Di antara segala macam olah raga, yoga itu ibaratnya teman baik saya. Maksudnya gini. Yoga seakan-akan sangat mengerti kepribadian saya. Tutorial yoga bertebaran di mana-mana, apalagi di YouTube. Dengan begitu, saya bisa “mengambil” kelas yoga gratis cukup dengan membuka YouTube. Enaknya lagi, kita bisa berlatih yoga cuma pakai celana pendek doang.
Yoga seakan menghapus keharusan kita untuk keluar rumah hanya untuk menggerakkan tubuh. Keluar rumah adalah prasyarat yang bikin saya malas menjajal jenis olah raga lainnya. Yoga tuh satu-satunya kegiatan yang mengizinkan pelakunya gegoleran di matras, memeluk diri sendiri dan menyebutnya sebagai olah raga.
Videos by VICE
Sejauh ini sih, latihan yoga saya paling banter cuma duduk bersila, melatih pernafasan sembari sesekali menengok ke arah cermin sembari memastikan pose yang saya lakukan benar. Gampangnya, yoga adalah momen-momen paling personal dalam hidup saya belakangan ini. Begitu menerima undangan untuk menjajal kelas “yoga doom metal” beberapa pekan lalu, saya sempat agak sangsi.
Saya terakhir kali mencoba kelas yoga kira-kira setahun lalu dalam sebuah spin class. Instrukturnya seorang perempuan asal Australia yang tak mau berhenti berteriak “DORONG!” sambil diiringi playlist yang saya yakin punya judul cupu “1000% Drum and Bass”. Saya bete banget sesudah latihan. Karena mood kelewat bete waktu itu, saya cuma duduk di atas sepeda statis, memasang tampang galak dan emoh mengayuh pedal sepedanya.
Ada satu hal lagi; cuaca pada hari Jumat saat saya ditawari latihan doom yoga sekitar 18 derajat celcius. Artinya, kegiatan apapun bakal terasa menarik selama bukan berada dalam ruangan kantor seharian. Lagian, pengalaman menjajal gabungan doom metal dan yoga terlalu menarik untuk dilewatkan.
DO.OMYOGA dikeleloa oleh Kamellia Mckayed, yang turun langsung memimpin setiap kelas yoga bersama Sanna Charles, seorang fotografer dan sineas yang membantu mencarikan musik yang sesuai dengan flow materi kelas Kamellia. Sesuai klaimnya sebagai “latihan yoga vinyasa yang lamban yang disesuaikan dengan pilihan musik yang dari spektrum yang paling berat dan penuh vibrasi,” DO.OMYOGA menjanjikan pengalaman yoga doom metal yang menyeluruh.
Gampangnya: kamu akan diajak melakukan posisi downward dog sambil disetelin lagu-lagu Pallbearer dan band-band doom lainnya.
DO.OMYOGA bukan satu-satunya kelas yoga nyeleneh dengan iringan musik metal. Format latihan yoga macam ini sedang digemari belakangan. Yoga sendiri sudah menjadi bentuk olah raga umum selama bertahun-tahun seiring meruaknya tagar-tagar semisal #wellness dan #mindfulness, yang sejatinya merupakan upaya untuk mengatasi kapitalisme yang tak berkelanjutan dengan….kapitalisme juga. Itulah kelakuan nyeleneh komunitas-komunitas yoga kecil di berbagai kota besar dunia. Percaya atau tidak, sekarang sudah ada yang namanya Drake yoga dan noise yoga. Cuma, kalau boleh jujur, dari semua oplosan musik dan yoga, doom yoga adalah satu-satunya paling masuk akal.
Sebutan doom yoga sekilas terasa seperti sebuah oksimoron, terutama yang mengasosiasikan imej circle pit brutal anak metal yang dipicu oleh lagu “Reign in Blood.” Tapi kita harus ingat kalau doom, dari semua subgenre metal, banyak menggali referensi-referensi spiritual dan esoterik. Contohnya Sunn O))), band drone-doom paling ternama, yang selalu mengenakan jubah di sampul album, ataupun pas manggung. Mereka juga pernah menggarap album yang terinspirasi sebuah situs pemujaan megalitikum di Libanon.
Sampul album terakhir Wolves in the Throne Room, yang juga mengambil inspirasi doom, adalah lukisan seniman occult Rusia Denis Forkas. Adapun raksasa doom metal asal San Jose, Sleep, punya rhythm section yang konfigurasinya membentuk Om, yang namanya diambil dari sebuh konsep dalam agama hindu. Berikut salah satu lirik lagu Sleep: “Descends supine grace of the luminant / Attunes to access light of celestial form.“
Semua itu baru sedikit contoh saja. Tapi, intinya kalian pasti sudah paham. Doom metal punya kedekatan dengan energi kosmik yang akrab bagi peserta latihan yoga. Tak ada subgenre metal lain yang bisa menggenjot spiritualitas pendengarnya seperti doom.
