Maria Izagiriza, adalah perempuan paruh baya yang tinggal di Rweru, desa pedalaman Rwanda. Sore itu dia pulang ke rumah setelah seharian bertani. Sambil celingukan, Maria mencari tetangganya, Philbert Ntezerizaza, laki-laki berusia 40-an tahun yang sering membantunya membersihkan rumah.
Mereka bukan sekadar tetangga. Maria dan Philbert bersahabat. Mereka pasti saling menyapa satu sama lain jika tak sengaja bertemu di jalanan kampung. Philbert bahkan diundang ke pesta pernikahan anak Maria. Persahabatan ini tak terbayangkan bakal terjadi 25 tahun lalu. Saat itu, Philbert bertanggung jawab membantai suami dan tiga anak Maria.
Videos by VICE
Kejadian nahas itu terjadi 6 April 1994. Maria sedang di rumah bersama anaknya yang berusia 2 bulan, Florence. Seorang tetangga sembari terengah-engah, memberitahunya kabar buruk: Presiden Juvenal Habiyarmana tewas setelah pesawatnya ditembak. Konon pelakunya pemberontak Tutsi. Kelompok ekstremis lantas menghasut etnis mayoritas Hutu untuk membantai kaum Tutsi di daerah-daerah terpencil sebagai balasan. Maria diminta segera mengungsi.
Maria dan bayinya bersembunyi di semak-semak. Dia sudah pasrah jika akhirnya akan dibantai. Untunglah, upayanya berjalan kaki ke perbatasan Burundi mulus tanpa aral melintang. Suami dan tiga anaknya tak bernasib sama.
“Kebanyakan orang-orang Tutsi yang kabur bernasib buruk. Mereka tak sengaja bertemu kami, rombongan ekstremis, yang sedang patroli. Kami semua bersenjata saat itu,” kenang Philbert kepada VICE News. “Kami rata-rata membawa golok. Semua anak kami kubur hidup-hidup di dalam lubang. Sementara orang dewasa kami bunuh dulu sebelum dibuang ke lubang yang sama.”
“Kami membunuh semua orang Tutsi yang kami lihat tanpa pandang bulu, termasuk perempuan dan anak-anak. Semuanya harus dibantai,” imbuh Philbert.
Diperkirakan, sebanyak 800.000 hingga 1 juta orang Tutsi tewas dalam pembantaian massal yang jadi sejarah paling kelam Rwanda ini. Setelah 100 hari, baru genosida terhadap etnis minoritas mereda.
Kini, Desa Rweru merupakan satu dari delapan kampung percobaan program rekonsiliasi. Mantan pembantai pembunuh dan korban genosida diminta hidup bersama. Ini adalah inisiatif pemerintah dan lembaga swadaya demi mengupayakan perdamaian di tingkat akar rumput, supaya trauma genosida bisa terhapus.
Ribuan warga menghuni kampung-kampung percontohnan ini sejak 2003. Kampung seperti Rweru memadukan perumahan dan peternakan yang disubsidi, terapi psikososial berkelompok buat warga, dan memperoleh pendampingan spiritual. Semua program itu dirancang untuk mendorong pelaku genosida meminta maaf, sementara para korban bersedia memaafkan mereka.
“Setelah bebas dari penjara, saya merasa bersalah karena melakukan telah melakukan kejahatan yang amat keji terhadap Maria. Saya merasa takut dan malu,” kata Philbert kepada VICE News. “Saya meminta Maria memaafkan saya. Dia memaafkan saya. Mendengar ucapannya, saya merasa lega.”
Namun ada satu faktor yang membuat rekonsiliasi lebih mudah dilakukan di Rwanda, dibanding katakanlah Indonesia selepas tragedi 1965-1966. Pemerintah Rwanda menggelar Pengadilan Gacaca, sebuah pengadilan terbuka yang menghukum semua pelaku pembantaian suku Tutsi. Artinya, sebelum rekonsiliasi dilakukan, keadilan coba diberikan kepada korban sekalipun keluarga mereka tak bisa kembali.
Maria merasa berutang kepada Tuhan, karena dia dan putrinya masih diizinkan bertahan hidup. Rwanda adalah negara yang cukup religius di Benua Afrika. Artinya, pendekatan agama menjadi fokus banyak program-program rekonsiliasi yang ditawarkan LSM pendamping.
“Ketika hati seseorang dibebani, ia takkan bisa melihat hal positif sama sekali. Tetapi bila ia memaafkan secara ikhlas, ada banyak hal positif yang akan dia alami,” kata Maria. “Pengampunan itu hal yang penting, karena melegakan hatimu dan kamu mendapatkan ide baru buat melanjutkan hidup seperti biasa.”
Tonton dokumenter soal upaya rekonsiliasi di Rwanda lewat tautan di awal artikel
Artikel dan video dokumenter ini pertama kali tayang di VICE News