Ketika Danu tiba, tanah lapang tak lebih lebar dari lapangan bola di pinggir sawah desa Kalicupak, Banyumas, Jawa Tengah itu sudah sesak. Ratusan manusia lain berjejal mengerubungi sebuah terop yang memayungi kelompok gamelan. Mereka memainkan tembang jawa yang mengalun nyaring memenuhi udara.
Debu membumbung dari tanah yang diinjak ratusan sandal jepit, menempel di es tebu, wajan sempol goreng, rambut yang dicat oranye, juga riasan tebal para penari yang berada di tengah lapangan. Danu mencoba menerobos kerumunan. Remaja 16 tahun itu akhirnya berada di titik pusat pentas Ebeg Banyumas sore itu.
Videos by VICE
Mendekati pukul tiga, 12 penari di tengah lapangan meletakkan kuda lumpingnya dan membentuk lingkaran. Bau menyan menguar menggantikan penguk keringat. Seorang penimbul membakar mancung kelapa lalu mencambukkan pecut yang ia genggam ke tanah.
Ctar!! Ctar! Ctar!!
Tiba-tiba tiga penari terpental lalu rubuh ke tanah, lainnya merangkak-rangkak dan mengeluarkan geraman atau mengikik ganjil. Babak Janturan telah dimulai.
Sejurus kemudian Danu merasa tubuhnya kaku, ada geletar yang merambat naik dari kakinya. Matahari tetap terik dan tabuhan kendang makin meriah, sementara penglihatan Danu jadi remang dan di telinganya suara-suara makin lirih menghilang. Gelap.
Di mata orang lain, Danu ambruk ke tanah, merangkak lalu bersungut-sungut maju ke tengah kerumunan. Ia merangsek dengan dua tangan terjulur ke kanan-kiri kaku. Bak penari kawakan, ia lalu melompat-lompat luwes penuh tenaga mengikuti tabuhan kendang. Teman-temannya bersumpah biasanya Danu tak bisa menari seluwes dalam keadaan sadar.
Puluhan penonton lain mengalami hal serupa. Pemuda-pemudi mendadak ambruk, merangkak, menggerung-gerung, mengikik, lalu dengan tatapan kosong berjoget penuh tenaga.
Tak ada wajah panik ketika kekacauan terjadi. Beberapa orang yang masih sadar mengayun-ayunkan tangan lalu menepuk tengkuk atau dengkul teman mereka. Mereka ini sedang membantu mengontrol roh halus di tubuh temannya. Saya melongo di tengah keramaian.
Hak e! Hak e! Hok ya! Hok ya!
Penari dan penonton lebur sudah. Makin seru tabuhan kendang gamelan, makin bertenaga juga tarian penari dan orang-orang ini. Begitu ritme kendang diperlambat, gerakan mereka ikut melemah. “Kalau lagunya lagi alon [lambat], nyong bisa lihat lagi tapi tetep enggak bisa mengontrol tubuh,” kata Danu, saat saya ajak ngobrol setelah kembali sadar.
Yang dialami Danu dan penonton lain oleh warga setempat disebut wuru atau mendem, kita biasa menyebutnya kesurupan. Dalam konteks tradisi mistis Indonesia, umumnya kondisi ini terjadi lantaran ada entitas lain seperti roh halus yang sedang bercokol di raga.
Wuru massal ini adalah isi Babak Janturan di pentas Ebeg. Selain Lengger, Ebeg merupakan kesenian asli Banyumas. Keduanya sama-sama mistis, namun Ebeg lebih interaktif karena melibatkan penari dan penonton dalam satu ruang pesta trance yang meriah. Anak-anak muda ini menyediakan tubuhnya sebagai medium. Umumnya fenomena kesurupan selalu disikapi sebagai hal mistis yang menakutkan, sementara dalam Ebeg kondisi tersebut jadi atraksi meriah yang digandrungi.
Dalam satu video wuru yang viral, tampak sekelompok anak muda tengah wuru dan kompak menari seperti flashmob ala kearifan lokal. VICE menghadiri pesta antar dimensi ini pada 21 Oktober lalu ketika menonton kelompok Gatra Kirana. Kelompok Ebeg dari desa Kalicupak Banyumas ini konon grup dengan bayaran termahal di desanya. Hari itu mereka ditanggap tim sukses Jokowi merayakan pelantikan sebagai presiden periode dua.
