Saat masih muda dan kelewat polos, saya dan salah satu sahabat kepikiran menjual kaos sablonan. Kami membayangkan bisnis kaos ini bakal membuat kami jadi orang sukses atau setidaknya balik modal. Kenyataannya, tabungan saya yang cuma senilai Rp6 juta langsung amblas tujuh bulan setelah kami memulai usaha bareng. Idenya sederhana tapi menurut kami sangat cemerlang. Di kaos tersebut, kami akan mencetak frasa unik seperti “I love my parents equally” atau “I will find love” (ditambah ‘LOL’) di bawahnya.
Kami berpikir ide ini lucu dan ironis. Kami akhirnya memesan sekitar 200 kaos putih, memilih kalimat favorit (“I’m completely over my ex-girlfriend”), dan membuat akun di situs Etsy sebagai tempat jualan. Akan tetapi, kami tidak melakukan apa-apa lagi setelahnya. Barangnya masih ada di dalam kantong plastik dan disimpan di sebuah gudang. Kami berjanji akan mulai jualan suatu saat nanti, dan belum ada niatan merealisasikannya sampai sekarang.
Videos by VICE
Ada beberapa alasan mengapa rencana kami gagal total. Salah satunya karena kami tidak ada usaha sama sekali. Tapi, sebenarnya sih, kami sudah sial dari awal. Tak satu pun dari kami yang tertarik melakukan proyek di luar karier kami. Usaha kami tidak sukses karena hubungan persahabatan kami—sering bercanda dan jarang serius—tidak sejalan dengan model ekonomi yang ideal.
Batasan antara bisnis dan pertemanan menjadi kabur, dan tujuan pertemanan kami lebih penting dari segalanya. Hubungan kami sifatnya personal, bukan bisnis. Singkatnya, kami masih berteman sampai sekarang. Kami tidak memedulikan bisnis yang gagal itu, meskipun kami rugi hampir Rp15 juta. Tapi, bagaimana kalau kerugiannya lebih besar? Apa jadinya kalau misal saya mengandalkan hidup dari bisnis tersebut?
Tonton dokumenter VICE menyorot seorang dokter yang menjajakan alat euthanasia. Apakah tindakannya tidak etis? Dia sih justru percaya sudah menolong banyak orang:
Berbisnis dengan teman itu susah-susah gampang. Tidak percaya? Coba tanyakan saja ke Tessio di The Godfather atau Mark Zuckerberg. Oke, contoh pertama memang ekstrem sih (sebagian besar orang terdekat tidak akan membunuhmu setelah berkhianat seperti dalam keluarga mafia), sedangkan contoh bos Facebook agak kurang pas (kalian tidak punya banyak kesempatan untuk mengubah internet dan dituntut dua saudara kembar lulusan Harvard). Meskipun begitu, kalian perlu mempertimbangkannya sebelum mulai. Kedua contoh ini mengajarkan bahwa kalian harus memahami diri sendiri dan teman yang ingin diajak berbisnis.
“Saya rasa kalau kamu orangnya bertanggung jawab, maka kamu akan berteman dengan orang yang sifatnya mirip,” kata Brian Berkey, assistant professor jurusan hukum dan etika bisnis di Wharton School of Business di University of Pennsylvania, kepadaku lewat telepon. “Orang cenderung lebih mengabaikan kepentingan moral orang lain ketika mereka adalah bagian dari kelompok orang yang sangat mirip dengan mereka.”
Kalian harus sadar betul apa yang akan kalian hadapi dan bagaimana ini bisa memengaruhi hubungan dengan sahabat. Percayalah, persahabatan kalian akan berubah selamanya gara-gara bisnis. “Masalah utama yang paling relevan ada hubungannya dengan keuangan,” kata Berkey. Itu pun kalau bisnis kalian sukses berat.
Ada juga masalah lain yang bisa terjadi sebelum mengeluarkan modal. Misalnya, kurang komunikasi. Mashable menerbitkan artikel berguna yang menjelaskan strategi berbisnis tanpa “berakhir musuhan” sama sahabat. Menurut artikel tersebut, kalian harus membuat “aturan dasar”, menjaga argumentasi tidak kelewat batas, dan tetapkan peran masing-masing untuk menghindari miskomunikasi.
Inilah hal-hal utama yang harus disepakati sebelum melangkah lebih jauh. Para entrepreneur menganjurkan kita untuk “mendiskusikannya dari jauh-jauh hari” bersama sang sahabat; “perspektif baru sangat penting.”
Frances Dickes, yang mendirikan perusahaan periklanan dengan temannya, saat diwawancarai Guardian pada 2015 menyatakan berbisnis bareng sahabat mirip seperti menikah. Kalian harus sama-sama sepakat saat membagi tugas, mengatur manajemen waktu, dan seterusnya. Dengan kata lain, kalian harus memprioritaskan hal-hal tersebut kalau ingin bisnisnya sukses. Akan tetapi, hasilnya bisa saja tidak seperti yang kalian inginkan. Kalian harus menyadari bahwa hal itu patut diperjuangkan. (Seberapa sering kalian mendengar frasa, “Jangan campurkan bisnis dengan kesenangan?”)
Walaupun begitu, menjalankan bisnis dengan teman tidak selamanya buruk kok. Ada juga keuntungannya, dan kalian masih sangat mungkin melakukannya. Airbnb atau Ben and Jerry bisa sukses meskipun pendirinya saling berteman.
“Kepercayaan adalah kunci utama bisnis agar siapapun bisa sukses,” kata Tae Wan Kim, associate professor Etika Bisnis di Universitas Tepper School of Business, Carnegie Mellon. “Pedagang Yahudi di Amerika Serikat adalah contoh bagus karena mereka tidak menulis kontrak. Bisnisnya murni mengandalkan kepercayaan dan persahabatan. Kontrak memang penting dalam berbisnis, tetapi selalunya tidak komplet. Kalian bisa mengisi kekosongannya dengan kepercayaan, dan pertemanan bisa menciptakan kepercayaan. Pada dasarnya, bisnis keluarga kecil-kecilan punya konsep serupa.”
Berkey mengamininya. “Keuntungan berbisnis sama teman adalah kamu memiliki lebih banyak alasan memercayai orang yang bekerja sama denganmu,” katanya, sembari mengklarifikasi kalau kalian tetap berpeluang sukses asal percaya sama reputasi si teman tadi.
Intinya, buat dulu rencana yang matang. Jangan sampai kayak saya yang terlanjur beli 200 kaos bahan dan akhirnya menyesal belakangan.
Follow Alex Norcia di Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE US