Semua rencana hidup yang sempat disusun Mak Emin berantakan pada malam jahanam 12 September 1984. Padahal yang dia harapkan ketika membina rumah tangga dengan Husein Safe, suaminya, tidak muluk-muluk amat. Keduanya hanya ingin bertahan hidup secukupnya. Awal 1980-an, bersama Husein, Mak Emin merantau untuk berdagang di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mulanya semua berjalan seperti yang diharapkan. Pasangan ini tidak kaya, tapi hasil berdagang cukup buat membiayai kebutuhan sehari-hari. Sampai akhirnya tragedi merusak segala rencana kecil mereka.
Malam itu, Husein turut serta dalam rombongan massa yang memprotes perilaku represif aparat terhadap warga Priok. Jumlah demonstran mencapai ratusan orang. Mereka menuju Polsek Koja dan Kodim 0502 untuk menggelar aksi damai.
Videos by VICE
Nahas, tuntutan damai tersebut berubah jadi banjir darah, manakala personel militer rezim Orde Baru menembaki massa membabi buta. Husein tak luput dari terjangan timah panas. Peluru menembus kakinya. Dia tersungkur, di tengah massa yang kocar-kacir.
Kabar tertembaknya Husein sampai di telinga Mak Emin.
“Tahu pertama kali [kabar itu] saya langsung pingsan,” ceritanya kepada VICE.
Mak Enim tengah membereskan dagangannya ketika VICE menemuinya pertengahan Juli lalu. Sekarang, Mak Emin tinggal di Purwakarta, kampung halamannya di Jawa Barat, berjarak 80 kilometer dari Jakarta. Hari-hari Mak Emin diisi dengan berjualan aneka ragam makanan. Kendati kecil-kecilan, setidaknya hasil berdagang tetap “bisa buat bertahan hidup.”
Bertahan, kiranya, adalah lema yang bakal senantiasa Mak Emin pegang. Sebab perjalanan hidup mengajarkannya bila dunia tidak pernah baik-baik saja ketika kau merencanakan sesuatu.
Kehidupan pasangan ini berubah jadi mimpi buruk panjang usai tragedi berdarah di Priok. Husein tak bisa lagi bekerja secara optimal, akibat luka di kakinya. Peran Husein lantas digantikan Mak Emin yang mesti kerja serabutan guna mencari uang untuk menghidupi keluarga, sekaligus membiayai operasi Husein yang tak pernah ditanggung negara.
“Semua [harta benda] sampai habis dijualin satu-satu buat hidup,” kata Mak Enim.
Butuh waktu lima tahun untuk mengeluarkan peluru dari kaki Husein. Selepas operasi, kesehatan Husein memburuk. Dia depresi, menderita komplikasi yang berujung stroke, lalu mengembuskan napas terakhir pada 2019.
Husein telah tiada. Sementara keadilan yang dicari Mak Enim setelah tragedi ini lewat lebih dari tiga dekade tak kunjung terlihat.
“Saya lelah menunggu tanpa kepastian,” katanya lirih. “Saya cuma berharap, sebelum saya mati, setidaknya pemerintah memberi kompensasi kepada kami, para korban [tragedi] Priok,” imbuhnya.
Irta Sumitra masih duduk di kelas 3 SMP saat insiden Tanjung Priok meledak. Kala itu, dia sama sekali tidak berniat ikut dalam rombongan massa demonstran. Bersama dua kawannya, Irta muda awalnya hendak mencari buku, demi mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir. Rencana tersebut gagal terlaksana. Alih-alih mendapatkan buku, Irta justru terseret arus massa dan tragedi.
Rombongan demonstran, sepenuturan Irta, duduk bersila memenuhi jalanan di bilangan Koja. Mereka datang tanpa senjata dan bermaksud melangsungkan aksi damai. Target aksi adalah Kodim 0502. Akan tetapi, massa terpaksa berhenti di tengah jalan karena barisan serdadu, lengkap dengan persenjataan berisi amunisi tajam, menghadang tepat di depan mereka.
Teriakan takbir menggema di tengah massa, diselingi tuntutan agar aparat menghentikan laku represif. Tanpa diduga, dari jarak 100 meter yang memisahkan massa dan aparat, peluru berhamburan. Situasi berubah chaos. Massa panik dan mencoba lari menyelamatkan diri. Ada yang berhasil, namun banyak pula yang tewas di tempat.
Irta muda termasuk yang gagal melarikan diri. Peluru mengenai pahanya. Dia terjatuh di kubangan got. Dengan tertatih-tatih, Irta berupaya berdiri dan mencari tempat persembunyian yang terjangkau.
