Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.
Pamela Des Barres akan selalu dikenang sebagai perempuan yang sukses meniduri Mick Jagger, Jimmy Page, Keith Moon, Waylon Jennings, dan banyak dewa-dewa rock n’ roll lainnya. Des barres mengukir namanya dalam sejarah rock sebagai salah satu groupie asal Los Angeles yang paling terkenal sepanjang era keemasan musik rock 70-an. Dia sangat akrab dengan anggota Led Zeppelin, ikut berhura-hura mengendarai motor di dalam hotel, serta punya kenalan banyak musisi rock yang tajir mendadak berkat larisnya penjualan album masa itu. Namun jangan salah, dia juga pernah menulis musik sendiri sebagai anggota band The GTO (Girls Together Outrageously), band yang berisikan groupies, dipimpin langsung musisi legendaris Frank Zappa (Des Barres sering mengasuh anak-anak Zappa). Berdasarkan foto-foto di era tersebut, Des Barres terlihat sebagai sosok wanita menawan berambut merah mengenakan pakaikan vintage—tipe wanita yang ingin anda dekati apabila anda seorang rock star muda di zaman itu.
Videos by VICE
Sayangnya, Des Barres kurang dikenang lewat pencapaiannya yang paling signifikan: penulis buku bestseller. Buku pertamanya, I’m With the Band: Confessions of a Groupie berisikan pengalaman petualangannya di dunia rock and roll dan menjadi puncak daftar bestseller New York Times di 1987. (Edisi spesial buku ini memperingati ulang tahunnya ke 30 akan dirilis tahun ini.) Buku Des Barres berikutnya, Let’s Spend the Night Togehter, Take Another Little Piece of My Heart dan Rock Bottom mengisahkan pasang surutnya kehidupan ala rock ‘n’ roll. Kedua buku itu sama-sama masuk daftar bestseller. Des Barres menghabiskan hidupnya mengasah kemampuan menulis. Kebiasaan menulis dimulai sejak dia hobi mencorat-coret buku hariannya sebagai remaja di San Fernando Valley. Berbekal pengalaman kuliah Bahasa Inggris, dia membuka kelas menulis bagi perempuan di ruang tamu rumahnya 16 tahun terakhir. Dia juga kerap berkeliling AS maupun ke mancanegara berbagi ilmu. Dia menganggap menulis dan mengajar sebagai aspek terpenting kehidupannya.
Buku terbaru Des Barres, Let It Bleed: How to Write a Rockin’ Memoir merupakan semacam kursus kilat bagi mereka yang ingin menulis auto-biografi. Dirilis minggu lalu, buku tersebut mendorong siapapun untuk membeberkan rahasia pribadi terdalam tanpa rasa takut. Buku tersebut juga menawarkan kiat-kiat untuk melakukan ini lewat pengalaman pribadi Des Barres dan murid-muridnya.
Kami ngobrol dengan penulis buku berumur 68 tahun tersebut untuk berbincang tentang karya tulisannya, petualangannya di dunia rock ‘n’ roll dan mengapa kaum feminis yang membenci dirinya ternyata salah kaprah.
Noisey: Selama menulis I’m with the Band dulu, apakah anda sadar betapa signifikan cerita tersebut?
Pamela Des Barres: Sejak dulu saya sadar kehidupan sebagai groupie menarik dan penting bagi banyak orang. Saya berada di tengah kebangkitan musik rock dan menjadi bagian dari gerakan itu lewat The GTOs. Masih banyak orang tidak percaya ketika saya ceritakan orang-orang pesohor yang saya kenal atau tempat-tempat yang pernah saya datangi. Tidak ada yang percaya ketika saya ceritakan kisah Keith Moon menaruh kotak detergen ke dalam air mancur Century Plaza. Banyak pengalaman luar biasa yang saya alami dan saya ingin berbagi. Saya pernah mencoba menjadi seorang penyanyi. Pernah juga mencoba jadi aktor, tapi gagal. “Ya paling enggak saya masih bisa jadi penulis.”
Dapet ide untuk menulis buku dari mana?
Saya waktu itu tengah diwawancai oleh Stephen Davis untuk buku Hammer of the Gods (buku biografi Led Zeppelin) yang menjadi buku rock bestseller pertama. Dia bilang “Elo tulis buku sendiri gih” setelah wawancara selesai. Saat itu saya tengah mengambil kelas menulis kreatif di Every Woman’s Village di Los Angeles—sekarang lembaga pendidikan ini sudah tidak ada. Guru saya waktu itu lumayan gaul orangnya. Di akhir kelas dia mengatakan, “Cerita hidupmu mesti kamu tulis.”
Apakah anda tahu bahwa buku tentang groupies akan sangat sukses?
