Bagi Lukas Gilang Pamungkas era Orde Baru hanyalah sebuah gambar dan teks yang tertera di buku sejarah. Gilang yang lahir pada tahun 2000, tak pernah merasakan langsung hidup di bawah kekuasaan Soeharto. Namun Gilang tahu, di dalam tubuh rezim tersebut, berkubang banyak persoalan.
Gilang pertama kali tahu soal borok rezim Orde Baru sewaktu duduk di bangku kelas dua SMA Pangudi Luhur Jakarta. Ketika itu guru sejarahnya memutar sebuah film tentang pelanggaran HAM, kerusuhan sebelum Soeharto tumbang, dan krisis moneter. Dari film tersebut, Gilang belajar bahwa ada sejarah versi lain di luar versi yang tertera di buku paket rekomendasi pemerintah.
Videos by VICE
“Saya salut dengan guru saya waktu itu, dia beda dengan yang lain,” kata Gilang. “Saya jadi paham permasalahan apa saja yang dulu ada di Orde Baru.”
Menurut Gilang yang baru saja lulus SMA tahun ini, buku sejarah di bangku sekolah masih memiliki banyak kekurangan, sehingga guru harus memberi suplemen agar siswa lebih paham soal rezim Soeharto.
“Menurut saya sih perlu juga perbandingan pemerintahan Orde Baru dan era reformasi,” kata Gilang. “Dan seharusnya kita jangan cuma stuck sama buku sejarah sekolah saja. Banyak informasi di media lain.”
Sejak 1975 hingga 2000-an, penulisan buku sejarah untuk sekolah wajib mengacu pada babon Sejarah Nasional Indonesia yang disunting oleh Nugroho Notosusanto. Babon karya Notosusanto banyak menuai kritik, bahkan pernah disebut sebagai skandal, karena sulit melepaskan diri dari bias militer. Nugroho dekat dengan kalangan militer, dan pertama kali ia terjun dalam penulisan sejarah Indonesia pun karena direkrut langsung oleh Jenderal Ahmad Nasution. Itulah sebabnya babon sejarah suntingan Nugroho Notosusanto kerap terasa mengglorifikasi peran militer dalam gerak sejarah Indonesia.
Setelah Reformasi, babon Nugroho tak lagi dijadikan rujukan. Juwono Sudarsono, yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1998-1999, menginisiasi penulisan sejarah versi baru yang tak lagi mengacu pada versi lama karena dinilai tidak layak lagi jadi pedoman. Beberapa peristiwa di babon yang lama menghilangkan banyak elemen fakta. Tak ada penjelasan objektif mengenai kasus pembantaian sesudah upaya kudeta 1965 atau peristiwa 27 Juli 1996. Selain itu, pada saat yang muncul desakan masyarakat agar buku sejarah versi pemerintah yang baru turut menyertakan kronologi tumbangnya Rezim Soeharto
Sempat terjadi kevakuman buku pedoman sejarah versi negara di sekolah pasca penarikan itu. Barulah pada 2012 terbit buku Indonesia Dalam Arus Sejarah yang disunting oleh Taufik Abdullah. Buku tersebut, menurut pemerintah, bukan dimaksudkan sebagai ‘kitab’ yang bersifat saklek, namun hanya sebagai suplemen saja. Buku yang terdiri dari delapan jilid tersebut dinilai lebih kompeten karena disusun oleh paling tidak 100 sejarawan.
Namun, 20 tahun pasca runtuhnya rezim Soeharto apakah penulisan sejarah Orde Baru untuk sekolah sudah lebih kritis membicarakan peristiwa-peristiwa masa lalu? Sepertinya belum.
“Penulisan sejarah sekarang masih sangat militeristik,” ujar Muhammad Iqbal, mantan guru sejarah di SMA Sampurna, Bogor. “Dalam buku pelajaran sejarah di sekolah masih ada bias yang dominan, ini masih sangat Orde Baru sekali.”
Bias tersebut, menurut Iqbal, tidak bisa dipungkiri karena kegagalan penulis dalam mengambil jarak dari suatu peristiwa. Tak pelak, Orde Baru bagi generasi milenial saat ini hanya dipandang sebagai masa transisi dari sebuah rezim lama menuju reformasi, tanpa digali lebih dalam dampaknya terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia di masa kini. Dari mana muasa korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mewabah hari-hari ini tak jelas juntrungannya karena tak dijelaskan di buku pelajaran.
Menurut Iqbal, penulisan sejarah untuk Kurikulum 2013 sudah lebih baik jika dibandingkan KTSP 2006. Meski penulisan sejarah Orde Baru untuk Kurikulum 2013 sudah mendetail, pembahasannya masih berkutat pada sektor politik dan ekonomi pembangunan, tanpa menggali soal sosial dan budaya lebih dalam.
