Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.
Melody Alan dikenal banyak orang karena reputasinya sebagai aktivis pembela kaum kota miskin di Ibu Kota Manila—tempatnya mengajar di sebuah TK dan menjadi konsultan bagi pasangan suami istri yang tengah menghadapi masalah. Saat anak bungsunya pulang dari sekolah sembari terisak, Alan kalang kabut. Sang anak ketakutan setelah mendengar rumor ayahnya pengguna obat-obatan. Belakangan, pembunuhan pengguna narkoba adalah hal yang lazim terjadi di Filipina. Mendengar tuturan anaknya, Alan tahu perkawinannya nyaris berakhir.
Videos by VICE
Suami Alan kini berbagi rumah dengan perempuan lain. Alan dan suaminya tak pernah duduk bersama, menyelesaikan masalah pengasuhan anak. Kemungkian sampai akhir hidup mereka, Alan dan pasangannya terpisah dalam situasi bak neraka—tak lagi tinggal bersama tapi juga tidak mungkin bercerai. Di Filipina, perceraian dianggap pelanggaran hukum pidana.
Selain Filipina, negara lain di Planet Bumi yang secara resmi mengharamkan perceraian adalah Vatikan. Filipina adalah negara mayoritas katolik yang masih melarang aborsi dan menganggap obrolan tentang seks sebagai sebuah tabu. Konservatisme negara itu kini pelan-pelan mulai digugat warga. Jajak pendapat menunjukan mayoritas penduduk Filipina mendukung legalisasi perceraian bagi pasangan yang sudah pisah ranjang.
Agustus 2016, kelompok advokasi perempuan Gabriela Women’s Party mengajukan tuntutan revisi UU 2380 untuk kelima kalinya, guna kembali membuka peluang legalisasi perceraian. Tuntutan aktivis hampir pasti menghadapi sebuah rintangan besar. Presiden Rodrigo Duterte dan gereja katolik Filipina memang tidak akur, tapi sang Presiden yang besar mulut itu dalam kampanye pernah menentang ide legalisasi perceraian.
Para pendukung perceraian tak putus asa. Mereka melihat peluang yang bisa dieksploitasi dari sosok Duterte. Aktivis yang tergabung dalam Divorce Advocates of the Philippines (DAP)—mayoritas anggotanya adalah warga Filipina yang percaya semua orang punya hak untuk mengajukan perceraian—berniat memanfaatkan momentum percaturan politik filipina saat ini.
DAP, anggotanya kini mencapai lebih dari 10.000 orang, adalah satu-satunya kelompok advokasi yang terang-terangan memperjuangkan legalisasi perceraian. Lembaga ini bahkan tercatat resmi dalam pemerintahan. Grup ini sepenuhnya dibiayai oleh iuran anggotanya sendiri.
Dua tahun lalu, Alan bergabung dengan DAP dan kini menjabat sebagai Sekretaris Jenderal grup advokasi tersebut. “Anggota kami mendukung perceraian tapi tak banyak yang mengemukannya di publik—mereka tak ingin keluarga mereka sadar, terutama anak-anak mereka,” tutur Alan. “Tentu saja, perceraian tak akan terjadi jika kita terus sembunyi-sembunyi seperti ini.”
Ketakutan berterus terang cuma satu hambatan kecil. Pelobi DAP harus berhadapan dengan anggota kongres yang mayoritas laki-laki. Tentu saja, ada semacam rintangan kultural yang harus mereka atasi. Inilah musabab lambannya pengesahan undang-undang legalisasi penceraian di Filipina.
“Di Filipina, pria-pria sukses dan kaya kerap punya selingkuhan. Hal ini tak dipandang sesuatu yang memalukan—malah kadang dirayakan,” kata Jean Encinas-Franco, seorang asisten professor di University of Philippines-Diliman (UPD) yang mendalami topik hak perempuan dan politik legislatif. “Kalau mereka berani melakukan perselingkuhan, kenapa mereka tak bisa mengesahkan undang-undang perceraian?”
Di Filipina, karena tak ada perceraian, yang bisa ditempuh adalah pembatalan pernikahan. Masalahnya pembatalan pernikah hampir mustahil dikabulkan. Sebuah pernikahan dinyatakan batal bila ditemukan ketidakmampuan psikologis oleh salah satu pasangan. Musabab lain yang menyebabkan pembatalan pernikahan lainnya sangat spesifik seperti penyakit menular seksual yang berbahaya, atau terjadinya pernikahan paksa. Rumah tangga yang tak bahagia, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga tak bisa dijadikan alasan pasangan bercerai.
Jika nekat mengajukan pembatalan pernikahan, prosesnya akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya dan membutuhkan dana tak sedikit. Ecclesiastical annulment (pembatalan pernikahan lewat gereja) bisa menghabiskan sekurang-kurangnya $600 (hampir Rp8 juta), seperti yang dilansir oleh Metropolitan Tribunal of Manila. Pembatalan pernikahan lewat catatan sipil lebih mahal lagi. Mengacu pada catatan Metropolitan Tribunal of Manila, ongkosnya bisa mencapai $6.000 (setara Rp53 juta) atau malah lebih. Ongkos itu bukan jumlah yang kecil bagi mayoritas penduduk Filipina. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Filipina, Lebih dari 26 persen warga negara itu hidup di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pendapatan warga Filipina dalam sebulan adalah $300 (sekitar Rp4 juta).
