Tech

Pemanasan Global Memicu Kerugian Ekonomi Hingga Ribuan Triliun Rupiah

Pemanasan Global Memicu Kerugian Ekonomi Hingga Ribuan Triliun Rupiah

Penelitian yang baru saja diterbitkan Jurnal Nature Communications menggambarkan masa depan tak terlalu cerah. Seandainya kesepakatan antar negara untuk menurunkan emisi tercapai, sebagaimana terkandung dalam Perjanjian Paris, pemanasan global terlanjur memberi dampak buruk pada dunia yang kita tinggali. Terutama, dampak ekonominya sangat serius.

Perubahan iklim yang salah satunya efeknya adalah pencairan es dan permafrost di wilayah Arktik, berpotensi menambahkan kerugian jangka panjang bagi perekonomian dunia setidaknya hingga US$24 triliun (setara Rp342 kuadriliun).

Videos by VICE

Menurut peneliti, ongkos tersebut bakal naik menjadi US$67 triliun (Rp947 kuadriliun) pada 2300 jika manusia tidak mengambil tindakan lebih lanjut untuk mengerem efek buruk gas rumah kaca.

Penelitian dipimpin pakar iklim Dmitry Yumashev dari Universitas Lancaster ini menemukan data valid bahwa dua jenis perubahan iklim di Arktik, mampu menaikkan suhu global dan memicu ongkos setara hilangnya lima persen ekonomi dunia. Sebab, akan terjadi banyak sekali bencana alam, mulai dari banjir, taifun, dan peningkatan permukaan laut.

Kemungkinan insiden pertama adalah meluapnya karbon permafrost, yang dihasilkan emisi gas rumah kaca yang keluar dari tanah beku Kutub Utara saat mencair. Sementara potensi insiden kedua adalah umpan balik albedo permukaan. Umpan balik ini mengacu pada energi matahari yang diserap oleh permukaan lebih gelap, seperti lautan dan tanah, atau tercermin oleh permukaan lebih terang, seperti es.

Tim Yumashev membuat skenario dan permodelan menghasilkan gambaran seperti ini: total biaya global akibat perubahan iklim berkisar antara US$600 triliun (Rp8,4 kuintiliun) hingga $2.100 triliun (Rp29 kuintiliun) pada Tahun 2300 mendatang.

“Temuan kami mendukung perlunya langkah-langkah mitigasi yang lebih proaktif dari berbagai negara agar kenaikan suhu global tidak sampai mencapai 2°C,” kata Yumashev dalam pernyataan tertulis. Penelitian ini sekaligus membeberkan bahwa langkah-langkah tersebut sudah termasuk pemakaian energi terbarukan seperti tenaga surya. Artinya, walau manusia mendadak berhenti pakai batu bara dan BBM, lalu beramai-ramai pakai listrik tenaga surya, pemanasan global akan tetap berdampak.

Dalam waktu bersamaan, penelitian lain yang terbit Senin kemarin dalam Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences menilai kerusakan ekonomi global yang sudah mempengaruhi perekonomian.

Noah Diffenbaugh dan Marshall Burke, keduanya ilmuwan dari Universitas Stanford, menemukan data bila perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan 25 persen ketidaksetaraan ekonomi global sejak 1960-an.

Temuan mereka menunjukkan perubahan iklim menghambat pertumbuhan ekonomi pada negara-negara yang lebih hangat seperti Sudan, India, Nigeria, dan Brasil, dalam kisaran 25-36 persen. Sementara itu, negara bersuhu dingin seperti Norwegia, Kanada, dan Swedia dapat 25-34 persen lebih kaya, apabila suhu global planet Bumi tidak menghangat.

Noah dan Marshall menghitung angka-angka ini dengan mempertimbangkan suhu jangka panjang dan pengukuran PDB di 165 negara, untuk melihat apakah ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan iklim.

“Meski ketimpangan ekonomi antar negara telah menurun sejak setengah abad terakhir, ada 90 persen kemungkinan pemanasan global membuatnya timpang kembali,” tulis peneliti. “Pendorong utamanya adalah hubungan parabola antara suhu dan pertumbuhan ekonomi, dengan pemanasan yang meningkatkan pertumbuhan di negara bersuhu dingin dan menurunkan pertumbuhan di negara bersuhu hangat.”

Beberapa proposal, seperti Green New Deal yang sedang didorong di Amerika Serikat, menguraikan langkah-langkah yang bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dalam beberapa tahun ke depan. Mereka yang menentang rencana menurunkan suhu bumi seringkali tidak setuju pada biaya yang dikeluarkan untuk implementasinya. Tapi dua studi baru ini memberikan argumen bantahan kuat untuk pemerintah yang ogah beralih dari batu bara dan energi fosil lainnya dengan alasan biayanya terlalu mahal.

Pemerintah Indonesia juga idealnya konsisten menaati Perjanjian Paris yang sudah diratifikasi sejak 2016, untuk menurunkan emisi karbon kita ke level 1,49 persen. Artinya, Indonesia wajib mengurangi batu bara dan mendorong lebih banyak sumber energi terbarukan.

Masih banyak yang perlu dilakukan untuk menemukan cara terbaik memperlambat perubahan iklim. Tetapi seperti ditunjukkan para ilmuwan, dampak buruk bumi yang makin panas akan semakin parah jika kita diam saja.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard