Demo besar terjadi di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, sejak pukul 08.00 pagi WIT Senin (19/8). Lalu lintas mandeg, karena jalan utama diblokade massa aksi yang membakar ban, kayu, dan sejumlah barang di jalan raya, kantor DPRD juga dilalap api.
Aparat terpaksa memperingatkan warga pendatang untuk tidak keluar rumah sementara situasi semakin memanas. Demo serupa juga terjadi di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, dan di Sorong, Papua Barat.
Videos by VICE
Demontrasi besar ini terjadi merepons tindakan aparat Polrestabes Surabaya yang mendobrak asrama mahasiswa Papua Barat di Surabaya, lalu meringkus 42 (sebagian media menyebut 43) mahasiswa penghuni asrama tersebut, Sabtu (17/8) akhir pekan lalu. Sebelumnya, mahasiswa sudah terkepung tak bisa keluar masuk asrama sejak Jumat (16/8).
Kuasa hukum mahasiswa Papua Barat yang juga Ketua KontraS Surabaya Fatkhul Khoir menyampaikan, pengepungan dan penangkapan didasari laporan satu ormas yang menuduh mahasiswa Papua telah merusak tiang bendera dan membuang bendera merah putih ke selokan. Foto bendera tersebut beredar di grup WhatsApp.
“Kami lakukan upaya penegakan hukum terhadap peristiwa terhadap lambang negara yaitu bendera merah putih yang ditemukan patah kemudian jatuh di got,” kata Wakapolrestabes Surabaya AKBP Leonardus Simarmata, Sabtu (17/8), dikutip CNN Indonesia.
Ke-42 mahasiswa Papua Barat tersebut kemudian dilepas pada Minggu (18/8) dini hari karena tidak terbukti melakukan pembuangan bendera merah putih. “Dari hasil pemeriksaan (mereka) mengaku tidak mengetahui (perusakan bendera), makanya sementara kita pulangkan ke asrama yang bersangkutan,” ujar Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Sandi Nugroho, dilansir CNN Indonesia.
Menurut penghuni asrama, pengepungan dan penyergapan oleh aparat disertai dengan lontaran makian kasar. Salah seorang penghuni asrama, Dorlince Iyowau mengatakan kepada Tirto bahwa mereka “(Disergap) Kemarin sore jam 15.20 WIB. Kami kaget saat TNI mendobrak pintu disertai ‘Hei, anjing, babi, monyet keluar lo. Kalau berani. Hadapi kami di depan’,” ujar Dorlince Iyowau, penghuni asrama, kepada Tirto.
“Karena kami tidak tahu soal itu (bendera merah putih) di dalam got. Kami minta bernegosiasi, tapi TNI menolak,” kata Dorlince, “Dalam dua hari pemasangan (bendera itu), masih baik-baik saja. Munculnya permasalahan itu pada 16 Agustus kemarin, tiba-tiba ada di got.”
Saat pengepungan, polisi juga menembakkan gas air mata ke arah asrama. Lima orang mahasiswa terluka karena gas air mata dan karena pukulan aparat saat penyergapan terjadi.
Kronologi pengepungan dan penangkapan mahasiswa Papua Barat di Surabaya yang bisa dibaca di atas adalah versi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP).
Di saat hampir bersamaan, kekerasan aparat kepada mahasiswa Papua Barat juga terjadi di Semarang, Malang, Ambon, dan Ternate ketika aksi damai serentak digelar di berbagai kota, Kamis (15/8). Aksi itu dilakukan untuk memeringati 57 tahun Perjanjian New York (New York Agreement) yang mengatur pemindahan kekuasaan atas Papua dari Kerajaan Belanda. Kesepakatan antara Belanda dan Indonesia dengan ditengahi Amerika Serikat tersebut oleh kelompok pro pembebasan Papua ilegal karena tidak melibatkan perwakilan Papua sebagai pihak yang nasibnya sedang ditentukan.
Menurut Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Surya Anta, dikutip dari BBC Indonesia, aksi damai yang berujung ricuh di sejumlah kota mengakibatkan 12 orang peserta aksi luka berat dan belasan lain luka ringan.
Salah satu aksi damai yang berujung kekerasan terjadi di Malang, Jawa Timur. Tiga puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) terlibat lempar batu dan kejar-kejaran dengan warga dan aparat di Jalan Basuki Rahmat.
“Ada beberapa poin dari aspirasi mereka, yang arahnya menuntut kemerdekaan Papua. Dengan pertimbangan itu, izin tak kami keluarkan,” kata Kapolres Kota Malang AKBP Asfuri kepada Detik. Menurut Asfuri, tema aksi yang menuntut tanggung jawab Amerika Serikat atas penjajahan di Papua saat ini melanggar konstitusi sehingga izin demo tidak keluar.
Menurut keterangan Surya, peserta aksi di Malang menerima kekerasan dari aparat. “Dimaki-maki menggunakan nama binatang, dilempari dan dipukuli oleh aparat berpakaian preman. Enam orang terluka parah. Korban-korban yang ada di Malang, kepalanya robek terkena lemparan. Bibirnya pecah karena dipukul. Telinga juga tergores kena lemparan,” kata Surya, dikutip BBC Indonesia. AMP akan melaporkan peristiwa tersebut ke PBB sebagai laporan diskriminasi rasial.
Situasi mirip juga terjadi di Semarang, Jawa Tengah. Minggu (18/8), sebuah spanduk provokatif dipasang warga di depan Asrama Papua Semarangbertuliskan “Kami warga Kelurahan Candi tidak setuju Asrama West Papua digunakan untuk kegiatan yang mengarah pemisahan Papua dari NKRI. Jika hal tersebut dilakukan, kami sepakat menolak keberadaan West Papua di Kelurahan Candi. NKRI harga mati.”
Ney Sobolim, anggota AMP Semarang, mengatakan sudah meminta spanduk dicopot, namun ketua RW setempat dan warga bersikeras tetap memasangnya. “Kami mencoba membangun komunikasi dengan warga dan ketua RW untuk menanyakan alasan pemasangan spanduk ini. Tapi,justru mereka masuk ke dalam asrama dan meminta KTP dan KTM penghuni asrama dikumpulkan. Setelah itu mereka keluar membawa data diri kami tanpa mau menurunkan spanduk,” tutur Ney kepada Tirto. Selain pemasangan spanduk, pada sore hari, sekitar 50 anggota ormas bersama aparat berkumpul di depan asrama.
Perilaku rasialis yang dilakukan aparat dan ormas kepada mahasiswa Papua dalam aksi menolak New York Agreement langsung menjadi pemantik aksi lanjutan yang sangat berisiko membuat warga sipil yang tak tahu-menahu ibarat pelanduk di antara dua gajah yang berkelahi.
Sebab, bersamaan dengan kata “monyet” yang segera menjadi slogan perlawanan melawan rasialisme pada orang Papua, narasi langganan saban represi terkait Papua terjadi juga akan mengemuka: apabila mahasiswa Papua yang sekolah di Jawa diusir, orang Papua juga akan mengusir pendatang yang mencari nafkah di Papua.
Situasi pelanduk ini juga persis dengan apa yang terjadi di konflik Nduga, ketika 37 ribu warga sipil harus menjadi pengungsi sementara aparat Indonesia dan milisi separatis saling buru.