Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30/2021 yang terbit akhir Oktober lalu, belakangan diserang berbagai politikus konservatif dan ormas keagamaan. Beleid itu didorong oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai terobosan tata cara pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang bisa diadopsi berbagai perguruan tinggi.
Namun, sejak awal November 2021, muncul beberapa postingan di medsos, menuding beberapa pasal di dalam permendikbud tersebut melegalkan hubungan seksual di luar nikah bagi mahasiswa alias zina. Postingan itu dikritik banyak netizen Twitter sebagai tafsir berlebihan terhadap satu frasa saja, namun wacana tersebut terlanjur menjadi bola liar.
Videos by VICE
Pasal yang disorot adalah pasal 5 ayat 2, beserta enam keterangan turunannya. Sebagian perwakilan umat muslim muntab, karena muncul definisi kekerasan seksual sebagai tindakan dalam hubungan dua pihak yang sifatnya “tanpa persetujuan korban”.
Dalam tafsir agamawan maupun politikus dari partai berbasis agama, pasal 5 Permendikbud Nomor 30/2021 berarti mengizinkan adanya hubungan seksual oleh warga atau di lingkungan kampus, asalkan terjadi secara suka sama suka. Tafsir macam itu misalnya, disuarakan oleh Hidayat Nur Wahid, selaku Wakil Ketua MPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Definisi soal hubungan konsensual menurut Hidayat adalah nilai-nilai Barat.
“Kami dukung upaya Mendikbudristek memberantas kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan kampus serta lembaga pendidikan lainnya. Tapi, harus sesuai dengan Pancasila, UUD-NRI 1945, dan norma agama serta norma kebudayaan yang berlaku,” kata Hidayat dalam keterangan tertulis yang dikutip Detik.com pada 6 November 2021. “[Naskah permendikbud 30/2021] terkesan permisif…. Juga melegalkan praktik hubungan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tak sesuai dengan norma agama, hukum, serta adat istiadat di Indonesia, dengan berlindung di balik budaya Barat yaitu dalih persetujuan.”
Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diklitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyimpulkan hal senada, mendesak permendikbud yang didorong Nadiem Makarim itu agar segera direvisi. Pangkal persoalannya lagi-lagi pasal 5 ayat 2 dalam beleid tersebut. Selain Muhammadiyah, sekitar 13 organisasi yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) menyuarakan sikap serupa.
Seperti dilansir Republika, Muhammadiyah menganggap pasal seputar definisi hubungan konsensual “bertentangan dengan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Namun selain perkara nilai-nilai agama, Muhammadiyah juga menganggap permendikbud itu terlalu mengekang kewenangan kampus saat menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga masing-masing.
“Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 mengatur norma yang bersifat terlalu rigid dan mengurangi otonomi kelembagaan perguruan tinggi,” demikian kutipan pernyataan Diklitbang PP Muhammadiyah, yang diteken Ketua Majelis Diktilitbang Lincollin Arsyad.
Serangan berbagai politikus partai berbasis agama dan ormas keagamaan itu disorot oleh Komisi X DPR RI yang mengatur isu pendidikan. DPR akan memanggil Menteri Nadiem pada 12 November mendatang.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, saat dihubungi Tribunnews, berharap Nadiem tidak terlalu ngotot mempertahankan pasal 5, mengingat semangat permendikbud nomor 30/2021 sebetulnya sangat bagus. Dia menyarankan revisi terbatas, agar kelompok konservatif tidak emosional merespons beleid tersebut.
“Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi, baik secara norma hukum negara, maupun agama,” kata Syaiful Huda. Menurut Ketua Komisi X, secara umum penerbitan pemendikbud itu jelas dibutuhkan, karena kasus seksual di lingkungan kampus marak terjadi. Syaiful menyitir data laporan kolaborasi #NamaBaikKampus pada 2019, bahwa terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota, yang mayoritas tidak ditangani dengan baik untuk melindungi kepentingan para korban.
