Artikel ini pertama kali tayang di VICE Canada.
Artikel panjang Alex Tizon bertajuk “My Family’s Slave,” tayang di The Atlantic edisi Juni, telah menyentuh dan mengguncang banyak pembaca di seluruh dunia. Esai separuh memoar ini menyoroti realitas bobrok dunia kiwari—yakni masih langgengnya perbudakan modern. Kisah Tizon soal keluarganya yang mempunyai seorang budak selama 56 tahun tinggal di Amerika Serikat (tanpa upah, apalagi standar hidup layak), adalah kasus ekstrem. Padahal sejujurnya aku tak kaget-kaget amat ketika membacanya. Sebagai perempuan yang tumbuh besar di Pakistan, aku mengalami dan berpartisipasi dalam perlakuan tak manusiawi yang dilakukan banyak orang di dunia ketiga, kepada warga negara paling rentan dan miskin di negara masing-masing.
Mempunyai pembantu rumah tangga adalah hal umum, bagi orang mampu, di Pakistan. Seringkali, seseorang justru dikasihani kalau tak mampu mempekerjakan juru masak penuh waktu, atau tukang bersih-bersih, yang umumnya tinggal di bagian rumah majikan yang disebut “ruang pembantu.” Saya dibesarkan oleh keluarga mapan di Lahore pada era 90-an dan awal 2000an; keluarga kami selalu punya pembantu yang memasak minimal tiga kali sehari, mencuci pakaian seluruh anggota keluarga, mengosek kamar mandi tiap harinya, dan bahkan mengantar kami ke sekolah dan kantor. Sebelum kami pindah ke Kanada pada 2005, keluargaku punya lima pembantu untuk setiap kebutuhan rumah tangga: mengantar anggota keluarga, menjaga gerbang, memasak, membersihkan rumah, dan mengasuh adik bungsuku.
Keluargaku mengupah para pembantu sekitar $200 per bulan (setara Rp 2.650.000—standar sih, kalau di Pakistan), tidak pernah mengasari atau menahan upah mereka, dan kami berkunjung ke kampung halaman mereka di bagian pinggiran kota sewaktu-waktu mereka tak bisa bekerja karena sakit. Kami memperlakukan mereka dengan baik, sebaik-baiknya seseorang memperlakukan jongos mereka. Ada semacam perjanjian tak tertulis antara para pembantu dan majikan mereka—keluargaku: pembantu hanya akan membantu urusan rumah tangga, tak lebih. Kami tidak berkawan akrab dengan mereka. Kami tidak leluasa curhat-curhat dengan mereka, ataupun memperlakukan mereka secara hangat. Kami harus selalu menjaga jarak emosional dan mental dengan mereka, karena kami dan mereka tak setara. Sekali lagi, mereka ada sekadar untuk memfasilitasi hidup kami. Tak pernah lebih dari itu.
Videos by VICE
Tampaknya, tak bersikap baik pada para pembantu adalah satu-satunya cara berdamai dengan rasa bersalah kami.
Ibuku, yang utamanya bertanggung jawab memastikan pekerjaan rumah tangga dikerjakan dengan baik dan sampai tuntas, percaya bahwa sekalinya para pembantu merasa “keenakan”, mereka jadi malas dan tak tahu diuntung. Pekerjaan rumah tangga akan terbengkalai dan semuanya berantakan. Supaya para pembantu selalu tahu diri, Ibu tak jarang mengancam akan memecat mereka. Dalam kurun waktu setahun, kami bisa gonta-ganti pembantu sampai lima kali. Sebagian pembantu tinggal di rumah kami, sebagian lagi pulang ke rumah masing-masing di penghujung hari.
Sebagiannya berusia di bawah tujuh tahun, sisanya berusia paruh baya yang anak-anaknya bekerja sebagai pembantu di rumah majikan lain. Kawan-kawan di Pakistan dulu tidak pernah bertanya, mengapa aku pergi sekolah sementara anak-anak pembantu pergi ke rumah majikan. Sebagian besar orang yang kukenal punya pembantu di rumahnya, tapi tak satupun dari mereka (bahkan guru ataupun orangtua) menjelaskan tatanan sosial ini. Rasanya seperti agama saja; tak perlu dipertanyakan. Begitulah adanya. Tampaknya, tak berwelas asih pada para pembantu adalah satu-satunya cara berdamai dengan realita.
Setelah kami pindah ke Kanada, saat itu usiaku 17 tahun, kami harus mengurus sendiri kebutuhan dan pekerjaan rumah tangga. Ayah menganggapnya hinaan, karena seumur hidupnya dia tak pernah harus mencuci sendiri pakaiannya dan memindahkan plastik sampah ke luar. Keluargaku mulai mengerjakan sendiri segala hal, yang selama di Pakistan dilimpahkan ke pembantu, dan sebetulnya aku lumayan senang. Aku bisa belajar tak mengandalkan orang lain. Di samping itu, aku lega karena tidak perlu menyaksikan dan berpartisipasi dalam kesenjangan sosial yang cenderung dibiarkan di Pakistan. Aku tidak benar-benar memikirkan hierarki sosial di Pakistan yang tak adil bukan main, sampai berusia akhir 20-an. Saat itu aku mulai hidup bersama pacar di apartemen.
