Nadiem Sebut Kampus Bisa Turun Akreditasi Bila Ngotot Tak Adopsi Permendikbud 30

Nadiem Makarim sebut sanksi pebagi kampus yang tidak adopsi permendikbud 30/2021

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 hendak dijegal oleh beberapa kelompok dan partai berbasis keagamaan. Namun tekanan-tekanan sepanjang pekan lalu tidak melunakkan sikap Mendikbudristek Nadiem Makarim, yang kembali menegaskan setiap perguruan tinggi Indonesia wajib mengadopsi aturan seputar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan kampus.

Dalam arsip diskusi ‘Merdeka Belajar Episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual’ yang disiarkan akun YouTube resmi Kemendikbud akhir pekan lalu, Nadiem menjabarkan berbagai poin penting Permendikbud 30/2021 yang perlu segera dijalankan perguruan tinggi. Andai tidak menjalankan berbagai arahan tersebut, kampus berisiko dikenai bermacam sanksi oleh regulator.

Videos by VICE

“Kalau tidak melakukan proses PPKS sesuai dengan Permen ini, ada berbagai macam sanksi. Dari keuangan sampai [penurunan] akreditasi,” ujar Nadiem. Sanksi keuangan yang dimaksud, adalah pengurangan bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi.

Menurut mendikbudristek, kasus kekerasan seksual di berbagai perguruan tinggi masuk taraf mengkhawatirkan. Sementara kesadaran para birokrat kampus untuk serius menyiapkan program pencegahan tak kunjung meningkat. Alhasil rangkaian sanksi tersebut, diharap Nadiem, menjadi katalis mempercepat pengadopsian mayoritas pasal dalam Permendikbud No 30/2021 menjadi aturan turunan di tiap-tiap kampus.

“Kalau tidak melakukan ini [penjatuhan sanksi], banyak kampus tidak akan merasakan urgensi daripada dan keseriusan pemerintah untuk menangani kekerasan seksual,” tandasnya. Dasar hukum penjatuhan sanksi itu termuat dalam pasal 19 Permendikbud No 30/2021. Draf lengkap beleid tersebut bisa diunduh atau dibaca di tautan ini.

Salah satu pasal yang disorot Nadiem adalah panduan bagi kampus menghukum pelaku kekerasan seksual di lingkungannya. Petinggi kampus harus mulai merumuskan tingkatan hukuman, sesuai skala berat tidaknya tindakan yang dilakukan dosen atau mahasiswa tersebut.

Salah satu sanksi paling ringan seperti mewajibkan permintaan maaf terbuka, menurut Nadiem, tetap mewajibkan adanya konseling. Tujuannya agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Biaya konseling psikologis itu harus ditanggung oleh pelaku.

Namun, bila kekerasan seksual yang dilakukan sudah masuk kategori pidana, Nadiem menyatakan permendikbud sudah memberi panduan agar kampus tak ragu menjatuhkan hukuman keras.

“Sanksi administrasi terberat adalah pemberhentian, misalnya sebagai mahasiswa atau sebagai jabatan dosen dan lain-lain,” kata Nadiem.

Adapun, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas secara terbuka memberi dukungan pada Kemendikbudristek untuk menyosialisasikan Permendikbud 30/2021 ke semua kampus. Sebab melindungi civitas akademika, dari dosen, mahasiswa sampai karyawan kampus, dari risiko kekerasan seksual sesuai dengan semangat setiap agama melindungi martabat kemanusiaan.

“Jadi tidak ada alasan tidak memberikan jaminan dan kehormatan atas perlindungan manusia apapun jenis kelaminnya, agama, ras, suku, golongan maupun latar belakang yang lain, dari tindakan-tindakan yang merendahkan kehormatan sebagai manusia di tempat mana pun, tidak terkecuali di lingkungan perguruan tinggi,” kata Yaqut, pada 13 November 2021, seperti dikutip Kompas.tv.

Sebagai informasi, penyebab Permendikbud Nomor 30/2021 yang dikecam ormas keagamaan adalah poin-poin di pasal 5 ayat 2. Dalam beleid itu, dijabarkan definisi kekerasan seksual sebagai tindakan dalam hubungan dua pihak yang sifatnya “tanpa persetujuan korban”.

Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, serta 13 organisasi yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI), menuding “persetujuan korban” berarti pengadopsian nilai ‘consent’ yang khas budaya Barat. Disimpulkan bila suatu hubungan dilandasi suka sama suka, maka Kemendikbudristek seakan menyetujui perzinahan dalam lingkup perguruan tinggi.

Perdebatan soal consent itu mewarnai diskusi di berbagai platform medsos selama sepekan terakhir. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, yang punya rekam jejak mendampingi berbagai korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, menilai debat seputar semantik kalah urgen dibanding pentingnya pasal-pasal lain dalam permendikbud Nomor 30/2021.

Sebab merujuk situasi di lapangan, menurut catatan LBH APIK, banyak kampus keteteran menghadapi laporan kekerasan seksual. Data laporan kolaborasi #NamaBaikKampus pada 2019, menyimpulkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota, yang mayoritas tidak ditangani dengan baik untuk melindungi kepentingan para korban. Data itu baru puncak gunung es, mengingat banyak korban kekerasan seksual memilih bungkam karena tidak yakin kasusnya akan dibantu oleh petinggi kampus.