Kebijakan naturalisasi pemain sepak bola asing seharusnya memberikan dampak jangka pendek peningkatan kualitas tim nasional sepakbola Indonesia. Masalahnya, sejak diterapkan pada 2010, hasilnya jauh panggang dari api. Pemain asing yang digaet jadi warga negara Indonesia belum memberi kontribusi berarti buat prestasi timnas.
Kecuali aksi heroik Cristian Gonzales di semifinal Piala AFF 2010 kontra Filipina, praktis prestasi pemain naturalisasi yang sampai ke telinga awam cuma Diego Michels yang sempat pacaran sama Nikita Willy. Timnas senior juga gagal menjuarai semua turnamen internasional yang diikutinya di tingkat Asia Tenggara dan Asia. Hampir satu dekade kebijakan ini berjalan, naturalisasi pemain terbukti lebih menguntungkan buat klub doang.
Videos by VICE
Regulasi Liga 1 Indonesia yang menjatah setiap klub memiliki empat pemain asing (dan salah satunya harus dari Asia) untuk berlaga di kompetisi tertinggi tanah air membuat proyek naturalisasi sangat menarik bagi klub. Untuk setiap satu pemain asingnya yang berhasil dinaturalisasi, klub berhak menambah satu pemain asing lagi.
Pemilik Bali United Pieter Tanuri mengonfirmasi bila naturalisasi adalah salah satu cara klub meraih prestasi secara instan. “Untuk prestasi jangka pendek, banyak yang ngakalin [lewat naturalisasi]. Kalau kami [Bali United] berpikirnya jangka panjang. Sekarang sudah ada sekolah elite akademi dan itu bagian dari proses pembinaan jangka panjang kami,” ujar Pieter kepada CNN Indonesia.
Dikonfirmasi lewat kesempatan berbeda, manajer Persib Bandung Umum Muchtar menyoroti keuntungan lain adanya pemain naturalisasi untuk klub: mempermudah administrasi. “Pemain asing kan terbatas ya di sini, kalau sudah dinaturalisasi, klub tidak pusing lagi. Mulai dari perizinan, urusan dengan agen, dan lain-lain jadi tidak ribet,” sorot Umuh.
Akal-akalan klub memanfaatkan naturalisasi guna memperkuat klub sebenarnya sudah terlihat dari kiprah Arema FC pada Indonesia Super League 2013. Pada masa transfer pemain musim itu, mereka mendatangkan pemain naturalisasi seperti Cristian Gonzales, Victor Igbonefo, dan Greg Nwokolo. Sebelumnya, mereka sudah punya pemain impor seperti Alberto Goncalves, Gustavo Lopez, dan Fabiano Beltrame.
Persipura Jayapura pada musim 2015 malah terang-terangan membantu mengurus naturalisasi bek asal Afrika Bio Paulin demi keuntungan timnya. Ketua Umum Persipura Benhur Tomi Mano mengaku klubnya akan untung kalau Bio dinaturalisasi. “Jadi kami bisa menambah pemain asing satu orang lagi karena Bio Paulin sudah jadi warga Indonesia,” ujar Benhur Tomi, dikutip Bola.
Melihat fenomena naturalisasi yang malah menguntungkan klub dan bukannya timnas, Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot S. Dewa Subroto ikut khawatir. Apalagi makin marak saja naturalisasi dilakukan sebatas untuk memuluskan jalan merekrut pemain asing tambahan.
“Kami harus ingat, jangan sampai ada kecenderungan naturalisasi umur di atas 30 tahun. Dutra itu terselamatkan karena ada urgensinya untuk timnas. Ia beruntung karena didukung dan didampingi Simon [McMenemy, pelatih timnas],” ucap Gatot, dilansir CNN Indonesia. Otavio Dutra yang dimaksud adalah bek asal Brasil yang kini bermain untuk Persebaya Surabaya. Usianya sudah 36, terhitung senja untuk pemain sepakbola aktif. Alhasil harapan Kemenpora agar naturalisasi hanya dilakukan untuk pemain 30 tahun ke bawah berlawanan dengan kenyataan.
Jika kita memeriksa daftar pemain naturalisasi Indonesia dua tahun belakangan, hampir semuanya berusia “uzur”. Di gelombang naturalisasi terbaru saja ada Hilton Moreira dari Sriwijaya FC yang sudah berusia 38 tahun, Yu Hyun Koo (36/Kalteng Putra), Yoo Jae-hoon (36/Madura United), dan Fabiano Beltrame (36/Madura United).
Hal lain yang menjadi indikasi kegagalan proyek naturalisasi untuk mendongkrak prestasi timnas ialah banyak pemain naturalisasi malah tidak pernah main untuk timnas. Sebut saja Guy Junior, Herman Dzumafo, Silvio Escobar, Osas Saha, O.K. John, dan seterusnya.
Sebagian pemain naturalisasi lain pernah membela timnas, tapi sebentar doang. Mereka misalnya Victor Igbone, Jhon van Beukering, Tonnie Cusell, Serginho van Dijk, dan Kim Jeffrey Kurniawan. Pemain naturalisasi yang cukup sering dipanggil timnas hanya Cristian Gonzales, Beto Goncalves, dan Stefano Lilipaly.
Menurut UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, agar pemain asing bisa dinaturalisasi, dia harus tinggal 5 tahun berturut-turut di Indonesia. Opsi lainnya adalah tinggal 10 tahun tidak berturut-turut di Indonesia serta membayar biaya Rp50 juta, yang akan mudah dipenuhi apabila klub si pemain mau menjadi sponsor.
Pemimpin Redaksi Pandit Football Ardy Nurhadi berpendapat, naturalisasi di satu sisi menguntungkan liga domestik menjadi semakin kompetitif. Tapi di sisi lain, kebijakan tersebut gagal mengobati masalah lini depan timnas yang kekurangan pemain berkualitas. Malah sekarang naturalisasi ikut merambah posisi gelandang dan bek. Semua pemain naturalisasi Indonesia kalau dikumpulin, sudah bisa jadi satu tim sendiri. Cek deh di line-up berikut. Yang kayak gini jelas mengancam kesempatan pemain lokal menjajal pertandingan level internasional.
Kita tentu tak bisa langsung menuding naturalisasi sebagai kebijakan yang tidak berguna. Hanya saja, melihat Qatar yang berhasil mencampur pemain naturalisasi dengan pemain lokal dengan sangat baik sehingga mampu menjadi juara Asia 2019—atau membandingkan konsep sebaliknya dari Brasil yang bisa menjadi juara dunia tanpa pemain asing yang dilokalkan—kayaknya problemnya bukan dari konsep naturalisasi, melainkan sistem dan pengambilan kebijakannya.
Bisa jadi benar sih yang dibilang Dex Glenniza: Daripada naturalisasi pemain, tampaknya memang lebih baik pemerintah mendukung naturalisasi pengurus sepakbolanya saja.