Tonton dokumenter VICE soal maraknya film-film horor dan laga kelas B di tengah represi Orde Baru:
Jejak-jejak Orde Baru, menurut Iqbal, masih terlihat jelas dalam ketidakberanian pemerintah saat ini untuk merekam sisi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepanjang Soeharto berkuasa. Pemerintah saat ini juga masih tidak berani untuk merevisi narasi sengkarut keterlibatan PKI dalam peristiwa 1965 serta tak mau mengulik sejarah Supersemar,
“Saya pikir konservatisme masih mengakar kuat di Indonesia,” tutur Iqbal yang saat ini menjabat sebagai dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya. “Kita belum bisa bersuara dengan lantang menyangkut sejarah. Kita masih terlalu malu mengakui aib sejarah. Coba lihat Jerman, mereka tak malu mengungkap sejarah kelamnya tentang Nazi.”
Kami mencoba baca langsung dari buku pelajaran sekolah untuk melihat bagaimana sejarah orde baru dituturkan pada siswa. Dalam buku sejarah kelas XII terbitan Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional karya Sh. Musthofa, Suryandari, dan Tutik Mulyati, dalam sub-bab “Sebab-Sebab terjadi Reformasi”, tak dijelaskan secara mendalam soal peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi runtuhnya rezim Orde Baru, terutama soal demonstrasi, kerusuhan dan penculikan serta tewasnya para aktivis di tangan militer.
Buku itu lebih memilih kata “mengundurkan diri” bukan kata “berhenti” untuk menjelaskan jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Padahal kata “berhenti” dengan jelas ada dalam naskah pidatonya. Pemahaman tersebut bisa berakibat fatal, karena mekanisme pengunduran diri seorang presiden harus melalui persetujuan DPR dan MPR lewat persidangan.
Kurangnya penyajian fakta dalam buku sejarah juga diakui oleh Puteri Soraya Mansyur, guru sejarah di SMA 10 Batanghari, Jambi. Menurutnya di era keterbukaan seperti sekarang, intervensi pemerintah masih sangat dominan dalam mengatur apa yang layak ditulis dan tidak.
“Sejarah, meski untuk beberapa hal sudah sesuai, tapi semua harus berdasarkan persetujuan dari pemerintah. Peristiwa Trisakti tak banyak dibahas, seolah-olah tidak terlalu signifikan,” tutur Puteri Soraya Mansyur, guru sejarah di SMA 10 Batanghari, Jambi.
Bagi Puteri, yang sudah delapan tahun mengajar, dirinya lebih memilih menggunakan buku sejarah yang dibikin penerbit non-pemerintah seperti Erlangga dan Bumi Aksara, karena dinilai menyajikan lebih banyak informasi.
Pada akhirnya, para siswalah yang terdampak. Menurut Puteri, banyak siswa yang tak terlalu paham soal karut marut sistem sosial, politik, ekonomi Orde Baru yang menimbulkan efek buruk hingga saat ini: korupsi, lemahnya penegakan hukum, birokrasi dan krisis ekonomi.
“Banyak siswa yang berpikir bahwa segala permasalahan di Indonesia bersumber pada pemerintahan saat ini, padahal tidak bisa begitu,” ujar Puteri.
Sejarawan di Kementerian Pendidikan Restu Gunawan mengatakan bahwa pemerintah saat ini tidak memberlakukan buku pedoman sejarah agar penulis dapat mengkaji semua sumber yang ada. Penulisan buku sejarah saat ini boleh memakai sumber yang ada asal sesuai dengan kurikulum dan silabus. Restu mengakui penulisan sejarah soal Orde Baru dan Reformasi adalah hal pelik karena penulis kesulitan mengambil jarak dari peristiwa tersebut.
“Jarak peristiwa Reformasi masih tergolong dekat dengan saat ini, para penulis mungkin juga menyaksikan atau mengalami sendiri, sehingga sulit mengambil sudut pandang objektif,” ujar Restu yang kini menjabat sebagai Direktur Seni Kemdikbud.
Menurut Restu, yang banyak terlibat dalam menyusun Indonesia Dalam Arus Sejarah, guru saat ini memiliki kebebasan untuk menambah sumber lain di luar buku paket. Menurutnya, Kurikulum 2013 didesain agar guru lebih kreatif dalam kegiatan belajar mengajar. Guru dibebaskan memakai buku pendamping lain di samping buku utama agar siswa memiliki perspektif luas dan kontekstual demi menjawab tantangan zaman, tanpa terjebak dalam romantisme.
“Sejarah harus bebas dari ideologi. Ilmu sejarah itu bukan ilmu pasti,” kata Restu. “Dulu semua jawaban harus sesuai dengan guru. Sekarang siswa boleh berbeda dengan guru, selama sumbernya jelas.”