Meski mirip, Ebeg berbeda dengan kuda lumping atau jaranan dari Jawa Timur. Embar Wuryanto, pendiri Gatra Kirana menjelaskan bahwa Ebeg Banyumas lebih ‘liar’ dan ‘merakyat’ ketimbang jenis jaranan lain. “Ebeg itu tariannya kasar, kalau jathilan atau jaranan kan gerakannya halus. Kalau Ebeg, asal joget ngikuti kendang aja,” kata Embar dalam logat ngapak kental. “Lainnya kan ceritanya soal Pangeran Diponegoro, kalau Ebeg soal Prabu Kelono Sewandono dari tlatah Wetan.”
Awalnya kelompok Gatra Kirana berdiri pada 1999 sebagai orkes campursari. Sepinya job membuat Embar banting setir menggarap seni Ebeg mulai 2008. Sejak itu, Gatra Kirana minimal tampil empat kali sebulan, “Kalau lagi ramai bisa 11 kali lho sebulan,” cetusnya. Sekali tanggapan, Gatra Kirana dibayar Rp4,5 juta. Tidak besar sebenarnya, karena angka itu harus dibagi untuk 30 orang anggota.
Pentas Ebeg digelar sejak pukul 10 pagi, namun penonton biasanya baru akan menyemut sore ketika babak keempat dimulai. Di babak satu hingga tiga penari dan sinden baru menyuguhkan tarian kuda lumping dan tembang-tembang Jawa. Babak keempat, alias Janturan yang agendanya wuru massal, yang paling diburu penonton. Anak-anak muda seperti Danu misalnya, datang khusus mengikuti wuru.
“Wuru itu sebenarnya karena dia terlalu bersemangat sampai lupa diri, kan Ebeg ceritanya semangat perang,” ungkap Embar. Usaha Emba menjelaskan wuru secara logis terpatahkan sendiri ketika ia bercerita soal indang, roh halus yang mengisi badan manusia ketika wuru. Tanpa punya indang, seseorang musykil kesurupan di pentas Ebeg. Indang, bukanlah hadiah atau warisan, ia harus didapatkan dengan syarat tertentu.
Keseruan wuru massal di Ebeg membuat kegiatan “berburu” indang lumrah dilakukan bahkan oleh anak muda Banyumas. Jadi ketika remaja di kota urban sibuk berburu pokemon pakai ponsel, Danu lebih memilih berburu indang di makam keramat saat masih kelas 2 SMP.
“Syaratnya puasa mutih [hanya makan nasi dan air putih-red] dulu tiga hari, abis itu mandi di tujuh tempuran sungai se-Banyumas dalam waktu semalam. Terus pas Jumat Kliwon, nyong lungo ke petilasan di Gambarsari, kan di situ banyak indang,” ungkap Danu. Menurutnya, indang seperti jodoh, satu untuk seumur hidup. Sedikit banyak, indang mirip konsep Stand di serial anime Jojo’s Bizarre Adventure.
Tonton dokumenter VICE mengenai pesta gila-gilaan bersama kuda yang bisa menari di Sumedang:
Indang inilah yang konon memberi energi lebih dan kemampuan tak terduga bagi manusia yang dirasukinya. Selain penabuh kendang, penimbul bertugas mengatur keriaan wuru di pentas Ebeg. Peran mereka krusial. Di Gatra Kirana, peran itu dipegang oleh Siswomoharjo dan Darsim. Keduanya melakukan ritual Janturan—memanggil indang—memberi makan, hingga menyampaikan permintaan tembang Jawa ke pengrawit, persis seperti request lagu tertentu ke DJ.
Tak ada definisi pasti dan logis soal indang. Embar Wuryanto menyebutnya sejumput energi dari leluhur yang masih menaungi kita. Para indang ini kelangenan (rindu) merasakan sensasi indrawi lagi, termasuk makan dan pesta.
“Nyong tidak ada urusan sama setan, indang itu bukan setan. Kalau setan itu liar, kalau indang manut—bisa diatur,” kata Siswomoharjo sambil menunjukkan sesajen yang akan jadi makanan peserta wuru masal. Ditutupi lembaran daun pisang, meja di depan gamelan itu dipenuhi sekantong mawar merah-putih, beberapa jenis buah dan sayur, umbi-umbian, telur ayam, kinang, janur, ares pisang, katul, hingga kopi, teh, rokok, krupuk, hingga permen lolipop.
“Biasanya yang minta rokok itu Penthul—salah satu jenis indang. Kalau lagi wuru masal dan bisa lihat, satu lapangan penuh bentuknya macam-macam,” imbuhnya.
Danu sendiri meski tak pernah melihat wujud indangnya, meski dia menduga indang yang dia miliki adalah harimau lantaran perilaku agresifnya ketika wuru. Indang memang bermacam jenis, bisa dideteksi dengan melihat perilakunya ketika wuru.