“Saya akhirnya masuk ke dalam gereja. Saya dirawat oleh seorang pendeta,” kenang Irta, saat ditemui VICE di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Mimpi buruk Irta tidak berhenti sampai situ saja. Usai penembakan, para serdadu melakukan penyisiran dan menangkapi mereka yang masih bertahan hidup. Gereja tempat Irta bersembunyi turut kena sisir. Irta tertangkap dan kemudian diseret paksa sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam truk.
“Di atas truk itu saya ada banyak badan manusia. Saya enggak tahu mereka hidup atau mati karena waktu itu lampu jalanan dimatikan, jadi sangat gelap,” paparnya.
Truk lalu melaju ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto yang terletak di kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Di sana, Irta mendapatkan perawatan. Irta sempat merasa tenang, mengira sebentar lagi dia bisa pulang.
Asumsi Irta keliru. Alih-alih dipulangkan, Irta justru dibawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Guntur untuk diinterogasi tentara. Dari Guntur, Irta dipindahkan ke RTM Cimanggis dengan keperluan yang sama. Sepanjang masa penahanan tanpa peradilan inilah Irta mengalami penyiksaan. Dari dipukul hingga dihajar habis-habisan dengan kursi kayu.
Puncaknya adalah ketika pengadilan memutus Irta bersalah sebab dianggap “melawan petugas” dalam kerusuhan yang pecah di Tanjung Priok. Dia divonis 2,5 tahun penjara. Dari situ, masa depan Irta lenyap bak ditelan bumi.
“Keluarga saya bahkan menganggap saya sudah mati,” kata lelaki yang sekarang berusia 50 tahun ini.
Nasib serupa dialami pula Aminatun Najariyah, satu-satunya perempuan yang ditahan oleh aparat selepas Tragedi Tanjung Priok. Aminatun ditangkap di rumahnya, dengan tuduhan menyebar pamflet berisikan propaganda melawan pemerintah.
Sebelum tragedi Tanjung Priok terjadi, Aminatun aktif dalam lingkaran aktivisme Islam politik yang pada waktu itu tengah gencar-gencarnya menolak pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila. Pandangan kritis tersebut Aminatun tuangkan lewat buletin bertajuk Istiqomah.
Keterlibatan Aminatun dalam protes di Tanjung Priok bermula dari ajakan seorang kawan. Tanpa pikir panjang, Aminatun bersedia berpartisipasi sebab menurutnya hal itu adalah bagian dari perjuangan Islam.
Perjuangan tersebut tidak berakhir dengan baik. Aminatun kena ciduk aparat setelah 12 September. Dia ditahan 45 hari, menjadi penghuni dari satu RTM ke RTM lainnya. Sama seperti Irta, sepanjang penahanan Aminatun sering kali mendapatkan perlakuan kasar, bahkan pelecehan verbal.
Pengalaman itu membikin Aminatun trauma dan stres berat, sampai-sampai dia sempat dirawat di Rumah Sakit Jiwa Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
“Masa-masa itu adalah masa yang mengerikan. Setiap malam saya susah tidur, pikiran kalut dan dipenuhi ketakutan,” ucap perempuan yang saat ini tinggal di Boyolali, Jawa Tengah, tatkala dihubungi VICE via sambungan telepon.
Trauma tersebut terus berlanjut, sekalipun Aminatun kini berusaha menata kembali hidup di usia senja. Syahar Banu, putri Aminatun, mengakui kondisi itu. Menurut penuturannya, sang ibu kerap terbangun setiap malam akibat mimpi buruk: dikejar tentara.
“Sampai-sampai ibuku itu yang histeris gitu setiap kebangun,” terangnya ketika ditemui VICE di tempat kerjanya yang berlokasi di bilangan Senen, Jakarta Pusat.
Tak sekadar mimpi buruk, trauma Aminatun meninggalkan perasaan benci yang mendalam terhadap dua institusi keamanan republik. Saking bencinya, Aminatun sering mewanti-wanti Banu agar tidak menjalin relasi, entah pacaran atau menikah, dengan polisi maupun tentara.
Tak berbeda dari Aminatun, bagi Wanma Yetty, Tragedi Tanjung Priok menyisakan lubang penderitaan dalam hidupnya. Ayahnya, Bachtiar Johan, hilang saat tragedi dan tidak diketahui rimbanya hingga kini. Ketika insiden berdarah itu terjadi, Yetty baru tamat SMA.
“Saya [waktu kejadian] enggak bisa tidur dan panik,” terangnya. “Saya enggak nyangka sama sekali jika demo itu berakhir dengan banyak korban berjatuhan.”
Kehilangan sang ayah membikin Yetty terpukul. Dia tidak habis pikir kenapa Bachtiar bisa hilang, mengingat tidak ada rekam jejak aktivisme politik dari ayahnya. Meski begitu, Yetty menyusun ulang rencana hidupnya yang sempat berantakan, tanpa kehadiran seorang ayah.
Di tengah upaya tersebut, Yetty lagi-lagi harus mengalami nasib pahit. Jalan meniti karier, demi mendapatkan penghidupan yang lebih layak, terhalang aksi sistematis rezim, yang menempelkan cap “mantan PKI” untuk keluarganya sehubungan dengan insiden Tanjung Priok. Salah satu adiknya, misalnya, gagal menimba ilmu di universitas negeri ternama di Jakarta sebab cap itu.
“Seolah keadilan enggak pernah hadir untuk kami para korban,” tandasnya dengan mata berkaca-kaca. “Hidup kami seperti dipersulit oleh negara sendiri.”
“Kok saya yang dituduh anti-Islam. Suharto itu yang anti-Islam,” kata Leonardus Benyamin “Benny” Moerdani, sebagaimana dicatat Salim Said dalam buku Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Sang jenderal mengucapkan kalimat kesohor itu tak lama usai tragedi Tanjung Priok. Benny, yang saat tragedi meletus menjabat sebagai Panglima ABRI (kini TNI), sejak lama dianggap membenci orang-orang Islam. Benny tak terima dengan asumsi itu, lalu tak ragu menyodorkan nama atasannya sebagai aktor di balik insiden Priok.
Orde Baru versus Islam menjadi topik yang tidak bisa ditampik kala membicarakan tragedi Tanjung Priok. Pasalnya, korban yang berjatuhan kebanyakan adalah umat muslim, terutama yang aktif dalam pengajian. Tak heran bila muncul spekulasi yang menyebut Orde Baru pada 1984 tengah melakukan upaya penghancuran sistematis terhadap orang-orang Islam yang berpolitik secara kritis.
Tragedi Tanjung Priok tidak lahir dari ruang kosong. Insiden ini harus dikaitkan dengan konteks politik yang berkembang beberapa tahun sebelumnya, tatkala pemerintahan Suharto aktif mengampanyekan slogan “Asas Tunggal Pancasila”. Alasan pemerintah kala itu, setiap organisasi di Indonesia tidak boleh memakai ideologi yang bisa mengarah pada radikalisme. Semua AD/ART organisasi wajib mengikrarkan kesetiaan pada Pancasila. Kebijakan ini dimunculkan setelah massa Partai Persatuan Pembangunan bentrok dengan pendukung Golongan Karya (Golkar) di Lapangan Banteng pada 18 Maret 1982. Orde Baru mulai melihat gerakan Islam sebagai musuh yang harus dijinakkan.
Konsep Asas Tunggal Pancasila secara resmi dicetuskan MPR dalam Sidang Umum 1978, lewat Ketetapan Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Ketetapan ini ditentang oleh banyak pihak, karena dianggap bakal jadi alat gebuk rezim kepada mereka yang tak sepaham dengan Suharto.
Target utama Asas Tunggal konon komunisme dan “ideologi berbahaya” lain. Namun semua elemen ormas Islam sadar, karena komunisme sudah tiarap di Indonesia, merekalah target sesungguhnya dari beleid tersebut. Rumor bahwa Suharto yang abangan alergi terhadap ucapan khas Islam seperti “Insya Allah”, memperburuk sentimen publik soal motivasi rezim di balik asas tunggal Pancasila.
Dua elemen yang keras menentang asas itu, lewat aksi walk out legendaris dalam sidang tahunan MPR, adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelahnya muncul Petisi 50 yang dikomandoi tokoh-tokoh tenar macam A.M. Fatwa serta Ali Sadikin, mengajukan kritik terbuka terhadap pola kepemimpinan Orde Baru yang dianggap melenceng serta makin otoriter.
Sebelum Petisi 50, nyaris tidak ada orang berani terang-terangan mengkritik cara Suharto dan kroninya mengelola Indonesia. Petisi itu mengguncang Orde Baru, karena penggeraknya sebagian mantan petinggi militer dan orang kepercayaan Suharto. Tak butuh waktu lama sampai nama-nama yang terlibat petisi 50 jadi tahanan politik, atau dihabisi karir politiknya oleh Rezim Suharto.
