Kita sering mendengar apabila melapor orang hilang perlu menunggu 1×24 jam terlebih dahulu. Apabila selama 1×24 jam korban tidak terlihat atau tidak bisa dihubungi, maka polisi baru bisa menerima laporan orang hilang tersebut.
Namun bagaimana jika ada orang hilang yang mengarah pada indikasi penculikan? Ada saksi kuat yang melihat atau mengetahui indikasi pidana penculikan tersebut? Apakah tetap harus menunggu 1×24 jam sampai korban tidak jelas keadaannya?
Videos by VICE
Dilema seperti ini terjadi belum lama di Surabaya, tepatnya pada 13 Januari 2023. Ada orang hilang di kawasan Bungurasih, yang benar-benar terindikasi mengalami penculikan, tapi laporannya tak diproses polisi karena dianggap belum 1×24 jam. Kasus yang dilaporkan Suara Surabaya itu lantas viral, dan seperti biasa, membuat citra polri makin buruk.
Menurut Dosen Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia, Syarif Nurhidayat, apabila ada indikasi kekerasan dan penculikan, maka polisi harus segera bertindak. Terlebih misal ada saksi atau orang yang mengetahui kejadiannya.
Jangankan kasus yang sudah memiliki indikasi kuat penculikan seperti di atas, laporan orang hilang pun tidak boleh menunggu sampai 1×24 jam. Tidak ada aturan tertulis apabila laporan orang hilang baru bisa diterima setelah korban tidak terlihat selama 1×24 jam.
“Enggak ada aturan secara normatif [apabila laporan orang hilang] baru bisa diproses selama 1×24 jam. Itu kepentingan teknis saja,” kata Syarif kepada VICE.
Dalam kasus di Surabaya ini, korban bernama Ana. Saat kejadian dia sedang berada di rumah mendapat penggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal. Orang yang berada di ujung telepon mengatakan apabila suaminya kecelakaan. Ana tentu saja panik. Terlebih suaminya tidak bisa dikontak.
Orang tidak dikenal itu meminta Ana menemui suaminya yang kecelakaan di Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Sekitar pukul 21.00 WIB, Ana berangkat menuju lokasi menggunakan ojek online untuk menemui suaminya yang sehari-hari bekerja di pusat perbelanjaan di Surabaya.
Keluarga Ana masih di rumah. Keadaan menjadi terang saat suami Ana pulang dengan sehat, tidak ada tanda kecelakaan seperti informasi sebelumnya. Dwi, adik Ana, menduga ini merupakan tindak penipuan.
Benar saja, Ana yang sampai di lokasi sesuai arahan penelepon justru dipaksa masuk ke minimus Elf berwarna hitam. “Menurut adik saya, pelakunya empat orang, laki-laki semua. Salah satu pelaku berbahasa Jawa,” kata Dwi, dikutip dari Suara Surabaya.
Ternyata tidak hanya Ana, sudah ada tiga korban perempuan lain di dalam mobil. Perhiasan, ponsel, sampai uang di rekening ludes. Uang di rekening dikuras dengan mobile banking. Tidak hanya itu, penculik juga meminta korban untuk menghubungi keluarganya. Agar bisa dibebaskan, setiap keluarga korban perlu mentransfer uang senilai Rp1,8 juta.
Ada korban yang kemudian dibebaskan lantaran keluarganya mentransfer uang jumlah tersebut. Namun Ana masih tertahan di mobil. Selagi mobil terus berjalan, Ana membagikan lokasi live-nya menggunakan ponsel yang lain. Ana membawa dua ponsel, satu dirampas penculik, yang satunya masih dia bawa. Dalam shareloc live tersebut, Ana terdeteksi melewati daerah Osowilangon, Lamongan, sampai kemudian Tuban.
Keluarga Ana yang panik kemudian berusaha melapor ke polisi. “Saya sudah lapor ke Polsek Asemrowo, lalu ke Polres Perak. Polisi menyuruh saya kembali besoknya, menunggu 1×24 jam. Jadi saya cari sendiri. Suaminya mengejar naik sepeda motor, sedangkan saya cari pinjaman mobil,” katanya.
