Dalam kartun Islami asal Malaysia, Omar and Hana, anak lelaki mengajak orang tuanya main layangan. Sang ayah, yang sedang memperbaiki wastafel, menjawab “InshAllah (jika Allah berkehendak).” Bocah itu dan saudara perempuannya memasang ekspresi bingung saat mendengar istilah asing tersebut.
Ayah ibu mereka kemudian bernyanyi, “When you promise someone something, you should always say InshAllah… We may plan our lives but really Allah decides, so let us say InshAllah.” (“Kita harus mengucapkan InshAllah setiap kali berjanji kepada orang lain… Manusia merencanakan hidup, tapi Allah yang menentukan. Makanya kita menyebut InshAllah.”)
Videos by VICE
Ada beberapa cara penulisan untuk istilah ini, seperti Insya Allah, Insha’allah, Insha Allah dan In Sha Allah. Akan tetapi, InshAllah menjadi yang paling disepakati. Istilah ini merupakan pengakuan atas kemahakuasaan Allah SWT, yang melambangkan keseimbangan antara takdir dan kehendak bebas setiap Muslim.
Sayangnya, dewasa ini InshAllah kerap dijadikan alternatif mengatakan ya atau tidak, tanpa ada jaminan orang yang mengucapkan akan serius berbuat sesuatu. Dengan kata lain, “InshAllah” berubah artinya menjadi “ogah/malas ah”. Seseorang pakai istilah itu supaya terkesan akan mempertimbangkannya.
Contohnya bisa dilihat dalam video animasi tadi. Si anak ngomong InshAllah ketika disuruh berhenti main layangan. Alih-alih mengikuti permintaan orang tua, dia tetap saja asyik bermain. Pasti banyak dari kalian yang seperti anak ini. Janjinya akan melakukan sesuatu, tapi akhirnya tidak dikerjakan sama sekali.
Orang non-Muslim di dunia Barat mengadopsi istilah yang salah kaprah itu. Enam tahun lalu, Lindsay salah menggunakan istilah bahasa Arab saat mengenang Raja Abdullah yang baru meninggal. Dia menulis “InshAllah” dalam caption Instagram-nya. Prajurit dan diplomat Amerika Serikat di Irak bahkan ikut-ikutan menggunakan istilah tersebut. Dan yang terbaru, Joe Biden melontarkan “InshAllah?” ketika Donald Trump berjanji akan merilis laporan pajaknya dalam acara debat calon presiden AS pada akhir 2020.
Apa sebenarnya makna dari InshAllah itu? Apakah sebuah ungkapan halus dari “Kita lihat nanti” atau istilah yang memicu Islamofobia, seperti mahasiswa Irak Khairuldeen Makhzoomi yang diusir dari pesawat karena ngomong bahasa Arab (InshAllah)? Ataukah ini alasan untuk menunda tanggung jawab? Atau justru menggambarkan suatu kemustahilan, seperti yang dikira Presiden AS saat ini? Baru kali ini saya menemukan istilah yang penafsirannya sangat lentur.
Sementara InshAllah memiliki padanan yang mirip dengan budaya lain, seperti kata “ojalá” dalam bahasa Spanyol (yang berasal dari frasa bahasa Arab itu sendiri) dan “magari” dalam bahasa Italia (berarti “maunya sih gitu”, “sayangnya tidak” atau “mungkin”), istilah ini bukan hanya sekadar frasa bahasa Arab saja. InshAllah mewakili pola pikir orang yang mengucapkannya.
“Ini sangat berakar dalam etos budaya Islam,” terang Dr. Syed Nomanul Haq, dekan Liberal Arts di Universitas Habib, Karachi yang mendalami sejarah dan filsafat Islam. “In Sha’a Allah secara harfiah berarti In (jika) Sha’a (menghendaki) dan Allah. Misalkan kalian mengucapkan In Sha’a Allah saat membicarakan kesembuhan pasien Covid. Itu artinya ada dua kemungkinan. Jika dia sembuh, maka Allah telah berkehendak akan hal itu. Jika tidak, itu juga sudah menjadi kehendak Allah.”
“Apa pun hasilnya nanti, keyakinan seseorang terhadap Allah tetap utuh. Kehendak Allah tidak dapat dibatasi oleh logika moral, standar rasional atau sistem etika. Itu bukan ontologis; itu adalah kehendak-Nya.”
Namun, bukan berarti manusia terbebas dari tanggung jawab. Haq menjelaskan, konsep “Kasb” (usaha atau perbuatan) menggambarkan hubungan perbuatan dengan kemauan dan kekuasaan Allah. Tuhan menciptakan tindakan manusia, dan kita sebagai manusia bertanggung jawab atas tindakan itu.
Ada perumpamaan kuno yang digunakan untuk memaknai konsep InshAllah. Seorang Muslim bertanggung jawab mengikat untanya, dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Jika Allah berkehendak, unta tidak akan hilang karena sang pemilik sudah berusaha. Sederhananya, InshAllah tak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak melakukan apa-apa.
Ketika ditanyakan alasan membuat kartun Omar and Hana tadi, Siti Afifah Imran selaku pemimpin praproduksi dan pengarang nasyid InshAllah berujar, “Orang tua harus menjadi teladan yang baik. Ayah di animasi itu menepati janjinya, sedangkan sang anak belajar dari kesalahannya yang tidak segera menurutinya.”
Sutradara Nabil Baharum mengungkapkan, InshAllah sering disalahartikan di Malaysia. “Sangatlah penting untuk menekankan bahwa InshAllah adalah janji yang harus dilaksanakan,” produser kreatif Fadila A. Rahman menegaskan.
Al-Qur’an sudah menggarisbawahi pentingnya ucapan InshAllah, seperti sebab turunnya Surah al-Kahfi ayat 23-24. Nabi Muhammad SAW diriwayatkan tidak mendapat wahyu selama 15 malam karena lupa mengucapkan InshAllah.
Firman Allah dalam Surah al-Kahfi ayat 23-24 menyebutkan:
“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, ‘Aku pasti melakukan itu besok pagi’, kecuali (dengan mengatakan) ‘Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini.’”
Dengan demikian, kekuatan InshAllah yang asli tak perlu ditanyakan lagi. Akar dari kehendak bebas dalam filsafat Barat menjelaskan bahwa masa depan “dikendalikan” oleh manusia, sehingga tidak heran jika istilah InshAllah yang disalahartikan bergema di dunia Barat.
Harus diakui, umat Muslim sendirilah yang menimbulkan kesalahpahaman ini. Banyak yang dengan enteng mengucapkan InshAllah tanpa memaknainya dalam-dalam. Pada 2019, YouTuber Khalid Al Ameri bertanya kepada orang Islam di Timur Tengah, “Kalau kalian minta seseorang melakukan sesuatu dan mereka jawab InshAllah, menurut kalian apa yang akan terjadi?”
Beberapa menjawab orang itu tidak akan menepati janji, sedangkan lainnya hanya tertawa. Sebagian besar responden berpendapat, maksud dari ucapan itu tergantung pada siapa yang mengatakannya. Tak sedikit orang menjawab “InshAllah” karena merasa tidak enak untuk menolak.
“Orang dengan budaya ketimuran cenderung sungkan mengatakan tidak,” tutur Haq. “Etiket budaya, atau kelemahan, ini sering kali membuat mereka menjanjikan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan.” Dia menduga mungkin dari situlah orang Barat salah mengartikan InshAllah.
Ketika menemukan kata-kata baru, kita seharusnya tidak malas untuk memahami konteks yang digunakan penutur asli. Dan bagi umat Muslim itu sendiri, mereka sudah sepatutnya membuktikan ucapan mereka — bahwa mereka benar-benar niat mengerjakan sesuatu setelah ngomong InshAllah.
Seandainya semua umat Muslim bisa seperti itu, mungkin orang dari budaya dan agama berbeda tidak ikut asal-asalan menggunakan istilahnya. InshAllah kita bisa berubah.