Profil Pendeta Yoni pengasuh gereja untuk para transpuan Surabaya
Yoni dan Bunda Handayani di ruang tengah rumah yang menjadi lokasi persekutuan 

Hidup Damai & Kudus Surabaya. Semua foto oleh Ivan Darski

Kisah Inspiratif

Kisah Pendeta yang Mengabdikan Hidup Melayani Transpuan di Surabaya

Yoni adalah mantan bandar narkoba yang menemukan iman. Kini dia mengasuh gereja inklusif di Bratang Gede untuk menuntun para transpuan pencari Tuhan.

Jam merangkak pelan menuju pukul empat pagi waktu setempat. Pendar tipis fajar menerobos lewat jendela jadi satu-satunya sumber cahaya ruangan remang itu. Seorang pria dengan rambut tersisir rapi duduk menghadap kaca, sembari sesekali menggumamkan puji-pujian. Pria itu, adalah Yoni, pendeta berusia 57 tahun. Dia menghabiskan separuh hidupnya menuntun kawan-kawan transpuan Surabaya yang bersedia menerima pesan-pesan Kristus. 

Iklan

VICE menemui Yoni di rumah sederhana di Bratang Gede, Surabaya. Rumah itu kediaman bunda Handayani, panggilan seorang transpuan sekaligus jemaat senior Persekutuan Hidup Damai & Kudus (PHDK), yang dipimpin Yoni. Bunda Handayani mewaqafkan rumah semata wayangnya, menjadi tempat berkumpul para transpuan yang haus siraman rohani dan tengah mencari terang. Di ruang tengah berukuran 5x8 meter itu, Yoni berkhotbah di hadapan para transpuan saban dua pekan sekali. 

“Dulu pertama kali saya ditawari sama Bunda buat mengisi khotbah di tempatnya, sejujurnya saya ragu. Lalu pulang dari tempat Bunda, saya membaca Alkitab, dan menemukan sebuah ayat, Lukas 15:10, ‘aku berkata kepadamu: satu jiwa bertobat, maka malaikat seisi surga akan bersorak-sorai’. Lalu saya mantap. Ini adalah jawaban dari Tuhan agar saya mendedikasikan hidup saya untuk melayani kawan-kawan di sini,” kenang Yoni. 

Sebelum memantapkan diri menjadi penceramah ajaran Kristen, Yoni mulanya adalah bandar narkoba. Ia sejak muda larut dalam bisnis melanggar hukum itu, dan sempat memiliki 30 kaki tangan untuk menjalankan bisnis. Di Jakarta, komplotan bandar yang diikuti Yoni pernah menjadi salah satu yang terbesar sepanjang dekade 70-an. Jaringannya diklaim menguasai selat-selat seantero nusantara, dan merajai perdagangan bisnis narkotika dari jalur laut pada masa itu. 

“Kalau pemain lama, pasti tahu nama kami. Trio Tanjung, Kancil, Payung. Kalau di tahun-tahun itu, dengar nama kami pasti keder-lah. Polisi juga enggak bisa menyentuh. Tapi itu semua tak lagi berarti ketika saya sudah mengenal Tuhan,” terang Yoni. 

Iklan

Yoni baru mentas dari gelanggang narkotika pasca sebuah insiden menjelang 1980. Saat itu, ia melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Bali. Sebelumnya, ia merampok sebuah mobil untuk mengaburkan jejak di Surabaya. Rencananya, Yoni akan mengambil empat kilogram ganja dan ratusan buddha stick dari Bali. Transaksinya berhasil, dan ia sempat lolos dari pemeriksaan petugas penyeberangan. Setiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Yoni dan komplotannya segera tancap gas menuju Jakarta. Dia sudah membayangkan setiba di ibukota, bersama keempat anak buahnya, akan mengkanibal mobil hasil rampasan, dan mengedarkan narkoba yang ada di tangannya. 

Mobil yang ditunggangi Yoni melaju tanpa hambatan, sampai di luar kota Semarang—separuh perjalanan menuju Jakarta—kendaraan yang ditumpanginya mendadak mengalami kecelakaan hebat. Ia tak ingat apa penyebabnya. Sebab, Yoni dalam kondisi setengah sadar dan sempat tertidur, sementara kejadian berjalan begitu cepat. 

Bertahun-tahun setelahnya, ia tahun bahwa itu bukan murni kecelakaan. Namun, mobil yang ditumpanginya dirampok segerombolan bajing loncat, dan anak buahnya tak sempat melawan sebab ditabrak dari belakang. Peristiwa nahas itu kemudian menghantar Yoni ke dalam tidur panjang di RS Kariadi Semarang: berbulan-bulan ia dalam kondisi koma. Sebab tulang tengkoraknya remuk, dan ia mengalami pendarahan otak. 

