Pada 22 Mei 2019, jantung ekonomi Jakarta tenang menjelang badai. Jalanan kawasan pusat kota yang biasanya rutin mengalami kemacetan tiba-tiba lengang.
Akses transportasi umum seperti Transjakarta tidak berfungsi, terutama yang melewati rute Palmerah hingga Tanah Abang. Rekayasa lalu lintas terasa sepanjang ruas Gambir ke Jatinegara. Beberapa pusat perbelanjaan tutup, perkantoran meliburkan pekerjanya.
Videos by VICE
Semua mata menuju ke aksi demonstrasi yang berpusat di Gedung Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
VICE, yang mendatangi lokasi aksi di depan Bawaslu dari arah pertokoan Sarinah, mendapati ratusan orang menyemut. Mereka kembali menggelar aksi damai, memprotes keputusan KPU memenangkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pilpres 2019. Sebagian peserta unjuk rasa mengibarkan bendera. Tak sedikit ibu-ibu di atas 40 tahun ikut berdemonstrasi.
Polisi tidak dalam posisi siaga pagi tadi. Namun setelah pukul 14.00 WIB, situasi jadi lebih tegang karena massa berdatangan dari berbagai lokasi.
Ada demonstran nyeletuk ke aparat untuk meredakan tensi, “jangan lupa salat pak.”
Seorang anggota Brigade Mobil (Brimob) yang bertugas di dekat Bawaslu mengaku kecapekan mengawal aksi massa pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno. Namanya Rio. “Saya sudah dua hari ini enggak pulang,” ujarnya.
Rio mengaku hanya berbekal tameng serta pentungan. Gas air mata bukan jatah divisinya. Makanya dia heran, ketika semalam rombongan massa berubah jadi lebih agresif. Seingatnya, setelah tarawih, massa pendukung Prabowo sudah membubarkan diri. “Polisi tentu bergerak sesuai SOP,” imbuhnya.
Nyatanya, akibat bentrok sejak 22 Mei dini hari, yang kemudian menyebar ke Tanah Abang, Petamburan, serta Slipi, setidaknya dua orang tewas dan 120 lainnya luka-luka. Jumlah korban masih simpang siur. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengklaim enam orang bagian massa aksi yang diusir polisi dari dekat Bawaslu tewas tertembak.
Pasar dan toko di sepanjang jalan Kebon Kacang, memilih tutup. Hanya ada beberapa warga yang terlihat mengamati situasi. Tak terlihat personel keamanan di sepanjang jalan itu.
Di jalan itu, tong sampah dan pecahan pot berserak melintang di tengah jalan. Asap masih mengepul dari gunungan sampah yang dibakar perusuh pada dini hari. Sisa gas air mata yang ditembakkan aparat masih terasa, membuat mata pengendara yang melintas terasa perih.
Di sekitaran Pasar Tanah Abang itu lah salah seorang demonstran tewas tertembak di bagian dada. Farhan Syafero tewas tertembak di bagian dada pada Rabu dini hari.
Situasi berbeda di ruas jalan yang menghubungkan kawasan Slipi-Petamburan. Di sana, kondisi lebih mencekam. Seorang lelaki cepak dengan tubuh bertato ditelanjangi di trotoar dekat Asrama Brimob yang dini hari tadi dibakar massa. Badannya kurus. Wajahnya penuh darah setelah dihajar puluhan orang yang mengerubunginya.
“Kami menangkap satu orang provokator kerusuhan,” kata Riyanto, 45 tahun, warga setempat saat dihubungi VICE. “Sekarang [tersangka] udah dibawa polisi.”
Sementara warga lain mendapati sebuah mobil polisi memuat dus-dus berisi peluru tajam di ruas Jl Brigjen Katamso, dekat fly-over Slipi Jaya menuju arah Kemanggisan. Temuan itu membakar amarah warga, khususnya yang bersimpati pada aksi 22 Mei. “Bisa kalian lihat sendiri peluru tajam semua. Pantas pada mati warga. Ya buat menembak warga ini peluru,” kata salah satu warga yang ditemui media.