“Mereka yang menginginkan perceraian hidup di bawah kemiskinan,” ujar Maviv Millora, ketua umum DAP. “Biaya pembatalan pernikahan tak terjangkau dan prosesnya memerlukan banyak dokumen.”
Pengadilan di seluruh wilayah Filipina kerap dituding terlalu lembek oleh Office of the Solicitor General (OSG) dan dicap sebagai “lumbung pembatalan pernikahan.” Proses pembatalan pernikahan dianggap lebih mudah dikabulkan agar jaksa, pengacara dan psikologis dapat tambahan uang lembur.
“Proses pembatalan pernikahan makan banyak biaya dan sering dikorupsi. Ujung-ujungnya fungsinya hampir sama dengan perceraian—tapi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan sudah tak peduli lagi.” ujar Encinas-Franco.
Seorang anggota DAP yang menolak disebut namanya, sudah mengantongi semua persyaratan untuk mengajukan pembatalan pernikahan, namun usaha masih belum membuahkan hasil. Menurut banyak anggota DAP, ketika perempuan ini mengajukan pembatalan pernikahan pada 2013, permohonannya dikabulkan oleh Pengadilan Angeles City dua tahun sesudahnya. Malangnya, OSG mengajukan banding terhadap putusan tersebut dengan mengatakan bahwa perselingkuhan tak bisa dijadikan alasan pembatalan pernikahan.
“Kamu bisa saja menghabiskan ratusan dolar, tapi pada akhirnya tak ada kepastian permohonanmu akan dikabulkan bahkan setelah menunggu bertahun-tahun lamanya,” kata Millora.
DAP meyakini sebagian pejabat tinggi memang berniat menghalangi proses legalisasi perceraian. Caranya dengan membuat proses pembatalan pernikahan makin pelik. Sampai naskah ini dilansir, Jaksa Agung Jose C. Calida menolak berkomentar mengenai masalah pembatalan pernikahan dan perceraian.
Jan Robert Go, seorang asisten professor ilmu politik di UPD, mengatakan bagi kaum kelas bawah dan menengah, satu-satu cara mengakhiri pernikahan adalah melakukan pisah ranjang seperti yang terjadi pada Alan dan Millora.
Beleid yang diusulkan para pendukung legalisasi perceraian akan menawarkan sistem “perceraian ala Filipina”, mengutip keterangan Millora. Tidak ada pembagian harta gono-gini. Aktivis menawarkan pihak yang memiliki pasangan dengan penghasilan lebih besar otomatis membiayai kebutuhan hidup pasangannya selama setahun. Anak hasil pernikahan juga berhak memilih tinggal dengan siapa saat berusia tujuh tahun.
“Kami berjuang agar semua orang bisa mengajukan cerai jika salah satu pasangan tak lagi bahagia,” kata Gloria Mandap, Bendahara DAP.
Sejatinya, rintangan terbesar yang harus dilalui para pendukung perceraian di Filipina tetap saja Gereja—yang masih memegang kepercayaan bahwa meski pembatalan bisa dilakukan, namun memisahkan hubungan suami-istri merupakan dosa besar.
“Perceraian memberikan kesempatan seseorang mencoba menjalin rumah tangga lagi, meski gagal pada kesempatan pertama,” ujar Socrates Villegas, Presiden Catholic Bishops’ Conference of the Philippines (CBCP), dalam sebuah pernyataan pada 2015. Sang uskup populer ini dikenal bersimpati pada tuntutan aktivis perceraian. “Gampangnya, kita baru bisa mengganti mobil lama kita dengan mobil yang lebih baik setelah melakukan test drive.”
CBCP menolak memberikan komentar terkait mengapa pembatalan bisa dilakukan sementara perceraian tidak.
“Kalau perceraian adalah dosa, lalu apa yang membedakan pembatalan pernikahan dan perceraian jika fungsinya sama-sama untuk memisahkan dua insan manusia?’ tanya Alan. “Sebenarnya, Gereja memperbolehkan pembatalan pernikahan karena mereka menerima uang dari proses itu—kalau perceraian beda kasus, mereka sama sekali tak terlibat.”
Di sisi lain, kaum minoritas muslim—yang tak menikah di bawah Gereja—bisa bercerai secara legal tanpa banyak rintangan. Hal menyebabkan banyak warga Filipina yang pindah agama dari Katolik ke Islam sekadar untuk bisa bercerai.
Di masa datang, sekuat apapun pergerakan akar rumput memperjuangkan perceraian yang legal,beleid yang diajukan harus mendapatkan persetujuan Presiden agar diperhitungkan oleh kongres. “Mungkin kalau Duterte mau berubah pikiran, undang-undang perceraian akan disetujui kongres—itu yang bisa kita harapkan sekarang. Duterte berubah pikiran dalam sekejap,” kata Robert Go.
Pernikahan Duterte sendiri telah dibatalkan, karena istrinya sukses membuktikan ke gereja bila presiden 70 tahun itu tak memiliki kesiapan psikologis berumah tangga. Kerenggangan hubungan antara Duterte dengan Gereja Katolik bisa dimanfaatkan sebagai celah oleh para pendukung legalisasi perceraian di seluruh Filipina.
“Duterte menginginkan pemisahan total Gereja dari pemerintahan. Sebelumnya, Gereja selalu punya pengaruh kuat dalam pemerintahan,” ujar Mandap. “Kami berencana memanfaatkan situasi ini sebisanya.”
Follow Justin Heifetz di Twitter.