Pengelolaan limbah medis yang berasal dari penanganan pandemi Covid-19 mendapatkan sorotan dari Ombudsman Republik Indonesia. Berdasarkan temuan yang dipaparkan kepada publik lewat konferensi pers virtual pada Kamis (4/2), rupanya banyak persoalan yang dihadapi oleh fasilitas penyedia layanan kesehatan (fasyankes).
Limbah medis Covid-19 tergolong ke dalam limbah B3 yang memerlukan pengelolaan khusus. Pada kenyataannya, selama hampir setahun pandemi, kendala tersebut belum juga bisa diatasi.
Videos by VICE
Menurut data Ombudsman yang sudah dikonfirmasi Kementerian Kesehatan, pada awal 2020 ada sebanyak 294,7 ton limbah medis per hari di mana 224,2 ton terolah, sementara 70,5 ton tidak terolah layak.
Per 31 Januari 2021, dengan total kasus aktif melebihi 175.000 dan 42 persen di antaranya dirawat di rumah sakit, diperkirakan ada 1,88 kilogram limbah medis per hari yang dihasilkan oleh satu pasien. Ketika diakumulasi, jumlahnya bisa mencapai 138 ton hari.
“Jika tidak diimbangi dengan pengelolaan limbah medis yang seharusnya, maka total limbah medis yang tidak terolah berpotensi mencapai 200 ton per hari, karena ada peningkatan jumlah pasien saat Covid-19,” kata anggota Ombudsman Mory Yana Gultom.
Ada sejumlah tahapan khusus untuk mengelola limbah medis yang diatur oleh pemerintah, utamanya yang membahayakan seperti Covid-19. Tahapan-tahapan tersebut dimulai dari pengurangan jumlah limbah, pemilahan, pengangkutan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, kemudian penimbunan atau penguburan. Pengolahan dan pengangkutan bisa secara mandiri atau melibatkan pihak ketiga.
Hanya saja, banyak prosedur yang dilanggar dalam berbagai fase tersebut yang tidak hanya berisiko tinggi bagi kesehatan manusia, tetapi juga keamanan lingkungan. Ombudsman menemukan bahwa banyak penghasil limbah medis, dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan, melakukan penyimpanan melebihi waktu seharusnya yaitu 2×24 jam. Tanpa tempat pembuangan sampah khusus, limbah disimpan secara sembarangan.
“Penghasil yang tidak memiliki TPS, khususnya Puskesmas, limbah disimpan di gudang, di bawah tangga, tong sampah, dan lain-lain,” ungkap Mary. Selain itu, produsen alat medis dan fasilitas pelayanan kesehatan tidak berupaya mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan, sehingga menambah rumit upaya pengelolaan.
Sampah dari hasil penanganan Covid-19, seperti jarum suntik maupun alat vaksin, tidak dipilah oleh penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan. Ini lantaran tugas tersebut dibebankan kepada para petugas kebersihan biasa yang masih belum memahami pentingnya membedakan limbah dari penyakit menular dengan yang lainnya.
“Jika satu limbah infectious [menular] saja misalnya tercampur dengan limbah yang lain, maka semua harus dianggap sebagai infectious dan pengelolaannya harus disesuaikan dengan peraturan limbah medis,” tutur Mary. Prosedur macam ini menurut Ombudsman kerap tidak dijalankan.
Dalam pertemuan dengan WHO pada pertengahan 2020, Kementerian Kesehatan mengungkap dari 2.889 rumah sakit, hanya 82 yang mempunyai insinerator atau alat pembakar sampah berizin. Banyak yang kemudian harus memakai jasa pihak ketiga demi menjalankan manajemen limbah sesuai standar.
Sebagai jalan pintas karena situasi darurat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat edaran berisi izin bagi rumah sakit untuk bisa memakai insinerator tanpa izin itu. “Prioritasnya adalah yang berizin. Akan tetapi, kalau rumah sakit itu belum berizin, kami berikan ruang. Ada diskresi di sini untuk dapat membakar di insineratornya,” jelas Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Viviene Ratnawati.
Kurangnya pengawasan menimbulkan masalah baru. Dari penelitian Ombudsman di lapangan ditemukan ada banyak rumah sakit yang tidak hanya menggunakan insinerator itu untuk membakar limbah Covid-19, tetapi juga limbah medis lainnya. Di beberapa kasus, Dinas LHK dan Dinas Kesehatan justru tidak sependapat tentang bahayanya hasil insinerasi limbah Covid-19.
“Dinas Lingkungan Hidup berpendapat hasil insinerasi dari pengolahan limbah medis merupakan limbah B3, sementara Dinas Kesehatan beranggapan residu bukan limbah B3 sehingga bisa diperlakukan seperti limbah biasa. Akibatnya, ini berdampak pada pengelolaan limbah medis,” kata Mary.
Tak sedikit fasilitas pelayanan kesehatan yang mengangkut limbah Covid-19 dengan mobil ambulans, bahkan memakai ojek online. Mereka tidak memakai alat pelindung diri (APD). Padahal, ini tindakan berbahaya sebab sangat berpotensi menimbulkan kontaminasi.
Pada saat bersamaan, tempat pengolahan limbah medis Covid-19 sangat terpusat di Jawa yaitu Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur. Sedangkan daerah seperti Papua sama sekali tidak memiliki fasilitas tersebut. Biaya mengangkut limbah dari unit penghasil ke tempat pengolahan pun meroket. Akibatnya, kata Ombudsman, banyak fasilitas pelayanan kesehatan tidak patuh pada standar.
“Ada banyak fasyankes yang seharusnya mengalokasikan biaya sangat mahal, dan untuk menekan biaya akhirnya penyimpanannya ditunggu dulu, baru akan disampaikan ke pengolah,” tutur Mary. Beberapa fasyankes malah mengolah secara mandiri dan menimbun limbah sendiri tanpa izin dan tidak sesuai standar karena masalah anggaran.
Sedangkan di Desa Cigudeg, Jawa Barat, ada 55 karung berisi limbah medis Covid-19 yang ditemukan oleh warga. Limbah diduga berasal dari Tangerang. “Di dalam karung kami temukan hazmat, jarum suntik, dan botol infus. Ada label alamatnya juga itu,” kata Kepala Desa Cigudeg Andi Supriadi.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi masalah limbah Covid-19. Namun, semakin memperumit situasi, dideteksi adanya upaya terkoordinasi menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah. Pada Januari 2021, Bea Cukai berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 550 karung berisi sarung tangan lateks bekas. Pelaku diduga berasal dari Malaysia yang mencoba masuk ke Provinsi Riau.
“Kami mengapresiasi Bea Cukai yang cermat dalam mengawasi agar Indonesia tak jadi tempat pembuangan limbah medis, apalagi yang infectious, apalagi yang terkait dengan Covid-19 ini,” kata anggota Ombudsman Alvin Lie.
Pemerintah pusat maupun daerah diminta untuk segera turun tangan menyelesaikan masalah-masalah yang sangat rumit ini sebab pandemi masih jauh dari kata akhir. Selain meningkatkan pengawasan dan melakukan tinjauan ulang terhadap kepatuhan standar, Ombudsman menyarankan pemerintah memberikan pelatihan soal pentingnya mengelola limbah Covid-19 sesuai peraturan yang berlaku.