Intinya, saya beneran ikut kelas doom metal yoga. Meski kelihatan menarik, saya sempat panik waktu datang ke lokasi. Seperti diceritakan sebelumnya, saya paling anti sama yang namanya olahraga, apalagi kalau mengharuskanmu keluar rumah. Imbasnya, bokong saya langsung basah sebelum sampai ke tempat latihan. Saya juga tak punya sepotong pun baju lycra ala-ala peserta yoga profesional. Yang saya bawa hari itu cuma legging Adidas lama—usianya mungkin sudah enam tahun—serta sejumlah celana pendek sepakbola warisan beberapa mantan pacar.
Maaf saya ngelantur. Tapi, ada dua alasan kenapa saya perlu menceritakan koleksi legging dan celana pendek saya dalam artikel. 1) kelas yoga yang saya ikuti adalah kelas percobaan sebelum mereka menggelar kelas besar untuk 250 orang di Download Festival. Semua peserta biasanya memperoleh celana pendek bermerk Download—kebijakan panitia yang saya sukuri karena saya tak punya baju yang pantas buat latihan yoga dan 2) saya berharap cerita di atas menjelaskan anehnya pakaian yoga macam ini.
Yoga dipenuhi gerakan-gerakan peregangan badan. Masalahnya pantat saya ukurannya lumayan besar. Saya sebenarnya sudah memikirkan risiko tersebut. Saya lantas tersadar, kalau masih mencerna anehnya latihan yoga bareng-bareng di luar ruangan dari sudut pandang seorang yang terbiasa berolahraga sendirian dalam rumah. Ketika kita latihan di ruang terbuka, kondisinya jelas jauh berbeda. Sinar matahari yang terik memperjelas lekuk pantat saya, gara-gara celana legging butut itu bahannya kelewat tipis. Ini yang lupa saya antisipasi.
Pantat saya untungnya punya bentuk aduhai. Saya jadi mikir betapa nerawangnya celana pendek saya setelah dipikir-pikir kembali. Sedikit saran nih, buat siapapun yand berada di belakang saya pas latihan tempo hari, mohon terima permohonan maaf saya yang paling tulus dari dalam hati.
Okay lanjut ke penjelasan yoga doom metal lagi.
Di awal kelas yoga doom metal, semua orang diminta duduk dengan mata terpejam. Karmellia mengucapkan banyak hal yang kedengarannya bijak. Jujur sih, saya lupa semua yang dia katakan. Tapi, satu yang pasti: kata-katanya bikin saya terbujuk untuk berolahraga dan lupa sedang berada di lapangan rumput di St Pancras. Musik yang disetel cocok banget sama sesi ini: nadanya repetitif kayak mantra dan temponya ngesot—alias kalem abis!
Di satu bagian, Kamellia meminta peserta memusatkan konsentrasi ke satu titik di antara mata kami, lalu memandu kami mengarahkan pandangan ke arah hidung. Ini nyaris bikin tiap peserta merasa pikiran terlepas dari badan. Kami benar-benar awas dengan kefanaan diri sekaligus kehilangan kesadaran serta kontrol akan tubuh kita. Inilah sensasi yang biasa diperoleh mereka yang fokus berlatih yoga. Perlahan-perlahan kami dipandu menuju kondisi meditatif bersama iringan nada-nada Sludge berat.
Seperti dijanjikan dalam undangannya, latihan doom yoga yang kami ikuti hari itu banyak menggunakan gerakan Vinyasa. Istilah Vinyasa sendiri adalah sejumlah gerakan yang terdiri dari plank (mirip seperti awalan push-up), chaturangga (mirip gerakan push-up saat kita menurunkan badan), dan cobra/upward facing dog (bayangkan kamu tidur tengkurap di kasur dan mendongak ke atas karena kawanmu mendadak bilang pengin nraktir kita makan). Ada juga pose-pose warrior dan downward facing dog yang sudah umum diketahui karena posisi orang ngewe.
Gara-gara tak pernah berlatih yoga dengan diiringi musik, badan saya agak syok. Enggak nyangka deh, musik bisa sangat membantu latihan yoga dalam dua aspek. Ketika kita menjajal yoga, pernapasan adalah kunci. Ini bukan latihan enteng, terutama bagi mereka yang baru mengenal yoga. Napas peserta pemula pasti berantakan saat berusaha melakukan satu pose, mempertahankannya, dan mencoba beralih ke pose selanjutnya.
Musik sedikit membantu meringankan beban amatir macam kami dengan menyediakan ritme yang tanpa sadar kita ikuti. Sehingga kami tidak terlalu fokus pada otot hamstring kita agar bergerak sesuai instruksi sambil mengeluarkan suara “HOOOOOSHHH”, dan kamu lupa mengembuskan napas selama satu menit setengah.
Tonton dokumenter VICE mengenai aktivitas ekstrem menggantung tubuh pakai kait demi memperoleh pengalaman spiritual:
“Sepertinya sih vibrasi dari guitar dan bass yang disetel rendah. Saya tak tahu pasti apa api ada semacam keajaiban dari musik yang heavy,” ujar Kamellioa saat saya bertanya kenapa menurutnya doom metal pas digunakan untuk mengiringi latihan yoga. “Rasanya melegakan seperti saat orang lain menaruh telapak tangannya di pundak kita. Saya rasa musik-musik doom punya fungsi yang sama. Menurut saya lansap psikedelik dari karakter sound doom/stoner/sludge metal cocok untuk orang-orang yang terbiasa mengakses kondisi kesadaraan yang berbeda. Jadi sekalian saja, saya pakai musik doom sebagai pengiring yoga.”
Instruktur mengatakan kelas yoga doom metal normalnya dilakukan di ruangan gelap dan luas yang diterangi lilin, sehingga musik disetel bisa berfungsi sebagai selimut suara. Idealnya, satu kelas berlangsung satu setengah jam, bukan 30 menit seperti yang saya ikuti. “Mirip seperti meditasi yang lama,” kata Kamellia. “Ide dasar dari yoga adalah upaya menggali hakikat diri, makanya ruangannya harus seperti itu—semua kondisinya dirancang untuk membuat ruangan terasa personal dan intuitif.”
Mungkin karena itulah saya sampai tak sadar ada musik mengiringi kami berlatih. Kendati track-track doom disetel dari dua ampli raksasa berjarak cuma beberapa meter dari muka saya. Komposisi-komposisi metal lamban ini sudah jadi bagian dari lingkungan tempat kami berlatih, layaknya angin dan gerundelan pejalan kaki yang kebingungan melihat kami berpose aneh sambil diiring musik doom metal. Tentu kami tak bisa mendapatkan “inner healing” dalam sebuah sesi yang dilakukan di “kawasan perkantoran.” Setidaknya saya—bocah rumahan yang doyan memakai baju berukuran XL—bisa memamerkan pantat ke orang asing tanpa sadar adalah bukti bahwa sesi yoga doom metal perdana ini lumayan ngefek secara positif.
Saya pertama kali menjajal yoga beberapa tahun lalu, saat teman saya chris mengajari beberapa gerakan yoga setelah mengambil kursus di Spanyol. Dia secara khusus mendesain kelas satu jam khusus untuk saya yang shavana. Di akhir kelas, saya cuma bisa duduk telentang—dengan tangan dan kaki terbuka selebarnya seperti laba-laba yang baru saja digilas mobil—dan mewek. Saya tak tahu kenapa. Untungnya, itu cuma air mata yang bikin saya lega. Alasannya saya mewek sampai sekarang masih misterius.
Kamellia menceritakan hal serupa pernah terjadi di kelas doom metal. “Saya dapat komentar dari peserta yang merasa kelas yoga doom metal sangat mengaduk emosi mereka meski sangat intens,” katanya. “Jika kelas yoga yang kamu ikuti berimbas sampai ke level emosional dan enerjik, kamu sudah mencapai lebih banyak dari apa yang bisa ditawarkan oleh postur apapun.”
Apa yang diungkapkan Kamellia bukanlah pepesan kosong belaka. Seorang peserta mengtakan “kelas ini benar-benar menyentuh persoalan emosional lama yang sama.” Sementara peserta lainnya yang pernah mengambil kelas yoga doom metal sepanjang satu setengah jam mengatakan kelas ini mengingatkan dirinya akan kematian yang dilakoni sendirian. “Dan, air mataku keluar tanpa bisa ditahan,” katanya.
Semua pengakuan ini menabalkan imej bahwa yoga doom metal adalah kelas yoga yang intens. Kamu bisa “merasakan sesuatu yang sangat menyentuh” karena memang semestinya begitu saat kita merenungkan periode-periode penting dalam hidup kita. Dan kita bisa melakukan itu di kelas yoga doom metal. Di dalamnya, kamu bisa meregangkan tubuh, menangis—tapi tak cengeng seperti anak emo—serta mendapat ketenangan batin dengan sesekali mengacungkan devil horn.
Follow penulis artikel yang selebor ini di akun @emmaggarland
Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.