Dua pekan lalu, penulis Rainbow Rowell mengumumkan novel bestseller Eleanor & Park akan diangkat ke layar lebar dan segera masuk proses produksi. Familiar di kalangan penggemar genre Young Adult (YA), Eleanor & Park mengisahkan “kasih tak sampai dua remaja minoritas yang memperjuangkan cintanya meski sudah tahu hubungan mereka takkan mungkin bertahan.”
Tokoh utama laki-laki, Park, lahir dari keluarga Korea-Amerika. Status biracial ini agak bertentangan dengan latar pertengahan 80-an di Omaha.
Videos by VICE
“Aku protektif banget sama Park dan Eleanor,” bunyi twit Rowell. “Hati mereka begitu rapuh.”
Penulis kulit putih itu bilang “SANGAT GEMBIRA” dengan pengumumannya, walau tampaknya banyak kritikus dan penggemar YA Asia-Amerika enggak seantusias dia. Mereka justru kecewa berat karena novel ini kental dengan penggambaran tokoh yang rasis. Pertama, Rowell seakan asal-asalan saat menamakan Park (Park bukanlah nama pertama, melainkan marga yang sangat populer di Korea). Sang penulis mengakuinya di laman tanya jawab. Lucunya film Eleanor & Park digarap sutradara Jepang, padahal bukunya mengikuti kehidupan remaja berdarah Korea-Amerika.
Penggambaran Park sebagai cowok feminin, remaja Asia sipit, dan mata Josh—adik Park—yang berwarna cokelat seperti kacang almond juga bermasalah.
Ditambah lagi, Park seperti meremehkan dan membenci sesama orang Asia. Dia ngomong ke Eleanor, “Beda halnya dengan gadis Asia. Orang kulit putih menganggap mereka eksotis… Semua hal yang membuat gadis-gadis Asia terlihat eksotis, membuat laki-laki Asia terlihat seperti perempuan.” Kemudian ibu Park dimirip-miripkan dengan boneka Cina yang semakin memperkuat stereotip “eksotis” itu.
Oh, Park bisa kung fu. Dia mengeluarkan jurusnya saat melawan tukang bully. Eh tapi… bukannya kung fu dari Cina? Seni bela diri asal Korea mah namanya taekwondo.
Rowell dan rumah produksi Picturestart enggak merespons pertanyaan kami.
Aku memang belum pernah baca Eleanor & Park, tapi sudah mendapat gambaran isi bukunya seperti apa jika dilihat dari penggalan-penggalan kalimat yang dipermasalahkan para pembaca. Tak sedikit penggemar YA—yang notabene anak muda—memuji karya Rowell habis-habisan. Mereka tak mengindahkan kenyataan penulis favoritnya telah melanggengkan stereotip yang merendahkan orang Asia ke dalam karyanya. Dan kini, novel tersebut diadaptasi menjadi film.
Eleanor & Park telah mengundang kritik sejak dirilis pada 2012. Penulis dan pembaca keturunan Asia-Amerika sangat vokal mengkritik rasisme dalam buku pertama Rowell. Dalam blog Tumblr Angry Girl Comics yang kini sudah dihapus, komikus Wendy Xu menyamakan karakterisasi Park dengan tokoh vampir ikonik.
“Coba tebak siapa karakter [selain Park] yang ‘kulitnya bersih bersinar’? Edward Cullen,” tulis Wendy. “Ketika karakter POC digambarkan memiliki ciri fisik tak biasa seperti mata hijau, apakah itu artinya mereka menjadi seperti makhluk mitos… yang eksotis? Haruskah mereka digambarkan secara enggak realistis supaya perempuan tertarik kepadanya?”
Rowell mengaku bukunya mengarah ke fantasi. Dia bercerita ayahnya tentara dan ditugaskan ke Korea saat masih 17 tahun. Hati sang ayah tertambat pada seorang perempuan Korea, tapi hubungan mereka kandas. “Bagaimana jadinya jika penugasan itu ternyata cara nasib mempertemukan ayah dengan jodohnya — tapi dia malah meninggalkan perempuan itu di sana,” tulis Rowell dalam postingan blog Goodreads pada 2013. “Aku pikir dia bisa saja tinggal di sana, atau membawa perempuan itu ke sini. Omaha adalah kota militer; banyak yang menikah ketika dinas di luar negeri… Makanya … dalam Eleanor & Park, aku membuat ayah Park bertemu jodohnya ketika dikirim ke Korea setelah saudara laki-lakinya tewas dalam pertempuran di Vietnam. Dia membawa ibu Park pulang ke negaranya.”
Rasisme yang dialami orang Asia-Amerika sulit untuk diurai karena ada perpecahan kelas dan etnis yang sangat mendalam. Kritik budaya yang terlalu berpusat pada keturunan Asia Selatan dan Timur—serta bagaimana mereka berlomba-lomba memperoleh pengakuan media—dapat mengaburkan masalah kemiskinan dan tingkat penahanan tak proporsional yang kerap melanda komunitas Asia Tenggara.
Namun, perdebatan seputar representasi takkan ada ujungnya jika buku semacam Eleanor & Park masih digandrungi. Sakit rasanya menyaksikan penulis kulit putih terus memperoleh kesuksesan lewat kemalasannya mengkarakterisasikan tokoh Asia yang terlepas dari fetish dan stereotip rasial. Tapi apa boleh buat? Orang Asia sudah terbiasa dikesampingkan demi kepentingan mereka.
Follow Katie Way di Twitter.