FYI.

This story is over 5 years old.

Jagat Internet

Melebur Batas Antara Musik dan Shitposting ala Pablo Cikaso

Kultur future funk, vaporwave, atau genre 'rekomendasi' Youtube melulu dianggap sebagai humor. Gelombang musisi muda, termasuk sosok di balik seri Majelis Kolektif, berusaha membalik persepsi tersebut.
Foto dari screenshot Youtube Pablo Cikaso.

Ketika mendengar nada-nada familiar dari lagu legendaris pembuka sinetron Tuyul dan Mbak Yul diaransemen ulang menjadi bernuansa psikedelik menyerupai sound khas band Australia Tame Impala, kira-kira apa reaksimu? Tertawa? Kampret sih emang. Niat banget nih yang bikin.

Setidaknya itu persepsi awalku ketika pertama kali mendengar 'If Kevin was Punjabi' karya pemilik akun Pablo Cikaso. Judulnya pun bernuansa parodi, menggabungkan nama Kevin Parker (sosok di balik Tame Impala) dan Raam Punjabi, bos besar Multivision Plus yang bertanggung jawab menghasilkan ratusan sinetron legendaris bagi millenial di Indonesia, termasuk Tuyul dan Mbak Yul.

Iklan

Masalahnya aransemen ulang, permainan simbol, dan kualitas produksi remix Pablo Cikaso menunjukkan kesungguhan: bukan hanya untuk bermain, namun juga menghadirkan estetika tersendiri. Kepada VICE, pemilik akun itu berkukuh kalau dia menghindari hanya mengunggah materi 'shitposting'. Pablo tak sekedar hanya ingin bikin senyum tersungging di bibir pendengarnya, tapi ia pun ingin juga diidentifikasi sebagai kreator musik serius. "Gue ya bikin musik karya gue," ujarnya.

Memasuki era shitposting sebagai panglima macam sekarang, sepertinya kita jadi susah menebak mana yang betul-betul bikin karya betulan, atau memiliki kesadaran terlibat gerakan kontrakultural di dunia maya, atau sebatas bikin materi ironis untuk tertawaan.

Di lanskap internet Tanah Air, persona internet Pablo Cikaso jadi salah satu sosok yang berupaya meleburkan batasan-batasan tersebut. Mengikuti jejak senior dalam produksi estetika Internet serupa macam Mardial, Pablo menjadi akun yang konsisten menghadirkan kombinasi future funk, chillwave, vaporwave, dan berbagai kombinasi sound dalam genre yang kini sering disebut-sebut sebagai "genre musik rekomendasi Youtube."

Pablo serius memikirkan aransemen garapannya, seperti saat menggabungkan lagu religi 'Sepohon Kayu' dengan beat ala Daft Punk. Di waktu bersamaan, Pablo doyan sekali membuat plesetan macam unggahan berlabel Majelis Kolektif. Jelas itu parodi akun agregator musik kondang Majestic Casual.

Iklan

Lapis-lapis ironi lah yang membuat banyak orang kesulitan bersikap, akankah kita menganggap vaporwave dan future funk misalnya yang berkembang di Internet sejak 2011 sebagai genre musik valid?

Waktu yang barangkali akan bisa menjawabnya sekian tahun lagi. Melihat apa yang sudah terjadi dengan Mardial (yang memproduksi beat untuk Ramengvrl, Yacko, hingga Joe Million) atau CVX yang kini pelan-pelan menghasilkan produksi musik 'serius' untuk konsumsi pendengar di luar kalangan penggemar shitposting, sangat mungkin Pablo akan mengikuti jejak mereka.

Untuk wawancara ini, Pablo ngotot tidak ingin membuka identitasnya (sekalipun ada temannya sendiri membuka banyak hal soal identitas anak muda yang lama tinggal di Bandung ini lewat postingan lain). Ya sudahlah, bagi pembaca budiman yang mau kepo mah silakan aja, hhe..

Berikut cuplikan obrolan VICE bareng Pablo, membahas strateginya menghasilkan karya-karyanya, kenapa dia ingin melampaui jebakan shitposting, dan pernyataan kalau karya-karyanya dibuat agar kamu enggak coba-coba narkoba!

VICE: Halo bung. Sebenarnya Pablo Cikaso mau dibikin anonim atau enggak sih?
Pablo: Orang-orang enggak usah tahu gue siapa. Teman-teman gue aja yang tahu.

Asal muasal moniker Pablo Cikaso gimana dulu?
Terinspirasi dari salah satu artis kubisme terkenal, Pablo Picasso. Sebenarnya gue kuliah di jurusan Design Komunikasi Visual (DKV), nah itulah kenapa gue ambil nama Pablo Picasso. Kebetulan lagi dulu gue ngekos di daerah namanya Cikaso, Bandung. Makanya sekalian gue plesetin aja. Sesimple itu doang alasannya, gue belajar empat tahun kuliah cuma buat mikir Pablo Cikaso doang. Umur gue masih muda sih, 20-an ke atas.

