawa, puluhan perempuan di hadapannya tersipu-sipu.
Percakapan di atas adalah cukilan-cukilan kalimat introduksi yang seliweran dalam sesi perkenalan, bagian rutin yang selalu ada dalam setiap acara Golek Garwo, ajang cari jodoh nirlaba yang diadakan sebulan sekali di kawasan Bantul, Yogyakarta. Acara itu digelar pada 19 Agustus lalu, dan sesi perkenalan berlangsung selama nyaris tiga jam sejak acara dibuka sekitar pukul 09.00 pagi.
Golek Garwo adalah acara yang diinisiasi oleh Fortais (Forum Ta’aruf Indonesia) dan diadakan pertama kali pada 2011. Dalam bahasa Jawa, Garwo sendiri adalah singkatan dari sigaran nyowo alias belahan jiwa. Selain Golek Garwo, Fortais terlebih dahulu telah mengadakan acara Nikah Bareng sejak 2006 dan masih berlangsung secara berkala hingga saat ini. Panitia mengklaim sudah ada sekitar 7.000 orang jadi alumni acaranya, baik Golek Garwo ataupun nikah bareng.
“Asal mulanya memang karena pengalaman pribadi, saya merasakan betapa sulitnya mencari pasangan hidup. Jadi biar saya saja yang merasakan penderitaan itu, lainnya enggak usah,” ujar Ryan Budi Nuryanto, ketua Fortais dan pencetus acara ini. Tak hanya sebagai pencetus, Ryan juga merupakan alumni Nikah Bareng tahun 2008. Ia dan istrinya bertemu seminggu sebelum acara nikah bareng dan memantapkan niat untuk taaruf.
Di salah satu ruang kantor kecamatan Bantul yang berukuran 5×10 meter itu, sekitar 70 orang duduk dalam dua kelompok yang berhadapan. Perempuan di sisi selatan, dan laki-laki di seberangnya. Pada tiap pertemuan, setelah semua selesai memperkenalkan diri, peserta diberi kesempatan untuk saling bertanya dan menjajaki pencari cinta yang menarik hatinya. Jika malu bertanya langsung, peserta bisa menitipkan pertanyaan pada moderator. Saat istirahat atau selepas acara pun mereka bebas berinteraksi.
Pagi itu, Ryan terlihat enerjik memandu acara. Ia memberikan motivasi cinta yang menggebu-gebu. Sementara pengurus lain sibuk membagikan data, snack, juga melayani peserta yang baru mendaftar di tempat. Dalam motivasinya, Ryan mengajak para pencari cinta untuk tidak putus asa karena urusan jodoh. “Enggak usah jaim-jaim nyari jodoh, pasangan hidup itu kan kebutuhan,” ujarnya berusaha mencairkan suasana. Ia kemudian memimpin yel-yel Golek Garwo yang berbunyi “Fortais, Yes, Dapat, Lamar, Nikah!” yang lalu diteriakkan kompak oleh peserta.
Para pencari cinta di Golek Garwo memang berorientasi menikah, dan panitia mendorong serta memfasilitasinya tanpa meminta biaya sepeserpun. Panitia hanya meminta iuran sebesar Rp20 ribu per orang, sebagai imbalan, peserta mendapat makanan ringan serta berlembar-lembar kertas fotokopi berisikan data dan kontak pribadi setiap peserta. Pada saat acara berlangsung, seluruh peserta mengenakan nametag berupa kertas warna pink dengan tulisan “Saya siap menikah” untuk menegaskan motivasi mereka ikut acara itu.
Hari itu Ulis, gadis berjilbab berusia 26 tahun, jadi primadona. Para lelaki pencari cinta hobi sekali berkerumun di dekatnya. Saking banyaknya lelaki mencoba mendekati, ia terpaksa menunda kepulangannya karena selepas acara usai, beberapa pria lekas-lekas menghampirinya di depan gedung untuk mengajak ngobrol.
“Mbak Ulis beneran enggak apa-apa kalau sama duda?”; “Mbak boleh minta nomer HP-nya? Nanti kalau ada apa-apa supaya bisa kontakan”; “Mbak Ulis alamat rumahnya tepatnya yang mana ya?”; semua itu adalah pertanyaan beruntun dari sekitar tiga lelaki yang mengerubunginya. Tiap pertanyaan ia jawab dengan sabar.
Sementara satu laki-laki ngobrol, laki-laki lainnya menunggu kesempatan dengan muka sedikit masam. Beberapa lain berdiri agak jauh namun juga terlihat mencuri dengar. Meski tak terang-terangan, saya merasakan hawa persaingan di antara para pencari cinta tersebut, apalagi jika sudah berada di luar forum seperti saat istirahat atau seusai acara seperti itu.
Meski usianya masih muda dan punya pekerjaan mapan, Ulis mantap ingin segera menikah. “Usia 26 kan sudah matang banget ya untuk wanita. Bapak ibu juga sudah nanyain. Aku sih nyari maksimal umur 40, punya pekerjaan yang nggak memalukan, duda enggak apa-apa nanti bisa kami rawat bareng anaknya,” ujarnya tersipu. Seperti anak muda umumnya, Ulis juga mengaku menggunakan Tinder dan aplikasi kencan lain untuk mencari jodoh, namun sejauh ini tak ada hasil. “Golek Garwo lebih nyata daripada Tinder,” ujarnya.