Selanjutnya, yang ditakutkan kelompok oposisi betulan terjadi. Aparat rutin menangkapi tokoh Islam yang dianggap melawan Pancasila, sekalipun tindakan yang dimaksud sebetulnya cuma mengkritik kebijakan pemerintah. Para ulama di Aceh, Banten, Solo, hingga Kalimantan ditangkap. Oleh Suharto, ceramah maupun mimbar terbuka yang dibawakan para pendakwah itu dinilai mengancam stabilitas negara dan pembangunan.
Selama beberapa tahun, sejak asas tunggal dipaksakan, bersemilah gerakan-gerakan yang lebih tegas mengawinkan Islam dengan politik riil. Bermula dari masjid-masjid kampus, seperti Salman di Institut Teknologi Bandung, merembet hingga masjid-masjid berbagai kota.
Tanjung Priok mengalami gejolak yang sama. Masjid dan musala di sekitar pelabuhan Jakarta seketika berubah fungsi menjadi arena pendidikan politik. Para ustaz setempat, di hadapan jamaah pengajian, mengkritik pelbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak ideal, terutama soal pemerataan ekonomi.
Menurut Yetty, kawasan Tanjung Priok pada awal 80’an sangat miskin. Jauh tertinggal dibanding wilayah selatan dan pusat Jakarta. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor informal dengan menjadi pedagang, nelayan, maupun buruh harian. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, pejabat Orde Baru dianggap hanya melayani kepentingan orang-orang kelas menengah ke atas hingga konglomerat yang bersinggungan dengan pelabuhan.
“Kami seperti disingkirkan. Banyak PKL [Pedagang Kaki Lima] yang digrebek dan enggak diperbolehkan jualan lagi, sementara pemerintah dengan terbukanya menyediakan lahan untuk orang-orang kaya supaya bisa berbisnis [di Priok],” terangnya.
Ketidakadilan ekonomi, ditambah pembungkaman ekspresi politik para ulama, kemudian menjadi bahan bakar bagi warga Priok untuk melawan balik. Pamflet maupun orasi berisi kritik terhadap pemerintah menjadi pemandangan yang mudah dijumpai di Priok pada masa itu.
Gemuruh aktivisme Islam Politik itu tercium aparat setempat. Sebagaimana diceritakan Irta, pada 8 September 1984, dua personel Babinsa Kodim 0502 yaitu Sersan Satu Hermanu dan Samin, datang ke Musala As-Saadah. Keduanya mencopot paksa pamflet yang tertempel di dinding pagar depan.
“Dua tentara ini masuk musala tanpa melepas sepatu. Enggak cuma itu aja, mereka juga sampai menyiram [pamflet] dengan air got,” cerita Irta. Perilaku dua aparat ini memancing kemarahan jamah. Keributan muncul siang itu. Massa ingin mengeroyok, namun urung sebab diancam dua tentara tadi dengan todongan senjata api.
Dari musala, eskalasi konflik meluas dan semakin memanas. Upaya mendamaikan tentara dengan jamaah coba dirintis sosok Amir Biki, tokoh masyarakat Priok yang disegani. Bersama istrinya, Dewi Wardah, Biki kerap mengulurkan tangan untuk masyarakat sekitar, memberi bantuan di bidang pendidikan hingga kebutuhan sehari-hari.
“Amir Biki ini orang terpandang. Dia golongan berada dan jiwa sosialnya tinggi,” kenang Yetty. “Sementara Ibu Dewi juga sama. Karena punya rumah bersalin, dia sering membantu persalinan ibu-ibu warga sekitar secara gratis.”
Negosiasi Biki gagal. Tentara menolak minta maaf karena masuk ke masjid tanpa melepas sepatu. Aparat justru menangkap empat orang, yakni Syafrudin Rame, Sofwan Sulaeman, Ahmad Sahi, dan M. Noor, karena dianggap memprovokasi massa untuk menyerang dua tentara di musala As-Saadah.
Malam 12 September 1984, pengajian akbar dihelat di Jalan Sindang. Massa tumpah ruah memenuhi jalanan. Para penceramah, termasuk Amir Biki, silih berganti mengisi podium dan menyuarakan tuntutan pembebasan empat tahanan. Amir Biki sampai memberi peringatan: jika empat tahanan tidak segera dilepas, maka massa akan mendatangi Polres dan Kodim.