Iklan

Awalnya gimana lo bikin channel Pablo Cikaso?
Sebelumnya gue punya band elektronik gitu kan, dan memang musik tuh udah jadi keseharian gue aja. Tiap hari megang musik, emang jadi makanan. Gue kepikiran buat bikin apa yang gue pengen dan gue enggak mengekspektasikan kalau musik gue itu bakal didengar sama orang. Jadi ya sudah, gue cuma bikin apa yang gue pengen dan apa yang gue suka, dari beberapa referensi gue bikin, gue compile, gue upload dan gue cobain aja di internet. Awalnya dulu kan hanya video-video humor gitu kan bukan full musik. Kayak nge-mix antara lagu A dan lagu B oh ternyata nyambung juga. Terus ada tarian, gue sambungin sama local content, jadi masuk juga. Yang lain enggak suka ya enggak masalah, yang penting gue suka.

Bisa kasih tahu formula elo sebelum produksi konten?
Enggak ada formulasi khusus sih sebenarnya. Itu langsung aja keluar di otak gue. Tapi ya biasanya gue ogah produksi sesuatu yang viral banget. Enggak ada alasannya sih, cuma ya bukan gue aja. Misalnya nih yang viral banget sekarang itu "mashook Pak Eko" gue pengen bikin yang kayak gitu, tapi gue bingung gimana caranya biar dapat musiknya. Soalnya kan cocok-cocokan, kalau enggak cocok sama yang gue dengar kan kagak gue upload.

Elo lebih suka dianggap shitposting atau betulan bikin karya musik serius?
Sebenarnya nih ya, bikin karya musik ya bikin karya musik beneran. Tapi kalau di akun Pablo Cikaso ini orang mau bilang shitposting ya enggak apa-apa. Ya itu terserah orang mau ngomong apa. Kalau ada komentar-komentar begitu ya gue terima, enggak gue delete juga. Itu enggak ngaruh besar ke gue, yang penting dalam diri gue, dalam otak gue, ya gue bikin musik karya gue. Karya yang kalau gue dengerin ternyata enak ya oke… kalau kata orang lain enggak enak juga ya enggak apa-apa. Istilahnya, orang menganggap musik gue sebagai apapun itu bebas. Enggak berpengaruh besar sama musik yang akan diciptakan selanjutnya.

Iklan

Artinya mengakui kalau diri lo serius bikin karya musik kan di channel Pablo Cikaso?
Iya, karena sebenarnya banyak tawaran bikin musik gitu. Jadi ya gue mengkhususkan Pablo Cikaso istilahnya bikin "shistposting", kalau istilahnya itu "basian" yang ada di otak gue itu keluar di situ.

Kenapa kamu mengedepankan kesan parodi, kayak plesetan nama Majestic Casual, padahal secara substansi musikmu bukan parodi?
Ya itu, dulu kan gue di DKV, kan orangnya kayak gue semua, bahkan lebih parah dari gue becandanya. Nah gue tahu caranya untuk bikin orang lain minimal giginya kelihatan dikit lah. Kalau dulu kan gue sempat kepikiran bikin Pantone, nah yang warna-warna gue plesetin jadi "Punten" yang kalau dalam bahasa Sunda artinya "permisi." Nah gue ganti warnanya jadi orang lagi lewat. Gitu-gitu aja sih. Apa yang ada di lingkungan DKV gue manfaatin semua, ya sampah-sampah DKV nyangkut di otak gue.

Elo mau bikin apa lagi ke depan?
Untuk next project kebetulan sama Bujang Rimba. Itu tuh sekelompok orang aneh semua tapi kita sebagai anak DKV, kita mengandalkan media video jadi suatu konten yang aneh juga. Anehnya belom bisa gue jelasin detail, tapi intinya kita bebas berekspresi dan bikin video dan musik dan enggak terpaku sama apapun.

Eh, elo tuh suka ngedengerin musik-musik genre "rekomendasi Youtube"?
Enggak terlalu sih, karena sebenarnya gue jarang buka Youtube. Gue buka pas lagi enggak ada kerjaan aja.

Banyak banget komentar di video musik yang lo upload 'wah trippy banget' atau 'mengawang-awang'. Elo punya saran ga buat audiens soal tips menikmati karya musik dan video lo paling enak didengerin pas lagi ngapain?
Pas lagi gabut sama lagi jernih otaknya. Jangan pake narkoba! Soalnya kalau elo pake narkoba kagak bakal buka Youtube. Makanya gue bikin lagu dan video begitu buat mengganti narkoba, biar enggak make! No to drugs lah. Orang yang tidak menggunakan bisa "menikmati."

Oke deh Pablo. Makasih buat jawaban-jawabannya!