Manusia Silver Jadi Musuh Baru Dinsos dan Satpol PP Berbagai Kota di Indonesia

Manusia Silver Dilarang Satpol PP Mengemis di Lampu Merah

Tren anak-anak berkerumun di lampu merah dengan berdandan sebagai manusia silver memakan korban di Kota Medan, Sumatra Utara, pekan lalu. Jonathan Sigalingging yang baru berusia sepuluh tahun terlindas truk, Senin (31/8) pukul 22.30.

Saat itu, Jonathan baru selesai mengemis di lampu merah dan hendak pulang bersama temannya, Wando, sesama bocah pengemis berdandan manusia silver. Mereka berniat menyetop salah satu truk yang lewat untuk nebeng pulang. Namun, suasana hujan dan gelap membuat sopir tak melihat keduanya. Jonathan meninggal seketika akibat terlindas, Wando selamat.

Videos by VICE

Peminta-minta di jalan yang mengecat tubuh dengan warna perak metalik agar tampak seperti robot atau patung demi meraih simpati, bukan cuma ada di Medan. Tren ini telah tersebar ke sejumlah provinsi dan tampaknya, bikin repot aparat ketertiban yang mengidamkan jalanan bersih. Pelakunya juga merentang di segala usia, namun didominasi remaja.

Dinas Sosial (Dinsos) Palembang, misalnya, memperlakukan mereka layaknya pengemis “tak bermodal” lain, yakni dengan memakai jalur hukum. Aksi mengecat tubuh dengan cat sablon perak dianggap sebagai pengemis gaya baru, mengganggu pengendara jalan dan ketertiban umum. Dinsos Palembang akan melakukan sosialisasi melarang tren ini. Bagi yang masih ngeyel, kurungan penjara tiga bulan dan denda sampai Rp50 juta menanti.

“Pemberi dan penerima itu akan diberi sanksi kurungan tiga bulan dan denda Rp50 juta. Itu akan kita tindak lanjuti. Kita [kami] sekarang sedang sosialisasi di lampu merah dan untuk yang akan datang akan kita laksanakan tindak lanjut pidananya, ” kata Kabid Rehabilitasi Sosial Dinsos Palembang Elvis Rusdy kepada Kompas. Ia mengutip Perda No. 12/2013 sebagai landasan pelaksanaan kebijakan.

Yang turun tangan sudah pasti bukan cuma dinsos. Tokoh utama untuk menertibkan fenomena ini tak lain adalah Satpol PP. Otomatis, hubungan Satpol PP dan manusia silver se-Indonesia mirip Tom and Jerry, kejar-kejaran meski enggak ada masalah personal di antara keduanya.

Juli lalu terjadi, Satpol PP Banyumas menangkap manusia silver paling bandel se-Banyumas. “Kalau dilihat wajahnya, dia sudah berulang kali ditangkap anggota [Satpol PP]. Mereka [para manusia silver] bukan kelompok, tapi jalan sendiri-sendiri. Kami rutin melakukan operasi, beberapa yang pernah tertangkap sudah kapok dan tidak terlihat lagi, tapi yang [satu] ini bandel banget,” ujar Kepala Satpol PP Banyumaas Imam Pamungkas kepada Kompas.

Melihat hukuman atas manusia silver di Banyumas sebatas pembinaan, alasan kebandelan ini tentu bisa dimaklumi. Mau dibina seratus kali pun, kalau perkara perut sebagai masalah utama enggak kunjung disentuh pemerintah, manusia silver akan terus marak. Imam bahkan mengeluh, misal para manusia silver ini disidang tindak pidana ringan pun, mereka belum tentu datang.

Balik ke Medan, Dinsos Kota Medan sudah memvonis manusia silver sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Pada 12 Juni silam, Satpol PP melakukan razia, menjaring tujuh manusia silver. Sama seperti Banyumas, manusia silver dan korban razia PMKS lainnya (gelandangan dan pengemis) dibawa ke rumah singgah Dinsos Kota Medan untuk dibina. Kebijakan memerangi manusia silver terlontar kala Dinsos Kota Medan berencana membuat razia rutin. Bagi yang terjaring dua kali, ia akan dikirim ke panti asuhan di Sumatera Utara.

Anomali justru terjadi di Jakarta Barat. Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin menyatakan tak mempersoalkan keberadaan manusia silver. Doi merasa kehadiran mereka tidak mengganggu ketertiban. Di samping itu, belum ada laporan tindakan kriminal terjadi yang melibatkan manusia silver. Arifin malah menyebut manusia silver enggak masuk kategori PMKS sebab menggunakan kreativitas mengecat tubuh untuk menarik perhatian orang yang melihatnya.

Penertiban manusia silver memang terjadi di Jakarta Barat, April lalu. Namun, para manusia silver ditertibkan Satpol PP atas dasar berkerumun saat PSBB. “Mereka berkerumun dan berkumpul di tempat umum, kami tangkap juga mereka. Kami beri tahu bahaya nongkrong di tempat umum dan kami periksa kesehatannya,” kata Kasie PPNS dan Penindakan Satpol PP Jakarta Barat Ivand Sigiro kepada iNews. Mereka juga mendapatkan pembinaan sebagai hukuman.

Upaya agar manusia silver tidak dianggap penyakit masyarakat pernah dilakukan Komunitas Manusia Silver Kota Bandung pada 2013 lalu. Koordinator Komunitas Muhammad Sulaiman mendatangi kantor dinsos untuk audiensi, meminta dinsos menempatkan mereka secara resmi di toko-toko dan outlet ramai Kota Bandung. Dengan izin resmi, mereka berharap masyarakat akan memperlakukan manusia silver sebagai bentuk pertunjukan. 

“Saya usul, di Bandung kan banyak toko-toko dan outlet yang ramai. Kami ingin ditempatkan di sana, tapi harus dapat izin dari Dinsos. Saya siapkan skill seperti pantomim atau apa saja,” ujar Sulaiman dikutip Detik. Permintaan ini lantas direspons Dinsos Bandung dengan “pikir-pikir dulu”. Mengulik berita tentang manusia silver di Bandung pada 2017, sepertinya permintaan Sulaiman tidak dikabulkan pemerintah.

Perkara manusia silver versus aparat nyatanya enggak sesederhana kucing-kucingan belaka. Situasi pandemi membuat segala cara dilakukan masyarakat rentan sekadar untuk menyambung hidup. Menjadi manusia silver terbukti menjanjikan sebagai sumber penghasilan di kala pandemi. 

Misalnya Septian Yoanda dan Siti Jena yang terpaksa jadi manusia silver untuk menyambung hidup di Jakarta Barat. Kedua perempuan berumur 17 tahun ini putus sekolah akibat kesulitan ekonomi. Mereka memutuskan jadi manusia silver karena penghasilan ngamen menurun drastis sejak pandemi. Kini, dalam sehari mereka berdua bisa mendapat uang sampai Rp200 ribu rupiah.

Dari penuturan Septian dan Siti kepada Kompas, manusia silver melumuri badan dengan cat sablon berwarna perak dengan campuran lotion dan minyak (bisa minyak tanah atau minyak goreng). Campuran ini mampu bertahan sampai delapan jam sebelum memudar dan luntur. Selama lima bulan beraktivitas, Septian dan Siti mengaku belum ada efek samping yang terjadi kepada mereka.

Beda lagi dengan Suryadi, manusia silver lain dari Jakarta. Semenjak menjadi manusia silver, ia mengaku kerap gatal-gatal. “Saya belum tahu efek samping dari cat ini, karena di kulit misalnya kalau di kulit berkeringat gatel, ini kayaknya efek samping sampai berkoreng gini,” ujar Suryadi kepada MSN.

Menurut dokter spesialis kulit dan kelamin dr. Fitria Amalia Umar kepada Detik, reaksi gatal, luka, dan perih adalah tanda kulit sensitif terhadap bahan yang memang tidak ditujukan untuk kulit. Ia memperingatkan, penggunaan bahan tak ramah kulit seperti cat sablon dalam jangka panjang bisa menimbulkan potensi karsinogenik pemicu kanker.