Merekam Aksi Politikus Berusaha Membajak Momen May Day

Aksi buruh lintas sektor tiap 1 Mei sudah seharusnya politis. Hari Buruh Sedunia, biasa disebut May Day, memang tindakan politis rakyat pekerja untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Namun, di Indonesia tahun ini, sebagian momen May Day di Jakarta seakan datang dari masa depan ketika politik (praktis) beberapa kali lipat lebih menyebalkan.

Walaupun pemilihan umum serentak 2019 masih berjarak setahun lagi, panasnya sudah terasa di momen May Day tahun ini. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) misalnya, memanfaatkan aksi buruh dengan mendukung calon presiden Prabowo Subianto yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Mantan Danjen Kopassus itu juga segera memakainya untuk berpidato soal visinya sebagai pemimpin, sekaligus meneken kontrak politik berisi 10 rencana aksi yang menurutnya bakal meningkatkan kesejahteraan buruh (asal dia terpilih sebagai presiden tentunya).

Videos by VICE

Dalam pidatonya, Prabowo kembali menyinggung topik favorit tentang suramnya masa depan Indonesia akibat dominasi ‘asing’—baik dari segi modal maupun tenaga kerjanya.

“Kekayaan Indonesia dirampok, dicuri. Saudara-saudara sekalian, kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia,” menurut Prabowo dalam pidatonya. “Enggak ada rakyat di dunia yang mau buka pintu untuk asing seperti kita. Enggak ada.”

Seperti biasa, pidato Prabowo tentu saja penuh dramatisasi. Data termutakhir soal angka pekerja asing adalah 85.947 orang, sangat kecil dibandingkan angkatan kerja dalam negeri yang mencapai 128 juta jiwa. Bagaimanapun, isu-isu proteksionisme, populisme, ultranasionalisme, serta ancaman asing adalah topik utama yang dijual Prabowo untuk masyarakat. Namun yang cukup berbeda adalah ajakan politikus oposisi nomor wahid ini agar pendukungnya tidak membenci tenaga kerja asing. “Kita jangan benci orang asing… kita belajar dari mereka. Tapi kita juga harus tegas terutama kita harus tegas terhadap elite sendiri, saudara-saudara sekalian pemimpin Indonesia harus setia kepada kepentingan rakyat Indonesia,” kata Prabowo.

Tidak semua kelompok buruh sepakat dengan sikap KSPI yang memanfaatkan momen aksi 1 Mei dengan memberi dukungan politik macam itu. Puspa Dewy, dari Organisasi Solidaritas Perempuan, menganggap pidato Prabowo maupun tindakan serikat pekerja yang hadir dalam deklarasi tersebut, “tidak etis.”

Akibat tindakan politik satu organisasi buruh, sorotan publik terhadap May Day justru beralih ke wacana seputar pilpres. Di beberapa lokasi aksi seputaran Monumen Nasional (Monas), anggota KSPI berseru “Prabowo!” serta terpacak poster, kaos, maupun spanduk bertuliskan “#gantipresiden2019”.

Untung saja, politik yang lain, yang fokus menyuarakan tuntutan perbaikan nasib untuk buruh masih nampak di sana-sini. Serikat Pekerja yang diinisiasi anak muda misalnya, berusaha mendorong perubahan wacana di publik mengenai nasib pekerja lepas. Ada juga sebagian kelompok yang hadir dalam aksi May Day di Jakarta kemarin menuntut kesetaraan gender dan perlindungan bagi komunitas LGBTQ.

Intinya, May Day tahun ini memang warna-warni, semarak, dan sukses membangkitkan optimisme maupun solidaritas sesama buruh—walau politik praktis juga berusaha mendompleng dan merebut perhatian publik.

Untuk sedikit memberi gambaran, kontributor VICE yang hadir selama berlangsungnya aksi di seputaran Monas membagikan potret May Day kemarin, supaya kalian yang hadir bisa terpacu datang ke aksi 1 Mei tahun depan (yang seharusnya sih tidak lagi ditunggangi kepentingan politik jangka pendek karena pilpres berlangsung sebelum awal Mei). Semoga!