Tidak sama sekali. Saya tidak meyangka buku itu terus dicetak selama 30 tahun. Belum pernah ada kasus seperti ini, apalagi ketika penulisnya sosok yang tidak punya nama seperti saya. Saya merupakan salah satu non-selebriti pertama yang menulis memoar. Butuh waktu lama bagi saya untuk menjualnya. Saya harus mengalami banyak penolakan. William Morrow yang akhirnya merilis buku saya juga awalnya menolak. Ketika Hammer of the Gods keluar, barulah orang-orang sadar bahwa memoir rock ‘n’ roll bisa menjual. Mereka lantas menghubungi saya dan merilisnya. Saya sendiri kaget. Random House pernah menulis surat ke saya, “Maaf, kami tidak bisa terima tulisan anda. Ini tidak akan pernah jadi buku. Mungkin bisa jadi artikel di Rolling Stone.” Surat tersebut saya simpan dan ketika buku saya masuk daftar bestseller New York Times, saya mengirimkan daftar tersebut ke editor Random House. Tentu saja tidak ada balasan.
Buku anda penuh cerita pribadi, pengalaman meniduri rockstar terkenal. Bagaimana reaksi pembaca ketika buku itu baru terbit?
Reaksinya campur aduk. Saat itu tidak ada yang mengenal saya dan banyak orang berujar, “Siapa sih ini? Berani banget buka-bukaan tentang kehidupan seks pribadi dengan orang-orang gak penting?” Saya harus menjalani banyak wawancara kaku di beberapa talk show. Beberapa acara ini live dan banyak penonton di studio mencemooh saya. Awalnya saya kaget dan tidak tahu cara menghadapinya, tapi terus saya bilang aja, “Maaf ya kalian semua gak kesampean ngewe sama Mick Jagger. Mungkin diam-diam kalian ingin, tapi maaf ya gak kesampean. Itu pengalaman yang seru bagi saya.”
Pengalaman pertama saya masuk TV adalah Today Show. Saya takut sekali. Bryant Gumbel memperkenalkan saya sebagai “ratu para groupies.” Saya baru pertama kali mendengar istilah itu. Kata “groupie” kerap diasosiasikan dengan perempuan-perempuan nakal haus seks dan mendengar saya diperkenalkan sebagai groupie membuat perasaan saya campur aduk. Semenjak itu saya berusaha memperbaiki definisi kata tersebut dan mengingatkan orang bahwa semua selalu kembali ke kasih sayang.
Apakah anda merasa masuk kategori sosok feminis?
Mungkin saya akan dikenang sebagai semacam figur perintis yang seksual, seseorang yang tidak takut berhubungan seks, mengejar apa yang mereka mau, termasuk laki-laki idaman dan menulis tentang pengalamannya. AS adalah negara yang masih lumayan konservatif secara seksual. Banyak orang takut dengan seks. Saya gak ngerti. Kalau bukan karena seks, gimana cara kita bisa dilahirkan? Saya selalu menganggap feminisme adalah perempuan yang melakukan apa yang mereka ingin lakukan, dan itulah yang saya lakukan. Saya tidak “dipandang sebagai feminis ketika buku I’m With the Band keluar, malah saya dianggap patuh terhadap lelaki dan ini sebetulnya salah kaprah. Groupie masih dipandang sebagai wanita pelacur padahal saya tidak melihat diri saya seperti itu.
Apa makna “groupie” bagi anda?
Bagi saya groupie itu artinya berbagi cinta. Itu aja sebetulnya, dan kecintaan akan musik tentu saja, biarpun sekarang istilah itu lebih luas artinya. Anda bisa menjadi groupie dalam banyak hal. Semua bermula dari sebuah “kelompok” yang anda cintai. Anda ingin bersama kelompok tersebut. Anda ingin berbagi ide, berinteraksi dengan kelompok tersebut.
Kapan pertama kali dengar istilah groupie?
Saya sedang nongkong bareng Led Zeppelin di depan Hyatt House. Saat hendak masuk ke limousine, seseorang mengatakan, “Dia groupie.” Saya berpikir, “Oh, saya dapat istilah sendiri? Menarik. Awalnya istilah itu tidak memiliki konotasi negatif, tapi lama-lama menjadi istilah ejekan karena banyak yang tidak mengerti definisinya. Orang-orang yang tidak mendapat akses ke belakang panggung berpikir, “Kok cewek-cewek itu bisa ke belakang panggung? Pasti ngewe sama bandnya deh. Ih amit-amit.”
Tentu saja groupie tidak melulu soal seks. GTOs dulu sering membantu band-band yang sedang tur. Ketika Jeff Beck Group datang ke kota kami, kami temani mereka berbelanja. Saya membawa Zeppelin ke Nudie’s Rodeo Tailor dan toko baju vintage. Kami mendandani mereka dan mengasuh mereka—menjahitkan kancing di batu dan duduk menemani mereka nonton bola. Gak melulu soal seks dan faktanya tidak ada satupun anggota GTO yang berhubungan dengan Jeff Beck Group. Kami nongkrong bareng aja. Saya sudah lama berteman dengan Robert Plant dan kami tidak pernah berhubungan intim.
