Air terjun, suasana sejuk pegunungan, ditambah bunyi-bunyian alam dan suara air mengalir teduh deras menuju hulu. Enggak tahu datang dari mana, tiba-tiba muncullah seorang perempuan yang baru bangun di pagi hari dalam raut dan rona wajah segar bahagia.
Hampir mustahil terjadi padaku tiap pagi pokoknya. Gambaran tersebut abadi terekam jelas di otakku sejak pertama kali kusimak di televisi era awal 2000-an dalam sebuah iklan minuman pereda panas dalam. Waktu kecil aku menyebutnya sebagai era kejayaan minuman penyegar. Suatu era di mana produk pereda panas dalam beredar lebih banyak dari produk mie instan (re: disalahkan sebagai penyebab panas dalam) yang beredar.
Oke, bolehlah saya dibilang berlebihan, tapi kalau dipikir-pikir milennials betul-betul kenyang terpapar iklan produk pereda panas dalam seperti Adem S*ri, La*egar, Cap K*ki T*ga, S*gar Dingin, dan masih banyak lagi. Apakah ini menandakan milennials memang rentan diterpa panas dalam? Atau sebenarnya itu cuma gejala sakit bikin-bikinan industri doang?
Videos by VICE
Aku sangat tertarik mendalami sebutan penyakit yang khas Indonesia, lalu menulis hasil liputanku tentang topik-topik tadi buat VICE. Mulai dari ‘masuk angin’ hingga asumsi minum es bikin kita pilek.
Dalam berbagai iklan minuman penyegar, panas dalam kerap muncul sebagai tokoh antagonis yang jadi penyebab berbagai bentuk penyakit ‘kecil-kecilan’ tapi menyebalkan. Sebut saja munculnya benda mirip kutil di mulut, sariawan, bibir pecah-pecah, sakit tenggorokan, hingga susah pup. Kesannya, “panas dalam” selalu salah. Tai-tainya nih, panas dalam serupa dengan kasus “masuk angin”. Semua penyebab penyakit disimplifikasi jadi panas dalam. Kan siapa tahu sariawan ternyata bukan sekadar panas dalam, melainkan bentuk penyakit lain yang lebih parah.
“Sebetulnya dalam dunia medis, [istilah] panas dalam itu enggak dikenal. Tapi, ada saja seseorang yang punya keluhan bahwa ada perasaan panas dalam tubuhnya,” jelas Dokter Umum Andi Khomeini Takdir Haruni dari Ikatan Dokter Indonesia. “Kalau kita cek [pasien tersebut] bisa jadi dia sedang flu atau radang. Bisa radang kelenjar amandel atau radang kelenjar faring.”
Nah, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dokter Andi, “panas dalam” sebetulnya bukanlah penyakit, melainkan gejala penyakit sekaligus bentuk penyampaian sederhana mayoritas masyarakat Indonesia ketika sedang merasakan panas dari dalam tubuhnya. Panas tersebut bisa dalam bentuk demam atau radang di beberapa bagian tubuh. Hal ini sering terjadi di negara tropis seperti Indonesia, yang punya dua musim dan mengalami musim pancaroba.
“Kalau sedang ada inflamasi (peradangan) biasanya disertai dengan perubahan daya tahan mukosa dalam badan, salah satu yang bisa muncul itu seperti sariawan,” jelas Dokter Andi. “Nah, peradangan inilah yang kita harus cari tahu asalnya. Yang paling sering di Indonesia itu karena virus dan bakteri. Biasanya kejadian pada saat musim pancaroba di mana daya tahan tubuh sedang lemah.”
Selain dokter Andi, ada dokter Bahdar Johan, ahli penyakit dalam dari RS Internasional Bintaro. Dia menyatakan istilah panas dalam tak dikenal dalam dunia kedokteran. Karena, layaknya masuk angin, panas dalam dikeluhkan setiap orang dengan gejala yang berbeda-beda. Sebetulnya yang mereka alami itu gejala dari penyakit yang lain.
“Hanya saja banyak orang telanjur menganggap gejala yang timbul sebagai tanda panas dalam,” katanya Dokter Bahdar. “Orang yang mengeluh terkena panas dalam itu seringkali tidak demam. Suhu tubuhnya normal ketika diukur dengan termometer.”
Lantas apa panas dalam bisa diobati? Benarkah beragam iklan mutakhir pereda panas tersebut cukup ampuh meredakan panas dalam?
Dokter Andi menjelaskan padaku bahwa minuman pereda ‘panas dalam’ dan suplemen jika ditelusuri terbuat dari bahan herbal, mineral, dan vitamin yang dipercaya bisa meredakan panas dalam. Kepercayaan itu berlangsung sejak lama dan diwariskan secara turun-menurun. Namun tentu saja obat-obatan dan berbagai produk minuman itu bukan satu-satunya penyembuh panas dalam. Makanan, pola makan, dan nutrisi yang cukup juga jadi faktor penting penyembuhan.
“Kalau daya tahan tubuh sudah bagus, kumannya sudah kalah, nutrisi cukup, daya tahan naik lagi. Nah ‘panas dalam’ otomatis sembuh,” tambah Dokter Andi.
Jika panas dalam dikaitkan dengan urusan dagang, dalam buku 63 Kasus Pemasaran Terkini Indonesia yang ditulis oleh Istijanto Oei (2008), disebutkan bahwa skena minuman penyegar sudah lumayan sesak karena banyak pebisnis bermain di sana. Apalagi belakangan muncul beragam produk minuman isotonik yang menambahkan vitamin C dalam minuman mereka, pasar pereda panas dalam malah jadi semakin sempit. Kendati telah sesak, nyatanya pemain baru tetap bermunculan.
Aku menghubungi Asnan Furinto, Praktisi dan Pengamat Pemasaran Strategis dari Universitas Bina Nusantara. Asnan menerangkan bahwa, produk pereda panas dalam bisa sukses di pasaran karena memanfaatkan efek plasebo. Inilah yang menyebabkan perebutan pasar begitu besar.
“Jadi sebenarnya secara medis enggak ada yang sakit. Karena yang namanya masuk angin dan panas dalam itu kan istilah di Indonesia,” kata Asnan kepadaku. “Tapi karena memberikan efek plasebo, produk-produk tersebut jadi dianggap manjur, karena ada sugesti lebih sehat dan terasa sudah sembuh. Padahal kan sebetulnya tidak perlu minum minuman penyegar itu.”
Selain itu, dari segi strategi marketing, Asnan menilai produk-produk pereda panas dalam sukses menempatkan produknya dalam jajaran produk rumah tangga, bukan sebagai obat. Sehingga, produk-produk ini bukanlah barang yang baru dibeli jika dibutuhkan seperti obat, melainkan bisa dikonsumsi kapanpun, terutama jika merasa tidak sehat.
Nah, kan ternyata sabab-musabab “panas dalam” enggak jauh beda dari “masuk angin”. Keduanya sama-sama cara yang dipakai kebanyakan masyarakat Indonesia untuk mendeskripsikan gejala penyakit yang dideritanya. Pantesan susah banget mau bangun tidur sebahagia model di iklan larutan yang segar-segar. Ternyata plasebo doang. Huh.