Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.
Saat itu suhu menunjukkan 36 derajat celcius, tapi trotoar jalan di sepanjang Soi Convent, cabang dari Silom Road yang merupakan salah satu distrik keuangan dan komersil utama di Bangkok penuh dengan pekerja kantoran mencomot makanan dari puluhan gerobak yang menyediakan berbagai masakan, mulai dari khao mok gai (mirip dengan ayam biryani) hingga khanom jeen (mi bumbu kari dengan berbagai macam topping). Kebanyakan penjual makanan ini sudah berjualan di lokasi yang sama selama lebih dari dua dekade, mendahului gedung-gedung pencakar langit yang kini mengelilingi daerah tersebut. Mereka semua memiliki pelanggan setia; saking terkenalnya, salah satu gerobak khai mung gai (nasi ayam) kini menawarkan jasa pengantaran via UberEATS.
Videos by VICE
“Ayah saya dulu pedagang makanan jalanan. Saya sudah berdagang khao kha moo (nasi babi) selama lebih dari 30 tahun, dari ketika saya masih bersekolah,” kata salah satu penjual. Di sampingnya terlihat potongan lemak babi raksasa, harum dengan bau kayu manis dan kecap asin. Biarpun dia masih sibuk melayani masyarakat di jam makan siang, tidak jelas berapa lama lagi dia bisa meneruskan bisnisnya ini. Sekitar setahun yang lalu, Bangkok Metropolitan Administration (BMA) memaksa para pedagang makanan jalanan yang berjualan di malam hari menghentikan bisnis dengan sekedar peringatan ringan. Saat ini, memang jam makan siang masih selamat dari aturan tersebut, tapi untuk berapa lama lagi? Tidak ada yang tahu. “Ini merupakan masalah besar. Kami harus menghidupi keluarga dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Aparat bisa saja tiba-tiba mengatakan ‘Eh, besok udah gak boleh jualan lagi ya!’”
Masalahnya, tidak ada yang benar-benar tahu soal kejelasan kebijakan bebas makanan jalanan ini.
Para penjual makanan pinggir jalan Bangkok sudah lama dikritik oleh pihak-pihak pengembang dan administratif kota. Ketika aparat menutup pasar malam On Nut yang populer demi pembangunan kondominium mewah pada Oktober 2015, para pedagang hanya diberikan waktu dua minggu untuk menutup bisnis mereka. Tahun lalu, lebih banyak lagi gerobak makanan yang ditutup di daerah Silom, Siam dan Nana. Belum lagi perintah penutupan Sukhumvit Soi 38, daerah kuliner populer di Thonglor. Suasana kian memanas di Maret 2017 ketika BMA mengumumkan bahwa para penjual makanan di daerah perumahan atas seperti Thonglor, Ekkamai dan Phra Khanong hanya punya waktu hingga 17 April untuk mengepak dagangan. Pukulan terakhir datang ketika BMA baru-baru ini mengumumkan kebijakan menggusur lapak kuliner di 50 distrik Bangkok pada akhir tahun ini.
Seperti yang diduga, reaksi kuat muncul menentang kebijakan ini. Berbagai media internasional (termasuk yang satu ini) mengutuk hilangnya peninggalan kultur utama kota Bangkok tersebut, hanya satu minggu sebelum CNN menyatakan Bangkok sebagai salah satu kota penyedia makanan terbaik di dunia. Nah di sinilah, keadaan mulai menjadi aneh. Penasihat BMA, Wanlop Suwandee seakan-akan memakan omongannya sendiri yang buru-buru mengeluarkan pernyataan ke CNN bahwa dia salah dikutip oleh The Nation dan menegaskan bahwa gerobak makanan jalanan tentu saja akan tetap dibolehkan berdagang di Khao San Road dan Yaowarat Road, keduanya daya tarik bagi turis. Sementara itu, Badan Pariwisata Thailand (TAT) sibuk mengirimkan keterangan pers membela rencana penggusuran para pedagang kaki lima itu. “Bangkok tetap menjadi tempat tujuan utama bagi pecinta makanan jalanan” dan “BMA menyadari bahwa makanan jalanan adalah bagian penting dari identitas kota Bangkok.” Namun kabarnya BMA akan “menerapkan standar praktik kebersihan universal dalam penyiapan makanan dan jasa” bagi pedagang yang beroperasi di zona-zona yang diizinkan. Sementara “di area-area Bangkok yang sibuk, para pedagang diharuskan untuk pindah ke beberapa daerah yang diizinkan dan pasar-pasar terdekat.”