Tuntutan massa, hingga menjelang tengah malam, belum juga dipenuhi. Akhirnya, massa bergerak menuju lokasi penahanan. Belum sampai di lokasi, gerak massa tertahan barisan aparat yang bersiap dengan senjata lengkap seperti hendak berperang. Di sinilah petaka itu terjadi. Rentetan tembakan meluncur ke arah massa, membikin mereka berlarian pontang-panting tak karuan. Amir Biki ikut meregang nyawa malam itu.
“Suasana begitu gelap. Kerusuhan terjadi dari jelang jam 12 malam sampai jam 3 pagi,” terang Yetty. “Setelah kejadian, tentara membersihkan jalanan dengan selang air. Darah mengalir di sepanjang jalan, bergabung dengan tumpukan sarung sampai sandal.”
Sampai detik ini, jumlah korban pembantaian Tanjung Priok belum dapat dipastikan secara akurat. Berdasarkan versi pemerintah, diwakili Pangab Benny Moerdani pada waktu itu, jumlah korban tewas hanya 18 orang sementara 53 lainnya luka-luka. Sedangkan menurut Komnas HAM, yang tewas 24 orang dan luka-luka sebanyak 55.
Kesaksian Irta dan Yetty menyitir angka jauh berbeda. Jumlah korban tewas ditaksir mencapai ratusan orang, termasuk Amir Biki. Indikasi ini diperkuat temuan tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk Peristiwa Tanjung Priok) yang menyebut korban tewas menyentuh angka 400 orang, belum terhitung mereka yang luka dan mengalami cacat permanen akibat siksaan aparat.
Ratusan korban tersebut, sebagaimana diceritakan para penyintas, tersebar di berbagai kuburan; dari Semper, Pondok Rangon, hingga Cilangkap. Semuanya berada pada kondisi yang hampir sama: dikubur tanpa nama.
Tragedi Tanjung Priok tak hanya menjadikan orang-orang sipil sebagai tumbal kekuasaan Orde Baru. Tokoh Islam politik terkemuka saat itu, seperti Tony Ardi, Mawardi Noor, Abdul Qodir Jaelani, Oesmany Al Hamidy, serta A.M. Fatwa, terseret arus penangkapan, sebab dituduh jadi aktor penggerak massa. Gerakan Islam politik nyaris luluh lantak.
Namun Orde Baru gagal memperhitungkan efek bola salju selepas Tanjung Priok. Radikalisasi semakin menguat. Islam politik tersebar lebih massif dalam beragam jenis. Di level intelektual, kajian berbagai masjid kampus semakin militan, melahirkan gerakan dakwah pan-Islamiyah, kelak sebagian elitnya menjadi pendiri Partai Keadilan Sejahtera yang konservatif namun pola kaderisasi dan kebijakannya amat modern.
Di spekturm paling ekstrem, Pembantaian Tanjung Priok menyulut munculnya kelompok radikal bawah tanah yang selang setahun terlibat pemboman Candi Borobudur. Bahkan, semasa Suharto masih berkuasa, setidaknya hampir selusin kasus terorisme terjadi, yang sebagian terkait atau termotivasi menjadi aksi balasan Tragedi Priok. Mulai dari pemboman bank BCA, hingga bom di Masjid Istiqlal.
Jaringan bawah tanah ini yang memilih kekerasan ini, sebagian membentuk benih organisasi teror, yang alumninya terus menghantui Indonesia selepas reformasi lewat Jamaah Islamiyah. Lalu, lewat jejaring yang rumit, estafet teror itu kini ganti dipanggul sisa-sisa sel Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Melihat Islam Politik rupanya tak mengendur, Suharto melunak terhadap umat Islam memasuki dekade 90’an. Sang diktator mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), hingga memutuskan naik haji untuk kali pertama pada Juni 1991.
Benny, yang sering dituduh jenderal beragama Katolik anti-Islam akibat tragedi Tanjung Priok, turut melakukan hal serupa: dia aktif mendatangi pondok pesantren demi merebut simpati para kyai lokal, guna menghalau tekanan yang muncul dari kelompok Islam perkotaan.
Di masa sekarang, eksistensi Islam politik masih kuat, bahkan sempat merebut panggung kontestasi politik nasional. Wajah kebangkitan itu dapat dilihat lewat gerakan 212, walaupun—menurut ilmuwan politik asal Australian National University (ANU) yang fokus pada studi Islam dan politik di Indonesia, Greg Fealy—“gagal bersatu jadi kekuatan oposisi.”