“Itu kaki saya sudah ditali, dan mau dijadikan bahan skripsi sama dokter muda. Soalnya kan kami tidak membawa identitas, dan memang sudah dinyatakan mati. Untung aja, ada detak jantung nol koma sekian persen. Dan ada dokter yang mau mencoba menangani saya. Sudah mau dibedah itu kata dokternya. Tapi Tuhan berikan kesempatan kedua,” kenang Yoni. 

Iklan

Ia pun mengatakan tanpa kecelakaan itu, mungkin hingga hari ini ia masih bergelimang harta serta setia pada jalan gelap narkoba. Sebab kemudahan ekonomi yang ditawarkan jejaring bisnisnya membuat siapa saja terbuai. 

“Kau tahu rasanya cairan otak meleleh di wajahmu? Rasanya dingin tapi tubuhmu tidak bisa bergerak. Saya koma dalam waktu yang lama. Hilang tanpa kabar. Keluarga sudah mengira saya mati,” kata lelaki berdarah Tionghoa ini, sambil menunjukan bekas jahitan luka di pelipisnya. 

IVAN0023.jpg

Foto-foto ini berasal dari momen kecelakaan yang membuat Yoni memutuskan mendalami ajaran Kristen. Foto oleh Ivan Darski

Di hari-hari panjang saat tubuh Yoni tergolek tak berdaya, ia mengaku—saat berada di kondisi antara realita dan maya buram—ia ditemui oleh seorang perempuan paruh baya di sebuah subuh. Perempuan itu, berkata padanya, bahwa satu-satunya obat yang dapat memulihkan ia seperti sediakala adalah menerima Yesus Kristus.

 “Terang saya menolak. Saya jawab ‘adakah cara lain selain menerima nama itu?’ Perempuan itu malah berbalik badan dan meminta saya untuk berbicara dengan hati saya. Besoknya ia kembali, dan sedikit gamang saya berkata. ‘Ya, saya mau menerimanya’,” kenang Yoni. 

Peristiwa itu menjadi titik balik kehidupan Yoni. Ia yang meninggalkan kehidupan dugal, meniti hidup baru di jalan Tuhan. Dia mulai sering datang ke persekutuan, belajar agama pada beberapa pendeta di Surabaya, dan menjadi sangat religius. Akhir dekade 90-an, tanpa sengaja ia bertemu Bunda Handayani—yang saat itu baru saja melakoni operasi kelamin menjadi perempuan, di salah satu gereja yang sama-sama mereka datangi. 

Iklan

“Sebelum bertemu pak Yoni, sudah berkali-kali kami minta beberapa pendeta untuk memberi khotbah di persekutuan kami. Tetapi ditolak mentah-mentah. Enggak jarang juga malah dilecehkan [pengurus gereja lain]. ‘Kalian ini banci, enggak bisa masuk kerajaan Allah [surga]. Kalau ketemu pak Yoni lebih dulu, mungkin saya enggak perlu operasi deh,” terang Handayani. 

Karena wataknya yang keras, Yoni kerap meluncurkan kritik-kritik kepada gereja-gereja mapan lantaran eksklusif memilah jemaat. Baginya, siapa saja berhak menjadi umat Tuhan. Tanpa memandang gender, latar belakang, apalagi status sosial dan ekonomi. 

“Kamu pernah dengar sebuah pepatah lama? Tuhan berada di gubuk mereka-mereka yang ditepikan oleh dunia. Kawan-kawan transpuan pun begitu. Banyak teman pendeta yang ogah berdialog dengan mereka sebab kepalanya sudah diisi dengan stigma. Saya mengambil pilihan lain. Ini juga umat Kristus. Dan saya diberi kepercayaan oleh Tuhan membantu mereka. Posisi kami setara. Sama-sama anak Tuhan,” kata Yoni. 

Pilihan Yoni mengabdikan diri melayani kawan-kawan transpuan kerap berbuah cibiran. Beberapa jemaat gereja besar menuding Yoni dulunya juga LGBTQ, dan memilih melayani para transpuan sebab merasa senasib sepenanggungan. Gosip lain yang kerap menyulut amarah Yoni, adalah bahwa ia memanfaatkan para transpuan untuk motif ekonomi. 

Namun, berdasar kesaksian Bunda Handayani dan Mami Sonya yang ditemui VICE, jemaat PHDK selama berkawan dengan Yoni puluhan tahun tak pernah membayar perpuluhan sepeserpun. Alih-alih diberi gaji, Yoni justru yang rutin mengirim bantuan kepada kawan transpuan berupa donasi atau makanan ringan saat ia melakukan pelayanan. 