Bagaimana anak-anak band melihat fenomena groupie saat itu?
Robert banyak mengatakan hal positif tentang groupie, dan banyak musisi kelas atas rock tahu betapa pentingnya groupie. Groupies tidak akan pernah hilang. Tapi sekarang sulit untuk menjalin hubungan dengan band-band besar seperti dulu. Kami dulu tinggal nyeleneng masuk ke Whiskey a Go-Go dan duduk di pangkuan Mick Jagger. Sekarang mana bisa kayak gitu. Kami juga dulu mencoba membantu dengan cara mempromosikan band-band favorit kami. Saya sering mendengar dari pendengar saya, biasanya perempuan muda yang bertanya “Gimana caranya bisa ketemu si A dan B?” Saya tidak punya jawabannya di era modern ini. Zaman saya sangat berbeda. Dulu tinggal masuk ke klub terus ada David Bowie, Iggy Pop, anggota Ramones, anggota Sex Pistol. Sekarang hal semacam itu sudah tidak terjadi. Dulu tidak ada aturan, sekarang banyak.
Kate Hudson bilang karakternya di Almost Famous didasarkan atas anda?
Iya, dia juga bilang gitu ke saya. Saya menghadiri premiere film itu dan dia bilang menggunakan sosok saya sebagai inspirasi. Dia menempelkan foto-foto saya di ruangan ganti bajunya. Ini sebuah kehormatan, tapi sayang saya tidak mendapat honor apapun [tertawa.]
Di dalam film tersebut, karakter yang diperankan Hudson bilang groupies hadir di sekitar band karena musiknya. Cuma bedanya anda dekat dengan anggota-anggota bandnya.
Iya. Eranya juga berbeda saat itu. Itu zaman ‘cinta bebas’. Semua orang terbuka. Orang-orang tidak takut. John Lennon belum mati terbunuh. Rockstar bisa santai jalan-jalan di tempat umum. Sekarang udah gak bisa. Eh tapi kabarnya Bruce Springsteen hobi jalan-jalan ke mal. Coba saya bisa ketemu.
Apa reaksi yang anda dapatkan dari pihak laki-laki ketika I’m with the Band dirilis?
Kebanyakan ok-ok aja. Mungkin agak terkejut. Kurt Loder dari Rolling Stone bertanya ke Mick Jagger apabila dia sudah membaca buku saya atau belum. Mick menjawab, “Gue di sana kali.” Saya tidak merendahkan siapapun di buku itu. Saya tidak menghina siapapun. Saya hanya menceritakan pengalaman saya dan maknanya bagi saya.
Salah satu yang saya tangkap dari buku I’m with the Band adalah antusiasme anda yang tinggi. Sepertinya anda sangat menikmati kehidupan anda yang naik turun seperti roller coaster di zaman itu.
Banyak orang berusaha memberi kesan dekade 60-an dan 70-an di AS adalah era yang gelap, tapi cerita saya sangat menyenangkan. Jelas ada kasus patah hati sana sini, tapi saya memang diberkati oleh sifat yang optimis. Saya bisa bangkit, patah hati lagi, bangkit lagi, patah hati lagi. Faktanya adalah semua orang pernah mengalami patah hati. Bedanya yang mematahkan hati saya Jimmy page. Tapi semua orang mengalami kok, dan mungkin ini alasan orang bisa mengerti cerita saya. Ini adalah realitas menjadi perempuan muda yang besar di Hollywood dan semua kegilaannya.
Apa pengalaman paling berkesan anda dari era itu?
Sulit sekali memilih satu saja. Momen terpenting saya dengan band-band ini mungkin ketika berada di samping panggung. Ketika The Who memainkan lagu Tommy, Keith Moon menyuruh saya berdiri di samping set drumnya. Suatu keajaiban bahwa saya belum budeg. Ketika bareng Zeppelin, Jimmy menyuruh saya duduk di atas ampli agar saya bisa melihat semua penonton. Saya menyaksikan banyak perempuan di penonton dengan wajah iri.
Waktu itu memang saya masih muda. Saya baru 19 atau 20 tahun. Jimmy Page waktu itu baru 24 tahun. Kami semua masih muda. Ego belum benar-benar terbentuk sepenuhnya, sehinggasemuanya masih serba spontan. Waktu itu belum ada band rock beranggotakan perempuan, akibatnya menjadi groupie adalah cara terbaik mendekatkan diri dengan band yang sukses. Saya pernah di atas panggung bareng The Stones, The Kinks, The Doors, The Byrds, The Mothers, Zeppelin, The Who. Semua itu adalah pengalaman yang mengagumkan.