Warga merasa semua kericuhan ini sudah di-setting. Sebab, yang sekalipun mendukung Prabowo di Petamburan, tidak mengenal massa yang agresif menyerang polisi.
“Ada sekelompok orang yang bikin rusuh, bukan dari warga Petamburan. Kami enggak ada niat buat demo-demo,” kata Rudi, warga Petamburan lainnya. “Yang tertembak juga bukan warga sini.”
Dihubungi terpisah oleh VICE, Brigen Dedi Prasetyo selaku juru bicara Mabes Polri menyatakan provokator tersebar di beberapa titik. Sejauh ini polisi telah mencokok 69 orang yang menghasut massa agar bersikap agresif. “Polri sudah mengidentifikasi pelaku provokator dari luar Jakarta,” ujarnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, mengklaim rangkaian insiden di Jakarta ini terkait dengan sekian penangkapan pekan lalu. Dia tidak menyebut nama, namun menuding semua itu upaya pihak yang sama untuk menciptakan kekacauan setelah pengumuman hasil pemilu 2019. “Kita simpulkan, dalang itu sudah ada,” ujarnya.
Adapun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian meyakini ada dua kelompok berbeda. Satu adalah massa pendukung paslon Prabowo-Sandiaga yang berunjuk rasa damai. Sementara satu kelompok datang belakangan dengan niat merusuh.
Polisi menduga, skenario yang ingin diciptakan adalah mendiskreditkan pemerintahan saat ini. Jika sampai jatuh korban, maka polisi dikesankan bersikap zalim pada oposisi. Dia pun menyitir keberhasilan polisi menyita senjata Taurus Glock 22 berikut sejumlah peluru 2 dus M-40 hampir 60 butir pekan lalu.
Pelaku yang ditangkap mengaku berencana memakai senjata itu pada momen 22 Mei. “Supaya timbul martir. Alasan untuk buat publik marah, yang disalahkan aparat pemerintah,” kata Tito.
Karenanya Kapolri meminta masyarakat tenang dulu, sampai semua kericuhan berakhir dan jawaban yang lebih gamblang tentang siapa aktor intelektual kericuhan 22 Mei. Karena itu pula, akses pada WhatsApp dan beberapa media sosial lebih terhambat, terutama bagi pengguna di kawasan Jabodetabek.
“Selesai jam 9 malam [di depan Bawaslu, pada 21 Mei-red], yang datang bukan lagi pengunjuk rasa. Mereka perusuh yang mau menciptakan aksi kriminal,” kata Tito. “Kita minta masyarakat untuk mencerna segala sesuatu dengan kepala dingin. Jangan terprovokasi.”
Hadar Nafis Gumay dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) mengatakan bahwa para elite politik di belakang Prabowo-Sandi harus bertanggung jawab dalam aksi 22 Mei. Menurutnya, Prabowo-Sandi harus memberikan pernyataan tegas untuk mengendalikan pendukung.
“Mereka [elite] juga yang membuka itu, jadi mereka juga yang bertanggung jawab untuk menghentikan itu,” ucap Hadar kepada VICE.
Hadar menjelaskan para elite politik pasca Pilpres 2019 telah memicu pergerakan massa lewat narasi people power sembari menyatakan tak lagi percaya pada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Hadar menilai narasi itu menjadi semacam ajakan atau imbauan kepada para pendukung untuk aksi-aksi yang berpotensi tak taat aturan.
“Mungkin ada yang punya perjuangan sendiri, kelompok radikal misalnya, tapi mereka melihat momennya sekarang karena ada elite yang ikut di pemilu sekarang membuka ruang untuk itu,” ujarnya.
Sementara Dahnil Anzar Simanjuntak, selaku juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi menolak pihaknya diseret-seret. Dia menyatakan kubu Prabowo membawa sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusional sembari menyerukan aksi damai.
“Yang bertanggung jawab adalah tentu mereka-mereka yang lakukan provokasi mereka yang lakukan kekerasan,” kata Dahnil. “Karena sejak awal Pak Prabowo memutuskan jalur konstitusional mendukung segala upaya konstitusional dan mendorong gerakan yang damai menggunakan hak demokrasi.”