Adapun sebagai target aturan ini, Forum Rektor Indonesia menganggap tafsiran kelompok konservatif bisa dipahami. Senada dengan Komisi X, Panut Mulyono selaku Ketua Forum Rektor Indonesia berharap Mendikbud bersedia merevisi pasal 5 ayat 2, agar frasa “konsensual” tak lagi masuk dan menyebabkan kesalahpahaman.
“Sebetulnya saya yakin maksud dari pembuatan Permendikbud itu bukan berarti yang diizinkan atau disetujui itu boleh, misal bukan muhrimnya, bagaimanapun norma kan tidak mengizinkan hal itu semacam itu,” kata Panut, saat diwawancarai medcom.id, Selasa 9 November 2021.
Pandangan berbeda disuarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK, yang punya rekam jejak mendampingi berbagai korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK, Khotimun Sutanti menyatakan lembaganya sudah mengkaji seluruh pasal dalam Permendikbud Nomor 30/2021, dan tidak melihat ada masalah substansial.
“Permendikbud tersebut merupakan salah satu langkah maju untuk mendorong kampus yang aktif mencegah dan menangani kekerasan seksual sehingga perlu didukung,” demikian pernyataan tertulis Khotimun pada Senin, 8 November 2021.
Sebab merujuk situasi di lapangan, menurut catatan LBH APIK, banyak kampus keteteran menghadapi laporan kekerasan seksual. Tidak ada jaminan bila mahasiswa mengadukan kasus yang mereka alami akan direspons oleh jajaran kampus. Selain itu, mayoritas perguruan tinggi di Tanah Air tidak memiliki mekanisme pengaduan. Padahal, mekanisme pelaporan kasus kekerasan seksual bagi mahasiswa maupun dosen adalah hal yang lazim dimiliki kampus-kampus dengan reputasi baik di seluruh dunia.
Adanya permendikbud ini, menurut Khotimun, bisa menjadi panduan awal agar kampus lebih tanggap pada isu kekerasan seksual di lembaga mereka. Selai itu, kampus bisa didorong tidak lagi melindungi pelaku kekerasan seksual, yang kadang adalah seseorang dengan kuasa besar di rektorat atau jurusan.
Dibanding menyorot pasal 5, LBH APIK menganggap permendikbud itu masih kurang rigid mengatur panduan agar kampus serius merespons laporan kekerasan seksual. “Salah satunya masih kurang penjelasan mengenai peran kampus terkait pendampingan, perlindungan, sanksi, pemulihan, termasuk kewajiban kampus menyediakan rehabilitasi, layanan kesehatan, dan bantuan hukum,” demikian sikap dari LBH APIK.
Kasus kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia masih saja mencuat dan disorot media. Salah satu kasus terbaru terjadi di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Riau (UNRI). Korban bersuara lewat medsos, dibantu oleh BEM, mengurai kronologi upaya pelecehan dosen pembimbing proposal skripsinya, berinisial SH, pada 27 Oktober 2021. Sang dosen yang menjabat sebagai dekan Fakultas FISIP (UNRI), disebut berupaya menciumnya secara paksa saat bimbingan.
Sang dekan membantah tudingan tersebut, menganggapnya manuver pihak yang ingin menjegalnya maju di pemilihan rektor. SH lantas balik melaporkan mahasiswi yang mengaku sebagai korban ke polisi, beserta pengelola akun medsos KOMAHI dan BEM, memakai UU ITE. SH mengaku siap disumpah pocong, untuk membuktikan laporan pelecehan itu tak benar.
BEM UNRI tidak gentar dengan tindakan SH melapor ke polisi. BEM juga mendorong wacana agar pemerintah pusat mencopotnya dari posisi dekan FISIP selama penyelidikan kasus oleh Polda Riau berjalan.
“Terkait laporan pencemaran nama baik, kami minta yang me-repost dan seluruh mahasiswa Unri siap hadir ke Polda kalau kawan-kawan Komahi dipanggil,” ujar Kaharuddin, selaku Ketua BEM UNRI, dalam diskusi yang ditayangkan kanal YouTube LBH Pekanbaru pada 8 November 2021.