Reinhart Rossy N. Sahaan melalangbuana dari Jakarta, hingga akhirnya tiba di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Di tengah jalan, hidupnya berbelok demi mencari ganja yang bisa menyembuhkan penyakit saraf yang dia derita. Namun perjuangannya sembuh pekan ini terancam berakhir di bui.
Kepolisian NTT menangkapnya pada 17 November 2019 saat sedang merebus ganja di indekos yang dia tempati, seperti dilansir Kompas. Awal pekan ini, dia menjalani tahap akhir sidang yang menentukan nasibnya. Putusan dibacakan majelis hakim pada sidang yang digelar Kamis, 11 Juni 2020.
Videos by VICE
Lelaki 37 tahun yang aslinya warga Ciracas Jatim itu hijrah ke NTT untuk membuka usaha. Hidupnya mulai berantakan gara-gara sakit saraf yang diderita sejak 2015. Kuasa Hukum Reinhart, Harie Nugraha Christen Lay, berusaha menyampaikan fakta itu kepada majelis hakim lewat nota pembelaan tertulis. “Penyakit itu kambuh kembali pada 2018,” kata Harie saat dikonfirmasi wartawan. Penyakit Reinhart dibuktikan dengan hasil tes radiologi di RS OMNI Pulomas, Jakarta.
Akibat gangguan saraf yang tak kunjung sembuh, Reinhart di perantauan mencari jawaban dari Internet. Jawaban yang dia peroleh, mariyuana bisa menjadi alternatif terapi. Caranya dengan meminum air rebusan ganja kering. Maka, dari kenalan di Labuan Bajo, dia memperoleh kontak Bursalino, alias Reno, orang yang dapat memasoknya dengan ganja kering. Kepada kuasa hukum, air rebusan mariyuana itu diakui Reinhart bisa meredakan rasa sakitnya.
Ketika mendengar ada transaksi ganja di Labuan Bajo, polisi mendalami informasi itu dan menggerebek indekos Reinhart. Dia dikenai tuntutan sesuai pasal 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika, dengan ancaman satu tahun penjara. Reinhart tidak bisa mendapat rehab, di mata polisi dan jaksa, karena barang bukti dianggap cukup banyak oleh aparat, terdiri atas 428 gram ganja kering di kamar serta 2,5 gram di saku celananya. Merujuk laporan Liputan6.com, Reno sampai sekarang masih buron.
Kasus Reinhart mengingatkan kita pada nasib tragis Fidelis Arie Sudewarto pada 2017. PNS dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat itu berusaha merawat istrinya yang menderita kanker memakai ganja. Polisi merangsek rumah Fidelis, menyita ganja yang dia budidayakan dan konsumsi sendiri, dan akhirnya sang istri meninggal. Lebih tragis lagi, Fidelis benar-benar dipenjara. Kasus itu sempat menjadi momentum awal masyarakat Indonesia mulai sadar manfaat medis ganja, dan bersimpati pada pemanfaatannya untuk tujuan kesehatan.
Kuasa hukum berharap hakim mempertimbangkan alasan kemanusiaan, terutama sakit yang diderita Reinhart, sehingga terdakwa bisa memperoleh keringanan. “Dia mengkonsumsi ganja untuk sembuhkan sakit,” tandas Jerry Jacob, kuasa hukum Reinhart lainnya, seperti dilansir merdeka.com.
Efektivitas terapi mariyuana untuk meredakan sakit saraf, di Indonesia, belum bisa diuji karena sikap aparat yang menolak pelonggaran kajian ilmiah ganja. Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Kombes Pol Krisno Siregar tahun lalu menyatakan kajian ilmiah, apalagi legalisasi pemanfaatan ganja medis, baru bisa dilakukan bila UU diubah.
“Sepanjang ganja masih masuk dalam golongan 1 Narkotika oleh Kemenkes RI, maka hukum Indonesia mengatur pelarangan untuk diedarkan. Jika mau melegalkan ganja, harus ubah Undang-Undang Narkotika dan ketentuan lainnya,” kata Krisno.
Di kawasan Asia Tenggara, yang selama ini terkenal menerapkan hukum anti-narkotika secara keras, Thailand termasuk jadi pelopor perubahan. Sejak awal tahun lalu, Negeri Gajah Putih sudah melegalkan kajian dan konsumsi ganja medis. Berkat Thailand, beberapa negara mulai melirik pendekatan serupa, termasuk Malaysia dan Vietnam.