Joko Marsono (27), pemimpin tim penari Ebeg Gatra Kirana menjelaskan indang akan sangat tergantung kepribadian orangnya. “Jenisnya macem-macem kayak Baladewa, Penthul, Cakilan, di kasta bawahnya ada hewan-hewan kayak Macan, Monyet, Ular, Jaran Sembrani, sampai indang Mayit,” ujarnya. Jenis indang yang terakhir membuat wajah orang yang dirasuki jadi pucat lalu berdiri tegak seolah persendiannya terkunci. Untuk menyadarkan orang yang dirasuki indang mayit, jasadnya harus ditutup kain jarik dan digotong seperti jenazah.
Indang kepunyaan Joko sendiri adalah Jaran Sembrani warna putih. Ia memburunya saat masih kelas 6 SD dari bimbingan ayah dan kakeknya yang juga penari Ebeg. Sedari pagi menonton Joko menari, baru setelah wuru masal Joko terlihat gagah menandak-nandakkan kakinya penuh wibawa. Beberapa kali ia maju ke meja Siswomoharjo dan mengunyah “salad” bunga mawar dengan lahap. “Kalau lagi wuru, lihat kembang, beling, apapun itu kayaknya enak banget,” ungkapnya ketika ditemui VICE sebelum acara. Pentas Ebeg masa kini sudah menghindari atraksi makan ekstrem seperti beling atau kaca.
Selama wuru masal, Danu juga terlihat berulang kali melahap bunga dan ares pisang sebelum berjingkrak-jingkrak lagi di kerumunan. Bagi remaja Banyumas, indang sudah jadi semacam kepemilikan yang membuatmu dipandang di tongkrongan. Meski bersifat mistis, mereka santai saja menyikapi indang. Bahkan cenderung lebih seperti mainan atau peliharaan. Di kerumunan, beberapa kali VICE mendengar obrolan yang membandingkan jumlah atau jenis indang yang dimiliki masing-masing orang.
Sayangnya, akhir-akhir ini Embar mengakui ada sebagian penonton yang trance setelah menenggak minuman keras. Biasanya ini ulah penonton yang tidak berhasil mendapat indang tapi tetap ingin joget bebas. Keadaan saat wuru masal memang bisa sangat kacau. Perilaku liar dan tak tertebak bisa terjadi kapan saja. “Dulu pernah coba bikin pagar biar tertib. Eh pas wuru akhirnya didobrak. Memang harus tumplek blek kayak gini baru namanya Ebeg,” kata Embar terkekeh.
Beberapa tawuran antar penonton sempat terjadi selama sejarah Gatra Kirana. Namun kini gelaran Ebeg cenderung aman karena maraknya komunitas penggemar Ebeg. Danu misalnya bersama belasan temannya adalah anggota T-Rex, dari desa Kemangkon.
Selain mereka, ada Baladewa, Bima Ireng, dan masih banyak lagi. Tiap komunitas menjaga gengsinya demi menjaga ketertiban. Mereka akan datang berombongan dan membawa penimbul sendiri untuk anggotanya yang wuru. Meski nampak kacau, ternyata pengorganisasian mereka cukup tertib. Update jadwal pentas Ebeg mereka dapat di grub Facebook Kompas Satria.
Sekira 15 menit sebelum Ebeg berakhir, para sinden menghimbau para Penimbul memulangkan indang. Momen ini juga tak kalah seru. Banyak indang yang menolak keluar dari tubuh semangnya dan berlarian. Yang berhasil ditangkap meronta sebelum akhirnya rubuh di pangkuan Siswomoharjo atau penimbul lain.
Saat VICE menunjukkan foto dirinya saat sedang wuru, Danu tertawa malu-malu. Siku tangan dan dengkulnya terlihat lecet-lecet, tapi ia mengaku tak merasakan sakit. “Sekarang lidahku pahit, tadi makan apa aja ya?”
Untuk anak-anak muda di desa pelosok Banyumas seperti Danu, wuru di Ebeg melunasi dua kebutuhan yang susah mereka penuhi: eksistensi dan eskapisme. Ketika akses ke kafe atau internet terbatas, sementara minuman keras dilarang, tradisi warisan nenek moyang ini menyediakan jalan keluar bagi mereka.
Sebuah ruang untuk sejenak keluar mencicipi kebebasan dari hidup sehari-hari. “Kalau lagi wuru, nyong merasa bebas, lupa sama tugas sekolah. Ya sekedar hiburan lah daripada bosan di desa,” kata Danu. “Abisnya kalau mabuk dimarahi orang tua, kalau wuru enggak. Kan melestarikan budaya.”