Merujuk pada lokasi yang Ana bagikan, Dwi dan suami Ana sempat mengejar mobil Elf hitam di jalan menuju jalan ke Semarang, tol Jakarta, sampai Pemalang. Sayangnya mobil tidak terkejar. Dalam aplikasi Google Maps, jarak kendaraan keluarga dengan mobil penculik sekitar 20 kilometer.
Lokasi sudah tidak terlihat menjelang pukul 19.00 WIB. Ternyata Ana berhasil kabur saat meminta ke toilet SPBU. Saat berada di toilet, Ana kabur ke jalan raya dan masuk ke bus yang sedang lewat. “Dia tidak tahu lokasinya di mana. Setelah turun di Kampung Rambutan, dia mengabari suaminya. Karena posisi saya masih di Pekalongan, saya minta temannya yang di Bogor menjemput. Saya jemput adik saya di Bogor,” kata Dwi.
Merespon adanya kejadian ini, Kapolsek Asemrowo, Kota Surabaya, Kompol Hari Kurniawan, mengatakan apabila kasus Ana tidak masuk dalam unsur penculikan, namun lebih kepada penipuan dan pemerasan.
“Sebenarnya bukan penculikan, itu cenderung kayak gendam. Jadi, dia (Ana) di telepon seseorang, dia (terduga pelaku) bilang bahwa suaminya kecelakaan, namanya istri langsung mendatangi. Pas tiba di Bungurasih, ditepuk geger (punggung) langsung masuk mobil,” kata Hari, dikutip dari Detik.
Tidak masuknya unsur penculikan, menurut Hari, apabila merujuk pada Pasal 328 KUHP yang berbunyi, barangsiapa melarikan (menculik) orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud untuk membawa dia di bawah penguasaannya atau di bawah penguasaan orang lain dengan melawan hukum.
Sejauh ini korban belum bisa memberikan keterangan lantaran kondisinya yang masih syok. Polisi masih mendalami kasus ini.
Terlepas dari jenis kasus ini penculikan, penipuan, atau pemerasan, sesuatu yang janggal berupa keterangan apabila polisi meminta keluarga menunggu 1×24 jam agar bisa melaporkan kejadian di atas. Sementara dalam kondisi Ana kala itu, dia sudah dibawa oleh terduga penculik, dan kejadiannya masih berlangsung saat Dwi melapor ke polisi.
Pada prinsipnya, menurut Syarif, polisi perlu sigap merespons setiap laporan yang masuk. Kadar responnya sesuai kebutuhan. Dalam konteks laporan orang hilang yang normal, jika tidak ada indikasi penculikan atau kekerasan, langkah pertama polisi biasanya preventif.
Sebagai contoh, ada anggota keluarga yang biasanya pulang jam 16.00 WIB, namun sampai pukul 17.00 WIB belum pulang, ada kemungkinan apabila orang tersebut masih berada di lokasi terdekat. Selang satu jam dua jam kemudian, polisi bisa mengarahkan dan mendampingi keluarga untuk pencarian secara mandiri. Pengarahan dan pendampingan termasuk dalam respon.
Apabila dalam lingkaran terdekat keluarga, pertemanan, dan tempat yang sering dikunjungi korban tidak ditemukan, maka polisi perlu memperluas wilayah pencarian dengan sumber daya yang mereka miliki.
“Namun kasus di atas ada indikasi kuat tindak pidana yang dialami oleh korban, seharusnya itu segera ditindaklanjuti tanpa harus menunggu 1 x 24 jam. Itu bukan laporan orang hilang, mestinya ditangkap [oleh polisi] sebagai penculikan,” katanya. “Polisi enggak bisa [bilang] nanti dulu [memprosesnya].”
Anggapan apabila laporan orang hilang harus menunggu 1×24 jam bisa jadi dianggap wajar lantaran selalu diulang-ulang, sehingga terkesan itu sebuah aturan. Padahal tidak ada aturan khusus dan tertulis terkait jangka waktu tersebut.
“Bisa jadi bawaan juga, misal mohon maaf, ada polisi yang tidak cekatan bisa jadi, [dianggapnya] nanti juga pulang. Secara prinsip begitu ada laporan, polisi mestinya merespon sesuai kondisi. Tidak ada norma secara prinsip harus nunggu beberapa jam [untuk laporan orang hilang],” tandas Syarif.