Kami berdua pindah ke tempat tinggal yang lebih besar di Toronto dan kami berdua bekerja penuh waktu. Suatu hari, pasanganku menyarankan supaya menyewa orang untuk membersihkan dan berbenah rumah. Itu saran yang masuk akal, toh kami mampu. Aku menolaknya mentah-mentah. Meski aku sudah tinggal di Kanada selama lebih dari 10 tahun, aku masih belum bisa berdamai dengan fakta bahwa manusia bisa memperlakukan sesamanya dengan amat transaksional. Persis yang dilakukan keluargaku saat di Pakistan.
Ada kalimat pada artikel Tizon yang menurutku sangat menyentuh, soal alasan keluarganya memperlakukan Pulido dengan amat buruk selama hidupnya: “The leap across the ocean brought about a leap in consciousness that Mom and Dad couldn’t, or wouldn’t, make.” Aku paham betul loncatan yang dimaksud Tizon, karena itu adalah loncatan sama yang kuambil saat pindah ke Kanada. Setelah melihat gambaran masyarakat yang lebih setara. Mustahil merasa baik-baik aja soal menyewa pembantu, seperti di Pakistan dulu, setelah loncatan itu. Mengapa sebagian manusia dinilai lebih unggul atau agung dari yang lain? Siapa yang bertanggung jawab atas kesenjangan sosioekonomi di antara kita? Apakah mereka dilahirkan dengan agama yang salah? Warna kulit yang salah?
Siapapun yang ditanya, pasti ingin menjawab tidak. Tapi kenyataannya, faktor-faktor itulah yang menentukan apakah seseorang akan miskin seumur hidupnya, pekerjaan yang pantas mereka dapatkan, dan sejauh mana mereka boleh berkembang. Ini adalah hal-hal yang rajin dipikirkan orang-orang yang berasal dari masyarakat yang menolak ngeh bahwa banyak anak berusia di bawah lima tahun mengemis di pinggir jalan, dan melengos dengan pikiran “kalau dikasih satu, yang lain bakal nimbrung” atau “memberi uang sama saja mendukung sifat malas mereka.”
Sebelum tukang bersih-bersih datang ke apartemen kami, aku sesenggukan dan mengalami serangan panik di tengah malamnya. Aku membangunkan pasanganku dan menceritakan hal-hal yang kusaksikan dan ambil bagian selama di Pakistan dulu. Aku tidak pernah bisa mempekerjakan pembantu sejak pindah ke Kanada karena tak sanggup menjawab pertanyaan: Apakah aku akan memperlakukannya seperti dulu Ibu memperlakukan pembantu kami? Mungkinkah aku menganggap sosoknya tak ada, yang kehidupannya di luar pekerjaan ini bukan tanggung jawabku?
Untuk mengubah budaya mempekerjakan pembantu, pertama-tama kita harus mengakuinya sebagai masalah
Untungnya, ketakutanku tak terwujud. Saat tukang bersih-bersih datang ke apartemen, kami ngobrol seperti dua orang dewasa dalam situasi apapun, ngobrolin rencana-rencana kami untuk akhir pekan, dan saling menunjukkan foto kami saat sekolah dulu dan ngedumel soal berat badan yang terus naik sejak itu. Saat dia pulang, aku merasa tenang. Aku bukan monster tanpa welas asih. Tapi aku terkejut bahwa, setelah sekian lama, kenangan-kenangan soal pembantu-pembantu di Pakistan masih menghantui.
Ada banyak kritik dari pembaca pada artikel Tizon. Dia dianggap mempertahankan budak keluarganya padahal bisa melakukan lebih. Tapi aku tahu betapa banyak keberanian yang harus ia kumpulkan untuk mengkonfrontasi dan mengungkap sisi gelap dalam hidupnya, lebih-lebih menerbitkannya. Untuk menyelesaikan masalah ini, pertama-tama kita harus mengakuinya sebagai masalah. Kita punya masalah soal perbudakan terkontrak di negara-negara berkembang, dengan tingkat kemiskinan mengkhawatirkan, abainya pemerintah setempat pada kesejahteraan warga, nihilnya jaminan sosial, yang diperburuk tribalisme dan rasisme tanpa akhir. Semua faktor tadi adalah masalah-masalah sistemik yang telah mengakar selama berabad-abad.
Memberi sorotan pada masalah-masalah ini dan mengkonfrontasi realita ini adalah dua langkah awal penting jika kita ingin pekerjaan pembantu hilang dari muka bumi.
Follow Hina Husain di Twitter.