Iklan

“Sebenernya sulit ya untuk menahan amarah [karena dituduh macam-macam]. Coba kalau mereka ngomong gosip seperti itu di saat saya masih muda dulu, belum kenal Tuhan. Paling pulang tinggal nama. Hahaha.. Tapi sekarang beda,” ujar Yoni diiringi tawa yang berderai. 

Yoni saat ini bekerja sebagai konsultan spiritual untuk beberapa bisnis di Surabaya. Kebutuhan operasional persekutuan para transpuan ini dipenuhi lewat bantuan dana donatur serta beberapa gereja evangelis besar lain di Kota Pahlawan.

Sejak dipimpin Yoni, tak terhitung berapa transpuan di Surabaya dan sekitarnya yang menurutnya bersedia melayani Tuhan. Meskipun dia mengakui ada beberapa jemaat yang masih belum bisa sepenuhnya mentas dari prostitusi. Sebab bagi transpuan, beralih ke pekerjaan formal tak semudah membalik telapak tangan. Stigma kerap menghantui mereka. Sementara prostitusi adalah jalan termudah bagi mereka untuk mengais nafkah guna menyambung hidup dari satu hari ke hari lainnya. Contohnya, baru pada 2021, Kementerian Dalam Negeri bersedia secara terbuka menerbitkan e-KTP dan mendata transpuan di Indonesia.

Salah satu sosok yang terpaksa berdiri di dua sisi macam itu adalah Mak Gondes. Ia transpuan paruh baya, menyewakan kamar untuk pekerja seks di pinggiran rel kereta api, Wonokromo, Surabaya. Mak Gondes kerap dikenal sebagai seksi keamanan kawan-kawan transpuan yang menjajakan diri di sekitar rel kereta api. Ia berperawakan besar dan kekar. Orang-orang tak berani banyak tingkah ketika ia mengamuk. Sebelum wafat beberapa tahun lalu, ia memutuskan jadi penganut kristen. Mak Gondes, mantap mengikuti jalan kristus setelah ia disembuhkan oleh Yoni, yang turut menjalankan praktik pengobatan alternatif. 

Iklan
IVAN0010.jpg

Rumah yang menjadi lokasi persekutuan PHDK dengan mayoritas jemaat transpuan sangat bersahaja. Foto oleh Ivan Darski

Saat itu, Mak Gondes tengah menderita gejala hernia. Ia berupaya mencari pengobatan ke beberapa dokter, namun hasilnya nihil. Ketika ia pertama kali bertemu Yoni, ia minta untuk didoakan agar segera sembuh. Yoni pun mengikuti keinginan Mak Gondes. Kurang dari dua puluh empat jam, herniannya mengempis. Seketika, Mak Gondes pun mengatakan, bahwa ia ingin menjadi seorang kristen, dan meminta bantuan Yoni untuk menuntunya. Di sisa usianya, Mak Gondes menjadi salah satu anggota persekutuan yang paling bersemangat.

“Saya kagum dengan dia. Dia tampangnya sangar, tapi begitu sopan. Dia menjadi komandan dulu. Kalau ada yang tidak sopan, atau tidak datang persekutuan, bakal diamuk oleh dia,” kata Yoni mengenang. 

Bagi Yoni, para transpuan melayani tuhan lebih tulus daripada orang-orang yang mengaku beriman. Sebab, menurut Yoni, para transpuan tiadk hitam putih mengartikan agama. Perbincangan tentang Tuhan bukan melulu menagih upah di surga atau terperosok ke neraka. 

“Urusan surga atau neraka, bagi mereka itu urusan nanti. Yang penting mereka sudah berupaya mencari dan memuji tuhan. Ganjaran itu adalah hal lain,” tutur Yoni. 

Yoni mengatakan ia akan terus mendampingi kawan-kawan Transpuan hingga ajal menjemput. Ia mencintai persekutuan doa yang dipimpinnya, lebih dari sorot lampu mimbar yang menyilaukan. Yoni bukan berarti tak berarti ingin melawan arus sistem gereja yang mapan. Namun, ia tak ingin namanya bergelimang perhatian, dan mengaburkan nama Tuhan yang telah memberinya hidup sekali lagi. Kelak, ia hanya ingin para transpuan bisa bebas beribadah di gereja mana saja, tanpa perlu menanggung stigma. 

“Mereka sama seperti saya, kamu, dan kalian: sama-sama manusia. Kita manusia janganlah mendahului Tuhan dengan buru-buru memvonis mereka neraka atau apa. Biarkan mereka beribadah, dan punya hak yang sama seperti kita. Sama-sama manusia,” tutup Yoni.


Reno Surya adalah jurnalis lepas sekaligus pegiat kancah musik di Kota Surabaya. Follow dia di Instagram