Diwawancara di sela-sela acara, Ulis mengaku sebenarnya ia malu dan tak mau orang lain sampai Tahu ia ikut Golek Garwo. “Kalau dibilang malu, ya malu banget. Kelihatannya kayak nggak laku banget sih,” kata Ulis. Tapi ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa makin lama ia makin susah meluangkan waktu untuk mencari-cari jodoh. Kesempatan bertemu dengan lawan jenis yang pas selera pun tak sebanyak dulu. “Karena aku emang sibuk, waktunya minim banget, kerja pulang capek tidur. Sabtu minggu saya pakai untuk istirahat,” curhatnya.
Meski BPS pernah mengadakan survei yang mengatakan bahwa lajang di Indonesia punya tingkat kebahagiaan yang tinggi, status ‘jomblo’ telah teramplifikasi di budaya populer dengan konotasi negatif dan mengandung sifat ejekan. Sebutan “tidak laku” untuk para lajang juga seolah berarti ada yang salah dengan seseorang tersebut. Anehnya, semakin usaha mencari jodoh itu diperlihatkan, semakin parah juga stereotip “tidak laku” disematkan. Lingkaran ini membuat mereka yang memang kesulitan mencari pasangan hidup terjebak dalam belenggu kesepian dan gengsi.
Nur Hidayati, perempuan pensiunan BUMN ternama dari Jakarta yang baru saja pindah ke Yogyakarta merasakan betul stereotip itu. “Sebenarnya saya malu sampai harus ikut acara ini, tapi gimana ya. Yang penting jangan sampai teman-teman kerja di Jakarta pada tahu,” kata perempuan yang tak mau nama aslinya ditulis media itu. Ia mengaku didaftarkan oleh adik iparnya yang prihatin melihatnya masih melajang hingga usia kepala lima. Ini adalah kali kedua ia datang ke Golek Garwo. Ia tak muluk, yang ia cari adalah laki-laki yang sudah dewasa dan mau menghabiskan masa tuanya dengan damai di Yogyakarta.
Tonton dokumenter VICE mengenai mahalnya biaya menikah secara adat di Sumba, sampai-sampai jomblo pilih kabur ke lain pulau:
Menanggapi reaksi malu-malu cari jodoh tersebut, Ryan mengingatkan mereka bahwa saat ini orang harusnya terbuka soal jodoh. “Minta yang perfect padahal belum tentu dia perfect juga. Minta yang sholeh-sholehah, PNS, punya rumah, punya ini-itu, harfiah banget. Padahal kan ada yang nggak bisa dinilai secara fisik, kayak kejujuran, setia, tanggung jawab. Konsep jodoh kan harusnya saling mengisi, take and give gitu lho,” ujarnya gemas.
Sebagaimana Tinder atau aplikasi pencari jodoh lainnya, tak semua pertemuan membuahkan hasil pasti. Memang ada yang kemudian berlanjut di telepon dan kopi darat di tempat lain, ada yang tidak cocok lalu putus komunikasi. Hanya saja, yang membedakannya dengan tinder, Golek Garwo berlangsung tanpa internet dan benar-benar spontan. Kamu tak bisa pura-pura mengetik “LOL” padahal lelucon match-mu garing sekali.
Bukan kebetulan jika hari itu, seorang alumni perempuan Golek Garwo datang bukan untuk mencari pasangan, tapi untuk berpamitan. Ia maju ke tengah ruangan lalu menyampaikan terima kasih, dan menceritakan kisah cintanya yang terjalin berkat Golek Garwo.
“Saya itu udah nolak dia dua kali, tapi dia datang terus ke rumah saya. Akhirnya saya luluh juga, ya namanya jodoh ya,” ia bercerita sambil tersipu. Tepuk tangan dari para hadiri segera menyusul membahana di sekujur ruangan. Setelah keriuhan mereda, satu laki-laki berkumis kemudian nyeletuk, “Ha kae jare ra gelem mbak?” (Lha dulu katanya nggak mau Mbak?).
Ternyata ia dulu sempat mendekati perempuan yang sedang berbicara di depan tersebut namun ditolak.
Acara Golek Garwo seperti ini memang di satu sisi seperti memperlihatkan keputusasaan mereka yang kesepian. Tapi bukankah saat ini kesepian adalah masalah yang diam-diam disimpan banyak orang hanya karena tidak mau terlihat menyedihkan. Golek Garwo adalah usaha praktikal untuk mengisi lubang-lubang di jiwa-jiwa modern yang kian kering tersebut. Golek Garwo ingin memunculkan kembali cinta di hati mereka.
“Kalau orang Jawa bilang kan tresno jalaran soko kulino (cinta datang karena terbiasa) itu biasa, kalau di Golek Garwo tresno jalaran soko upoyo (cinta datang karena berusaha) ,” kata Ryan.