Belum jelas dimana zona-zona yang dimaksud dan bagaimana praktek migrasi massal ini akan berlangsung. Biarpun banyak wacana seputar pelatihan, seragam dan regulasi dan pemindahan ribuan pedagang, hingga saat ini belum ada rencana jelas bagaimana semua wacana tersebut akan dilaksanakan. Yang jelas kebijakan ini sudah pasti akan mempengaruhi kehidupan semua penghuni Bangkok. Biarpun kebanyakan penduduk lokal mampu membayar 35 Baht (Rp13.500) untuk semangkuk bakmi di Sukhumvit Soi 38, tidak banyak yang mampu membayar 390 baht (Rp150.000) untuk sepiring toast alpukat dan sepotong roti tawar di titik-titik makan siang chi-chi di jalan yang sama.
“Makanan jalanan adalah bagian penting dari kultur Thailand, sesuatu yang dinikmati semua orang, tidak peduli kemampuan finansial mereka. Di Bangkok, ini adalah salah satu hal yang mempersatukan banyak orang,” kata Chawadee Nualkhair, blogger pengelola situs kuliner Bangkok Glutton sekaligus penulis buku Thailand’s Best Street Food. “Apabila banyak makanan jalanan Bangkok dihilangkan dan sisanya diatur dengan ketat, banyak inovasi makanan yang kerap muncul dari jalanan, seperti eksperimen fusion aneh tom yum ramen dan roti coklat akan terhambat dan dunia masakan akan menjadi stagnan. Dan tentunya, banyak peninggalan sejarah akan hilang.”
Sementara ini, banyak pedagang makanan harus hidup dalam ketidakpastian. Seorang penjual baan mee moo (bakmi babi panggang) yang telah berdagang di Silom selama lebih dari 20 tahun menunjukkan saya pesan resmi yang dia terima dari BMA, mengatakan bahwa tidak akan ada penggusuran, tapi mungkin akan ada pemindahan ke lokasi baru agar jalanan lebih bersih. Biarpun seluruh penduduk Bangkok akan terpengaruh kebijakan ini, sudah jelas bahwa nasib sekitar 30.000 pedagang makanan jalanan inilah yang menjadi taruhan. Biarpun beberapa stand makanan populer kemungkinan akan terus diikuti konsumer loyal di lokasi baru, pedagang-pedagang kecil sudah pasti akan tersingkir.
Di Silom, saya bertemu dengan seorang perempuan yang menjual babin (pancake kelapa manis) dengan suaminya hampir selama 20 tahun. Mereka hanya punya tiga hari sebelum diusir oleh aparat. “Pemerintah hanya memberikan kami waktu tiga hari untuk meninggalkan Chong Nonsi. Kami baru saja berdagang selama dua bulan di lokasi ini dan sekarang sudah diusir lagi,” katanya. Ketika ditanya mereka akan pindah kemana, dia tertawa sedih. “Saya tidak tahu! Kami harus bertahan hidup, tapi kalau kami pindah, kemungkinan pasti ke lokasi yang sepi. Kalau kami tidak diperbolehkan berjualan di area yang ramai, kami harus gimana dong?”
Tidak sengaja menguping percakapan kami, tetangga mereka yang berjualan khanom krok (manisan kelapa custard) menghentakkan kakinya di trotoar dan berteriak “Saya tidak tahu harus kemana. Saya ingin pindah ke Korea, tapi saya harus mencari uang dulu. Saya tidak mau lagi tinggal di Thailand kalau begini caranya.”
Mengingat berbagai pernyataan bertentangan dikeluarkan oleh BMA dan besarnya operasi pemindahan ini, sudah pasti cerita penggusuran ini belum selesai. Proses penggusuran sejauh ini masih panas dingin. Mayoritas pedagang jalanan di Sukhumvit Soi 38 masih beroperasi biarpun kebanyakan memindahkan gerobak mereka ke daerah indoor remang-remang, dan tidak lagi di atas trotoar. Banyak pedagang di Phra Khanong juga masih beroperasi seperti biasa. Namun pinggir jalan Thonglor, yang kini penuh dengan restoran Jepang, bar cocktail dan mal sudah bersih dari penjaja makanan jalanan.
“BMA sudah berkali-kali mengutarakan niat mereka untuk membersihkan trotoar, tapi kurang memiliki mandat politik yang kuat untuk merealisasikan ini sepenuhnya. Sekarang, harusnya mereka sudah memiliki kemampuan tersebut,” kata Chawadee. “Saya tidak yakin apakah ini kebijakan yang bisa bertahan dalam jangka panjang, tapi menarik untuk melihat apakah mereka benar-benar menepati janji tersebut. Belum tentu juga para pedagang jalanan mau menerima kebijakan ini.”
Saat ini kebanyakan pedagang merasa cobaan yang diberikan pemerintah ke mereka sudah cukup berat.
“Saya tidak tau mau ngapain nanti kalau benar-benar digusur. Kami sekarang gak papa, tapi rasanya berat ke depan nanti,” kata penjual baan mee yang saya temui, sambil menggelengkan kepalanya. “Kami sedih pemerintah kami sendiri tidak mendengarkan suara rakyatnya, tapi justru memikirkan pihak asing. Ketika media asing membuka mulut, baru mereka mendengarkan.”