Peristiwa berdarah Tanjung Priok mengubah banyak dinamika politik Indonesia baik sebelum atau sesudah Reformasi. Tapi, satu hal yang pasti, nasib korban langsung dari peristiwa jahanam itu tak berubah. Mereka terus menderita dan pelan-pelan terlupakan.
Upaya untuk mencari keadilan bagi korban Tanjung Priok diperjuangkan cukup gigih, tapi dalam prosesnya para korban terpecah menjadi dua kubu: mereka yang menolak dan menerima tawaran islah (damai) dari militer.
Kesepakatan islah diteken beberapa keluarga korban dan jajaran aparat di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, pada awal Maret 2001. Perjanjian ini menyatakan adanya perdamaian antara pihak yang bertikai dengan saling memaafkan dan “kembali bersatu dalam semangat persaudaraan.” Dalam perjanjian tersebut juga ditekankan bahwa setiap korban bakal mendapatkan sejumlah uang ganti rugi.
“Islah membuat kekuatan kami jadi tinggal tersisa sekitar 15 persen saja,” kata Yetty.
Kendati demikian, Yetty dan para korban yang menolak islah tetap bertekad mengusut tuntas kasus Tanjung Priok. Terlebih, almarhum aktivis HAM Munir Said Thalib, yang waktu itu jadi salah satu pendamping korban, menyatakan optimismenya akan ada hukuman bagi para pelaku.
“Karena kami sudah punya bukti-bukti yang kuat. Ditambah, pengadilan Tanjung Priok merupakan satu-satunya proses hukum yang pernah ada untuk pelanggaran HAM masa lalu,” tambah Yetty.
Pada 2003, berbekal tumpukan kesaksian hingga barang bukti berupa delapan jenazah yang diyakini sebagai korban kebrutalan aparat yang berhasil ditemukan tim pencari fakta, Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok dilangsungkan.
Keyakinan para korban memperoleh keadilan sempat melambung tinggi manakala pengadilan tingkat pertama tersebut memutus bersalah terdakwa dengan vonis hukuman 10 tahun penjara pada mantan Komandan Kodim Jakarta Utara Rudolf Adolf Butar Butar. Vonis lain adalah tiga tahun penjara bagi regu pasukan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) yang dipimpin Sutrisno Mascung. Mereka semua dianggap bertanggung jawab menembaki massa aksi damai.
Tak ketinggalan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) turut melampirkan surat permohonan kompensasi bagi korban, masing-masing senilai Rp19 miliar untuk kerugian materiil, dan Rp14 miliar untuk kerugian immateriil.
Harapan itu seketika kandas saat terdakwa yang dinyatakan bersalah di pengadilan tingkat pertama, justru divonis bebas di tingkat banding dan kasasi. Korban Tragedi Tanjung Priok kehilangan dua hal sekaligus: keadilan dan kompensasi.
Menurut keyakinan Irta, gagalnya pengadilan Tanjung Priok disebabkan adanya lobi-lobi khusus yang dilakukan aparat militer di luar forum resmi. Lobi-lobi itu mayoritas berwujud iming-iming uang. Semua dilakukan aparat supaya tidak ada konsekuensi hukum yang mesti mereka terima. Irta mengaku pernah ditawari uang oleh seorang perwira militer. Akan tetapi, tawaran tersebut dia tolak.
“Ada yang ditawari uang ratusan juta sampai [modal] usaha pasir oleh seorang Danjen [Komandan Jenderal] Kopassus supaya memberikan kesaksian yang berbeda di pengadilan,” terangnya.
Kegagalan pengadilan Tanjung Priok menjadi preseden buruk bagi pengusutan pelanggaran HAM masa lalu di Tanah Air.
Yetty sempat menaruh harapan ketika pada 2014 seorang warga sipil bernama Joko Widodo terpilih sebagai presiden. Harapan Yetty, beserta korban Priok lainnya, makin membuncah saat Jokowi berjanji akan mengusut sampai selesai pelanggaran HAM masa lalu, mulai dari tragedi 1965, Tanjung Priok, Talangsari, hingga penghilangan aktivis 1998.
Enam tahun berselang, tatkala Jokowi kembali memerintah di periode kedua masa jabatannya, optimisme itu semakin memudar. Keadilan tak kunjung tiba di depan mata Yetty dan korban pelanggaran HAM berat lainnya. Dia kini enggan memelihara harapan.
“Rasanya sudah capek menunggu,” tandasnya.
Faisal Irfani adalah jurnalis lepas di Jakarta. Follow dia di Instagram